Syaiful Badri, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Kepulauan Riau. Foto: Arsip narasumber.
“Tujuan serikat [pekerja] didirikan adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan,” kata Syaiful Badri, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Kepulauan Riau, 25 Maret 2022.
Dua tujuan itu bermakna batin. Ia bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga terlepas dari segala macam gangguan. Termasuk dari ancaman kecelakaan kerja di Kota Batam, yang angkanya meningkat setiap tahun. “Jadi, persoalan perburuhan itu sebenarnya terlalu banyak. Bukan soal upah-PHK saja,” katanya. (baca: Kecelakaan Kerja di Batam Tinggi, Sanksi ke Perusahaan Takada)
Salah satu cara untuk memastikan dua tujuan itu tercapai adalah melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan pedoman kerja sama antara pekerja dan perusahaan melalui serikat. PKB jelas berbeda dengan peraturan perusahaan yang dibuat untuk kepentingan perusahaan itu sendiri. Pedoman ini memastikan mulai soal upah hingga keselamatan pekerja.
“Kalau PKB ini kan dirundingkan. Jika dalam perundingan PKB ditemukan perselisihan, maka bisa diadukan ke Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker). Maka wujud PKB adalah salah satu cara serikat melindungi anggotanya. Misal ada persoalan kenaikan upah, atau kecelakaan kerja, maka serikat lah yang mewakili untuk berunding.,” kata dia.
Persoalan mengenai data kecelakaan kerja, SPSI Kepri tidak punya catatan tersendiri mengenai itu. Sejauh ini, pihaknya hanya mendapat data tersebut dari Disnaker kota maupun provinsi meski menyangsikan validitasnya.
Sebab, data yang mereka terima dinilai hanya mencatat kecelakaan-kecelakaan besar saja. Sementara kecelakaan kerja skala kecil dinilai tidak dilaporkan perusahaan dan pemerintah tidak pula mendatanya.
“Begini, undang-undang tentang safety itu dibuat oleh pemerintah tentang K3. Jadi di tiap perusahaan wajib dibentuk yang namanya Panitia Pembina Sistem Penjamin Keselamatan Kerja (P2SPK3). Badan itu punya tugas melaporkan secara berkala ke pemerintah, dan setiap ada kecelakaan kerja sekecil apapun harus ada laporannya, sehingga terdata,” katanya.
Syaiful mengatakan, secara teori, jika sekian kali terjadi kecelakaan kerja kecil pasti bakal terjadi kejadian serupa tetapi lebih besar dan merenggut nyawa. Itu sebuah data penelitian yang dilakukan secara internasional.
“Kelemahan kita itukan membuat aturan tetapi bahkan tidak pernah diawasi,” kata Syaiful.
Terkait advokasi yang dilakukan serikat saat terjadinya kecelakaan kerja, dia mengatakan bahwa hal yang utama adalah bukan tentang santunan yang diberikan oleh perusahaan. Tetapi hal utama adalah memastikan bawah perusahaan menjalankan K3 dengan baik atau tidak. Turut dipastikan pula apakah perusahaan telah melakukan pelatihan bagi karyawan-karyawannya, serta melakukan investigasi terkait daerah-daerah yang rawan berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
Dia juga menilai, dengan terus terjadinya kecelakaan kerja hingga merenggut nyawa, artinya banyak pihak yang tidak konsisten terhadap aturan yang dibuat. (baca: Kicauan Gagak dan Marcopolo)
“Khusus di Indonesia juga, budaya K3 itu masih lemah. Sebab K3 itu budaya. 80 persen kecelakaan kerja itu terjadi akibat kesalahan manusia. Di banyak kejadian juga, perusahaan bahkan tidak patuh terhadap K3 yang sifatnya wajib dalam undang-undang. Padahal tujuan dari K3 ini bukan hanya untuk melindungi pekerja saja, melainkan juga perusahaan beserta asetnya. Kesadaran kita terhadap K3 itu itu masih lemah,” katanya.
Menurut Syaiful undang-undang terkait kecelakaan kerja juga tergolong ringan. Bila merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 1970, sanksi kecelakaan kerja bagi perusahaan hanya berupa dendanya Rp100 ribu atau kurungan penjara 3 bulan.
Hal itu kemudian yang membuat pihaknya mengejar sanksi pidana bagi perusahaan saat ada laporan kecelakaan kerja, dan undang-undang itu pun dinilai perlu diperbaiki.
“Tapi walaupun sanksi dan pidananya tergolong rendah, perlu juga peran pemerintah yang membuat aturan itu dan bertanggung jawab mengawasinya. Artinya pemerintah harus menekankan ke perusahaan, memberikan kesadaran, melakukan pembinaan atas kesadaran K3. Jadi K3 itu bukan diingat soal sanksinya saja. Jangan. Tapi K3 harus jadi budaya. Jadi kalau ada perusahaan yang nakal, cabut izinnya,” katanya.
Dia pun sempat mengusulkan agar dibentuknya komisi pengawas K3 yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Sebab saat ini, persoalan K3 tidak begitu jalan, dan fungsi kepengawasan dari pemerintah belum seperti yang diharapkan. (baca: Antara Lalainya Subkontraktor dan Abainya Kontraktor)
Peran serikat penting dalam sebuah perusahaan. Salah satunya adalah lantaran masih adanya kasus PHK yang menimpa pekerja usai mengalami kecelakaan kerja dan mengakibatkan cacat permanen. Persoalan itu diakuinya banyak terjadi di perusahaan yang di dalamnya tidak ada serikat pekerja. Membuat serikat pekerja seperti SPSI kesulitan melakukan advokasi.
“Serikat pekerja yang ada belum menjangkau sampai ke sana. Serikat pekerja kita ini juga masih berkutat di masalah upah-PHK saja selama ini. Padahal fungsinya lebih daripada itu. Jadi urusannya demo,” kata dia.
Ada 496.836 pekerja formal yang terdata oleh Badan Pusat Statistik (BPS). SPSI. “Jumlahnya 26.000 ribu,” kata Syaiful. Guna meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja, SPSI Kepri kemudian rutin menggelar pelatihan-pelatihan K3 bagi anggotanya. Serikat juga rutin mengirimi surat ke perusahaan-perusahaan untuk menggelar pelatihan-pelatihan K3 bagi karyawannya. Dengan tujuan, tentu saja meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja.
Syaiful mengatakan, pemerintah masih belum maksimal mengampanyekan K3 karena pelatihan-pelatihan masih sedikit. Padahal harusnya menjadi prioritas.
Bicara soal K3, bicara pula soal beragam persoalan yang bercabang. Mulai dari alat pelindung diri, manajemen safety, hingga perusahaan kedua atau subkontraktor. Untuk yang terakhir, Syaiful tidak menapik bahwa hal tersebut kemudian ikut menyumbang angka kecelakaan kerja di Batam.
Seperti kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan seorang pekerja meninggal dunia di PT Marcopolo Shipyard di Tanjung Uncang, yang ternyata merupakan pekerja dari subkontraktor.
Menurut Syaiful, jika mengikuti aturan lama, persoalan itu harusnya menjadi tanggung jawab pimpinan unit. Sehingga perlu dilakukan investigasi tim pengawas untuk memeriksa apakah aturan safety dijalankan atau tidak.
“Nah kecelakaan kerja di PT Marcopolo Shipyard itu, yang melakukan investigasi hanya petugas kepolisian. Padahal penyelidikan yang dilakukan polisi itu memakai aturan pidana. Harusnya yang dipakai itu Undang-Undang K3. Contohnya, kalau ada pekerja yang meninggal karena ditabrak alat berat di perusahaan [PT Jovan Technologies], nah yang ditetapkan sebagai tersangka pasti operatornya. Padahal kalau pakai Undang-Undang K3, atasannya pun bisa kena juga,” kata Syaiful. (baca: Sopir Amatir Pengantar Maut)
Dia berharap, pemerintah tegas dalam menerapkan K3 agar perusahaan turut membudayakan K3. Sehingga perusahaan juga punya tanggung jawab melakukan pembinaan kepada pekerjanya.
“Jadi nantinya orang menjalankan K3 bukan karena terpaksa oleh aturan, tetapi memang sudah budayanya begitu. Hal itu yang masih jauh dari realita kita. Oleh karenanya, kita juga harus meminta pemerintah melakukan program-program, mengadakan pelatihan-pelatihan, menyadarkan perusahaan, agar K3 jadi budaya,” kata Syaiful.
***