Sekelompok bocah di Kampung Panau bermain voli di tepi pantai yang lautnya akan direklamasi. Foto: Fathur Rohim.

Kampung yang Tua dan Terancam Reklamasi

Sebuah perusahaan Australia, PT Blue Steel Industries, akan mendirikan pabrik di Kawasan Kabil, Kota Batam, Kepulauan Riau. Kepada perusahaan penyedia baja ringan itu, pemerintah memberikan lahan seluas 60 hektare, yang sebagian besarnya adalah laut. Seremonial penandatanganan prasasti dilhadiri menteri. Warga kampung tak diberi tahu ihwal reklamasi.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

PADA 25 JUNI 2022, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto bersama Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, semringah pada acara penandatangan prasasti dan peletakan batu pertama pembangunan PT Blue Steel Industries yang dilakukan secara simbolis di pelataran parkir Bandara Hang Nadim, Kota Batam. Perusahaan asal Australia itu resmi menanamkan modal di Indonesia Rp3,5 triliun.

 

Kabar yang konon dianggap baik itu ternyata membuat cemas warga Kampung Panau, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Persoalannya adalah karena pembangunan akan dilakukan dengan cara mereklamasi. Lokasi reklamasi terletak tak jauh dari bibir pantai kampung. Di sana akan dibangun mal yang menirukan konsep beberapa negara di dunia, seperti Dubai dan Cina.  (baca berita sebelumnya: Angan Bangun Mal di Laut Kabil)

 

Ketua Tim Kelompok Warga Kampung Panau, Firzun (40), mengatakan, pihaknya sama sekali tidak tahu apapun mengenai PT Blue Steel Industries. Apakah perusahaan itu bakal menyejahterakan warga Kampung Panau, atau apa risiko yang bisa timbul saat perusahaan tersebut beroperasi, adalah dua hal yang jadi pertanyaan warga.

 

Firzun sendiri baru tahu akan rencana PT Blue Steel Industries itu setelah grup percakapan warga ramai membahas soal pembangunan itu pada akhir Juni 2022 (setelah acara seremonial). Dia berkisah, mulanya dia hanya memantau apa yang jadi pembahasan di sana. Setelah diamati beberapa saat, pokok gaduh kali itu adalah rencana reklamasi yang mengancam kampung mereka.

 

“Ketua RT dan RW sama tokoh masyarakat semuanya bingung. Kenapa ada rencana ini tapi kami malah tidak tahu,” kata Firzun kepada utopis, Rabu, 3 Agustus lalu.

 

Keadaan makin keruh setelah muncul berita yang menuturkan bahwa Pemuda Nongsa menyambut baik rencana pembangunan perusahaan tersebut. Frasa Pemuda Nongsa sendiri terdengar asing bagi warga Kampung Panau. LSM itu juga disebut-sebut tidak dapat mewakili aspirasi warga Kampung Panau yang notabene bakal merasakan dampak kehadiran perusahaan itu. Entah itu baik ataupun buruk sekalipun.

 

Kemudian pada 3 Juli 2022, gaduh di grup WhatsApp itu dibawa dalam rapat di Balai Kampung Panau yang dihadiri oleh perangkat RT/RW dan tokoh masyarakat. Menurut Firzun, Ketua RW kemudian dapat menghubungi pihak perusahaan dan membuat janji temu pada 13 Juli 2022 di sebuah kedai kopi di seputaran Batam Center. Lantaran banyak warga yang berhalangan hadir, Firzun lalu menyanggupi pertemuan itu sendiri. Berbekal nomor telepon perwakilan PT Blue Steel Industries, berangkatlah dia ke lokasi yang sudah disepakati.

 

Namun, angguk bukan geleng iya. Orang yang ditunggu bahkan tidak bisa dihubunginya sejak pagi. Menjelang siang, Firzun mendapat sebuah pesan masuk. “Saya sudah di bandara, ketemu di sana saja,” isi pesan dari orang yang ditunggunya. “Pas di sana dia menjelaskan kalau tidak bisa dihubungi sejak pagi karena sedang rapat dengan BP Batam, membahas mengenai izin reklamasi. Terus saya tanya, jadi bagaimana Pak? Dia malah ngaku bingung kalau ditanya seperti itu. Saya pun ikut bingung. Ya sudah, saya langsung pulang karena tidak ada kejelasan,” katanya.

 

Sesampainya di rumah, Firzun mengeluhkan perutnya yang kembung lantaran sejak pagi hanya menyantap kopi ditambah harus berkendara dengan jarak yang jauh.

 

Sebenarnya, kata Firzun, alasan penolakan warga Kampung Panau sederhana. Mereka ingin diajak duduk bersama dengan perusahaan mengenai rencana reklamasi atau apapun sebutannya. Pihaknya ingin tahu perusahaan itu bergerak di bidang apa, supaya mereka bisa mengetahui dampak yang dirasakan masyarakat.

 

“Kalau misalnya PT itu bergerak di bidang industri, seperti pembuatan baja ringan ya palingan dampaknya kebisingan.Tapi kalau dia bergerak di bidang peleburan baja, ya kami khawatir. Kami benar-benar buta dalam artian tidak tahu apa-apa soal perusahaan ini. Hanya tahu namanya dan asalnya dari Australia saja,” kata dia.

 

Firzun menguraikan, perusahaan itu kabarnya bakal berdiri di lahan dengan luas sekitar enam puluh hektare. Mungkin mereka akan mereklamasi mulai dari sisi kiri Kampung Panau, lalu bakal membuat kanal khusus jalur sampan-sampan warga, dan lokasinya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai.

 

Imajinasi itu pun sebenarnya membuat cemas warga Kampung Panau. Pasalnya jika rencana itu terealisasi maka otomatis pantai di sana tidak bisa digunakan lagi karena bakal berlumpur efek penimbunan. Reklamsi pun dikhawatirkan menggangu aktivitas melaut warga yang sebagian di antaranya menggantungkan isi periuknya dari laut. Kawasan laut di depan pantai tersebut dikatakannya  memang berkarang. Sehingga memudahkan warga mencari ikan tanpa perlu pergi jauh ke sebrang sana.

 

“Ikon Kampung Panau itu juga cuma ada dua. Yaitu Malang Parlai dan Malang Jidah. Nah kalau reklamasi itu jadi, tentu dua gundukan karang seperti pulau kecil itu pasti hilang. Kalau sudah begitu, Kampung Panau mau dikenal sebagai apalagi? Identitasnya hilang,” kata Firzun.

 

Dalam obrolan kali itu, Utopis turut berbicara dengan Verawati atau Cun (36) dan Hasnah (48), dua ibu rumah tangga yang merupakan warga asli di Kampung Panau. Keduanya masih terikat dalam hubungan keluarga dekat dari enam generasi hidup sejak lama di sana. Dengan Firzun, keduanya memiliki hubungan saudara lewat hubungan pernikahan dan menjadi kakak ipar.

 

Verawati mengaku sejak lahir sudah bermain di pantai ataupun laut yang bakal direklamasi oleh PT Blue Steel Industries itu. Bahkan kini, dia membuka sebuah warung kecil yang menjajakan makanan ringan dan minuman tepat di bibir pantai Kampung Panau.

 

“Kalau pantai ini ditimbun, habis jugalah dagangan kami. Siapa lagi yang mau ke sini kalau pantainya sudah rusak,” katanya dengan logat melayu di tengah obrolan utopis bersama Firzun.

 

Sementara Hasnah merasa tidak dapat berbuat banyak. Para orang-orang tua di Kampung Panau dirasanya tidak lagi punya banyak waktu dan tenaga ketika ada persoalan semacam itu. Sehingga para orang-orang tua di sana, kata dia, lebih memercayakan persoalan tersebut kepada mereka yang lebih muda.

 

“Sederhananya memang, apapun bentuk perusahaan itu, ya harus membawa dampak baik bagi warga. Jangan sampai orang Kampung Panau cuma jadi penonton saja,” kata Hasnah.

 

Di tengah obrolan, Ananda (11), mengajak Firzun untuk pulang ke rumah. Anak kedua Firzun itu baru selesai mengaji di masjid. Namun, dia malah disarankan berenang atau bermain voli di lapangan yang tidak jauh dari warung milik Cun.

 

“Kau pergi mandi sana, celap-celup sebentar sebelum ini kampung [pantainya] kena timbun,” kata Firzun dengan logat orang timur.

 

Pria asal Papua ini sudah mendiami Kampung Panau sejak 2007. Lewat perkawinannya dengan warga sana, dia dikaruniai tiga anak. Dengan latar belakangnya itu, Firzun awalnya menolak usulan warga yang menunjuknya maju sebagai ketua perwakilan Kampung Panau dalam persoalan PT Blue Steel Industries.

 

Alasannya juga sederhana. Firzun mengaku sadar diri akan latar belakangnya sehingga menilai diri kurang layak untuk menyuarakan aspirasi warga Kampung Panau.

 

“Penolakan itu juga sebenarnya bentuk antisipasi. Jangan pula sampai keluar kata-kata ‘awak orang mana? Kenapa ribut soal masalah orang Melayu?’ itu yang saya hindari. Tapi karena kawan-kawan maunya begitu, ya sudah saya maju,” katanya.

 

Keinginan Warga Kampung Panau

 

Dalam obrolan utopis dengan Firzun, Hasnah, dan Cun, ketiganya berulangkali menyebut keinginan mereka yang dirasa sederhana: bertemu dengan pimpinan PT Blue Steel Industries. Hal itu tentu bukan alasan. Mereka menolak adanya perwakilan karena merasa bakal membuang waktu.

 

“Karena kalau lewat perwakilan, warga minta ini-itu sudah pasti tidak bisa dijawab langsung. Perwakilan itu pastilah harus membawa tuntutan kami ke atasannya, jadi prosesnya panjang. Kami ingin negoisasi langsung,” kata Firzun.

 

Dia menjabarkan, keinginan warga adalah kejelasan akan masa depan anak-anak mereka lewat beasiswa sekolah, pembinaan UMKM, penyerapan tenaga kerja dari warga sekitar, fasum, dan kompensasi bagi warga yang terdampak dari aktivitas perusahaan tersebut. Permintaan mereka itu juga disebutnya bisa lewat dana Company Social Responsibility atau CSR.

 

Menurutnya, warga juga sudah punya pengalaman berhadapan dengan perusahaan yang beridiri di sekitar Kampung Panau. Salah satunya adalah PT Nexus Engineering yang melakukan sosialisasi saat akan membangun perusahaan di sana. Diakuinya juga perusahaan itu banyak menyerap tenaga kerja dari Kampung Panau meski pada 2012 banyak yang di-PHK lantaran berkurangnya proyek.

 

Firzun mengatakan, “Pihak RT/RW sudah menghubungi kelurahan juga soal rencana pembangunan PT Blue Steel Industries ini. Namun, Lurah bilang dia tidak punya hak lagi untuk mengundang pihak perusahaan untuk berkomunikasi dengan warga. Perannya dinilai selesai saat mengundang pihak perusahaan saat membahas AMDAL. Lurah itu bahkan sampai sekarang belum ada komunikasi ke kami, memberitahu bahwa nanti bakal ada pembangunan ini,” katanya. “Jadi kalau ke depannya pihak perusahaan belum juga berkomunikasi dengan warga, lalu tiba-tiba menurunkan alat-alat beratnya, pasti bakal kami adang.”

 

Dia dan seluruh warga Kampung Panau sebenarnya tidak bisa memungkiri, kalau program pemerintah ke depan bertujuan memajukan kesejahteraan masyarakat melalui investasi. Namun, pantai di Kampung Panau diklaimnya sebagai satu-satunya pantai yang tersisa di Kelurahan Kabil.

 

Pantai itu juga diakui jadi satu-satunya pantai yang bisa diakses secara gratis di Batam, warga bahkan tidak pernah sekalipun meminta uang parkir kalau ada orang yang datang.

 

Meski demikian, dia menilai jika memang pembangunan perusahaan itu tidak bisa dielakkan, alangkah baiknya pihak perusahaan dan warga duduk bersama. Sebab sejauh ini, pihaknya juga sudah menyusun surat yang bakal ditujukan ke Pemerintah Kota Batam untuk memediasi pertemuan antara warga Kampung Panau dengan pihak perusahaan.

 

Dengan begitu, bakal ada nota kesepahaman antara warga Kampung Panau dengan PT Blue Steel Industries. Sehingga jika ada yang melanggar akan ada sanksi yang harus dilaksanakan.

 

“Ini malah komunikasi belum ada, nanti kalau perusahaan itu sudah jadi kemudian terjadi apa-apa bagaimana? Jangan sampai pula ada omongan ini warga saat pembangunan perusahaan tidak ada komplain apapun, sekarang kok malah ribut? Sementara sampai saat ini kami juga belum dapat informasi apapun soal PT Blue Steel Industries ini,” kata dia.

 

Mengenai komunikasi memang diakui Firzun belum ada. Hanya saja, sekali waktu warga mendapat informasi adanya bantuan kambing untuk Iduladha dari PT Blue Steel Industries. “Kambingnya itu cuma satu ekor, sakit-sakitan pula. Akhirnya ya jadi bulan-bulanan warga, walau tetap dipotong juga,” katanya.

 

Identitas Kampung Panau

 

Kampung Panau mulai diramai dihuni pada tahun 1949 hingga 1953. Beberapa penghuninya tidak hanya berasal dari suku Melayu saja, melainkan juga dari Bugis, Buton, dan Flores. Paling tidak itu yang disebutkan dalam tulisan pendek mengenai sejarah singkat Kampung Panau yang terpampang di Balai Kampung.

 

Nama Panau disebutkan berasal dari penyakit bernama panau yang diidap oleh Mak Jidah, istri dari Mak Keling, pria berkulit hitam legam. Sepasang suami istri yang menurut hikayat merupakan orang pertama yang bermukim di sana.

 

Keduanya pun diyakini tidak memiliki keturunan dan dipercaya telah menjelma menjadi batu. Batu itulah yang kemudian berada tepat di depan pantai Kampung Panau dan diberi nama Malang Parlai dan Malang Jidah.

 

Secara geografis, Kampung Panau merupakan perkampungan berbukit dengan garis pantai lebih dari 1 kilometer. Pemukiman warga tersebar mulai dari bibir pantai hingga di atas perbukitan. Di pantainya pun tumbuh puluhan batang pohon kelapa mencapai sekitar 20 meter.

 

Menurut Firzun, setidaknya terdapat sekitar 200 kepala keluarga (KK) yang mendiami Kampung Panau saat ini. Mereka yang berasal dari berbagai suku di Indonesia juga memiliki beragam latar belakang pekerjaan. “Ada yang jadi nelayan, ada juga jadi karyawan perusahaan swasta maupun pegawai swasta,” katanya.

 

Kampun Panau sendiri diapit banyak perusahaan besar yang bergerak di berbagai macam sektor industri. Mulai dari minyak dan gas, perkapalan, manufaktur, dan lainnya. Firzun bahkan sempat bekerja di industri perkapalan dan migas selama belasan tahun hidup di sana.

 

Dia berkisah, Kampung Panau jadi salah satu daerah yang dimasukkan atau diusulkan menjadi kampung tua. Walau sampai sekarang belum jelas ujungnya bagaimana, diakuinya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah pernah datang mengukur, tetapi belum ada kejelasan.

 

“Padahal sudah berhembus bakal disahkan jadi kampung tua sejak 2004 yang diusulkan Nyat Kadir yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Batam. Lalu oleh Ahmad Dahlan selama dua periode, juga sempat dijanjikan Muhammad Rudi saat kampanye 2019 lalu. Tapi belum ada kabar baik juga,” kata Firzun.

 

Persoalan kampung tua juga diakuinya pernah dijanjikan selesai oleh Presiden Jokowi saat berkampanye di Batam 2019 lalu. “Dia bilang kasih saya waktu tiga bulan setelah dilantik, semua ini akan saya bereskan. Janji itu saya rekam dan jejak digital tidak bisa dibohongi. Andai saya bisa berkomunikasi dengan Jokowi, tentu saya bakal tagih janjinya,”

 

Meski berasal dari Papua, Firzun mengaku sudah pernah bekerja di Jawa, Kalimantan, Sumatera, sampai Sulawesi. Dia menyimpulkan orang-orang di daerah yang dikunjunginya itu punya hak atas tanah mereka. “Lah sampai di sini kok orang Melayu tidak punya tanah. Jadi mereka ini sebenarnya dari mana datangnya?” katanya.

 

 

Legal PT Blue Steel Industries Alhadid Endar Putra mengatakan, Proses pembangunannya saat ini di lapangan memasuki tahap cut and fill. “Semua diratakan, pasang pancang,” katanya usai kegiatan peresmian 25 Juni lalu. Dia bilang, untuk pembangunan, mereka punya target 3 tahun. Memang saat ini PT Blue Steel Industries baru bisa membangun gudang, lanjut industri penggilingan baja serta mendatangkan mesin dari luar di lahan daratan. Itu karena lahan yang akan ditempati mal itu masih laut. “Memang sebagian besar kami mendapat wilayah laut, 25 persen yang daratan, karena itu butuh proses reklamasi,” kata Alhadid menjawab pertanyaan wartawan kala itu.

 

Pihaknya sudah meminta kepada BP Batam untuk mengalokasikan lahan berupa daratan yang disebelahnya, itu mungkin akan lebih cepat lagi. “Tapi kami diberikan air [lahan]. Lokasinya di kawasan industri Kabil, Nongsa,” katanya. Lanjut dia, saat ini segala perizinan sedang diurus. Termasuk hal yang tabu tadi, yaitu reklamasi. Sebab belajar dari yang sudah terjadi, masalah reklamasi selalu ‘seksi’.

 

Sementara itu, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait mengatakan, izin usaha PT Bluesteel Industries saat ini masih dalam proses, baik perizinan di Batam maupun pusat. Dia bilang, aturan yang digunakan untuk pelaksanaan reklamasi adalah PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

 

Dia juga menyebutkan beberapa aturan lain, seperti PP Nomor 41 Tahun 2021 pasal 27 ayat 1, yang isinya menyebutkan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KPBPB diberikan fasilitas dan kemudahan. Kemudian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2021 tentang standar kegiatan usaha dan produk pada penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko sektor kelautan dan perikanan dan peraturan pelaksana lainnya.

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.