Kerja, Kerja, Kerja, Celaka!

Kecelakaan kerja tidak terjadi secara kebetulan, melainkan ada sebabnya. Lalai dan abai yang dijadikan kebiasaan, menimbulkan kematian.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Makam Desi Triani (39), pekerja yang tewas ditabrak truk garpu di PT Jovan Technology. Foto: Bintang Antonio

 


 

– Setiap bulan, Komisi IV DPRD Batam menerima tiga laporan kematian akibat kecelakaan kerja

 

– Dari ribuan kasus, belum ada satupun perusahaan yang disanksi UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan

 

– Kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam produktif dan kerugian sebesar Rp340 miliar

 

– Penerapan Sistem Manajemen K3 masih dianggap perusahaan sebagai beban biaya

 

– Serikat minta UU K3 direvisi, sanksi terlalu ringan: Cuma denda Rp300 ribu dan pidana 3 bulan

 


 

SEORANG ibu tewas tergilas truk garpu di tempat kerjanya. Ia adalah Desi Triani (39), dimakamkan bersama anak keduanya yang masih dalam kandungan. Sepekan sebelumnya, ada pemuda yang terjun bebas menghantam beton galangan. Namanya Surya Hadi (26). Maut menebas sisa hidupnya tatkala hari pernikahan tinggal menunggu bulan. Dua peristiwa nahas di Kota Batam, Kepulauan Riau, ini cuma sekeping contoh, betapa faktor keselamatan seharusnya menjadi yang utama di tempat kerja.

 

Kecelakaan kerja tidak terjadi secara kebetulan, melainkan ada sebabnya. Siapa yang salah, ini perlu ditelusuri. Dalam kasus Desi Triani, misalnya, karyawati PT Jovan Technologi Industry ini tergilas forklift yang dikemudikan oleh sopir amatir tak berlisensi. Penabraknya adalah penjaga gudang, yang menurut keterangan sejumlah karyawan ia memang terbiasa ditugaskan membawa truk untuk memindahkan material.

 

Pemuda itu (penabrak) sekarang ditahan di Mapolsek Batuampar. Akan tetapi, perusahaan dan pemerintah takbisa cuci tangan, karena mereka sebenarnya harus ikut bertanggung jawab. Fakta inspeksi mendadadak Komisi IV DPRD Kota Batam, pada 22 Maret 2022 lalu, yang mendapati tak mengertinya (apalagi menerapkan) manajemen soal aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), barangkali adalah bukti kelalaian dipelihara bersama-sama.

 

Satu hal yang jelas, lemahnya pengawasan dan kurangnya komitmen dalam menjamin keselamatan pekerja, membuat insiden-insiden nahas terjadi berulang.

 

Dua kasus di Marcopolo Shipyard bisa dijadikan contoh. Kematian pekerja akibat jatuh dari ketinggian mulai seperti “peristiwa rutin”. Belum genap setahun, Calvin Alfahri (20) tewas terjatuh dari ketinggian sekitar 12 meter, sudah ada kasus serupa menimpa Surya Hadi (26). Bedanya, kali ini peristiwa itu terekam kamera. Dari situ terlihat bagaimana korban dan pekerja lain sama-sama tak mengenakan body harness, alat pelindung diri yang wajib digunakan saat bekerja di ketinggian.

 

Lalai dan abai yang dijadikan kebiasaan menimbulkan musibah, dan ini adalah akar masalahnya. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengawasan Ketenagakerjaan wilayah Kota Batam, Aldi Admiral mengakui penanganan dan pengawasan kecelakaan kerja belum mencapai hasil sempurna. Banyak kendalanya. Apalagi lembaganya cuma mempunyai 21 tenaga pengawas, dan yang ahli di bidang K3 cuma tiga orang. Dengan keterbatasan itu, mereka dituntut mengawasi setidaknya 17 jenis industri di 1300-an perusahaan di Kota Batam.

 

“Jadi, masalah K3 ini sangat berpotensi untuk tetap terjadi kecelakaan. Itulah PR [pekerjaan rumah] kita bersama untuk mencoba meminimalisir itu,” kata Aldi kepada utopis.id.

 

Di Kota Batam ada sekitar 2452 kasus kecelakaan kerja terjadi pada tahun 2021. Jumlahnya meningkat 873 kasus dibanding tahun 2018.”[untuk] 2019 dan 2020 data soft terhapus karena virus,” kata Aldi. Ia juga tidak merinci data kematian akibat kecelakaan kerja. Namun, berdasarkan catatan utopis.id, sedikitnya ada 15-an pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja setiap tahunnya, dan rata-rata penyumbangnya adalah industri galangan kapal.

 

Galangan kapal di Batam memang termasuk dalam kategori pekerjaan yang berbahaya, sekaligus paling sering dilaporkan terjadi insiden mematikan. Sebut saja seperti kasus di PT ASL Shipyard, yang menyumbang dua korban tewas terjatuh dari kapal ke laut pada tahun 2021 lalu. Atau tragedi di PT Pax Ocean, yang empat pekerjanya dilaporkan tewas tertimpa crane di tahun yang sama.

 

Perlu Cara-Cara Radikal?

 

RENTETAN insiden di sektor industri perkapalan tersebut terus terjadi karena berbagai sebab. Semisal perusahaan yang abai terhadap sistem keamanan; tak memiliki standar keamanan kerja. Atau datang dari para pekerja yang sembrono. Juga karena tak maksimalnya pengawasan terhadap perusahaan dalam penerapan Sistem Manajemen K3. Untuk poin terakhir diakui Aldi. Alasannya, karena jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan masih terlalu sedikit dibanding ribuan perusahaan di Batam. “Masalah klasik ya, masalah personil.”

 

Sebetulnya ada cara-cara “radikal” yang dapat dilakukan untuk menutupi kekurangan personel. Yaitu dengan segera mengaudit dan menindak tegas perusahaan atau siapapun yang terbukti lalai dalam menjamin keselamatan kerja. Bisa secara adminstratif atau pidana, sesuai dengan kesalahannya dan ketentuan yang mengatur.

 

Tapi toh, sampai sekarang jalan “pedang” nan “radikal” itu belum jadi pilihan. Buktinya? Harap dicatat: Dari sekian kasus kecelakaan kerja, UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan wilayah Kota Batam, belum pernah memberikan sanksi kepada perusahaan. Sebatas memberikan rekomendasi pencabutan izin pun juga belum.

 

“Kalau pencabutan izin itu bukan kewenangan kami, karena kami bukan lembaga yang mengeluarkan izin usaha. Kami bisa mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin, tapi belum pernah kami lakukan,” kata Aldi.

 

Kenihilan itu–mungkin saja–adalah peluang Aldi Admira. Ia bisa mencetak sejarah sebagai pejabat pertama di lembaganya yang memberikan sanksi kepada perusahaan di Batam. Bisa dimulai dengan rentetan kecelakaan kerja dalam setahun terakhir, seperti di kasus PT Marcopolo Shipyard, Pax Ocean, atau yang terbaru di Jovan Technology. Peluangnya tak tertutup pula pada kasus-kasus lama yang belum tuntas.

 

Hanya dengan ketegasan insiden-insiden kecelakaan tidak terjadi berulang. Para pemangku kepentingan harusnya kerja maksimal. Itu kata Anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, Mochamad Mustofa. Ia gerah, setiap bulannya pada tahun 2021 lalu, sedikitnya ada tiga kasus kematian akibat kecelakaan kerja yang dilaporkan masyarakat kepadanya.

 

“Bahkan ada empat pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja dalam satu bulan di tahun lalu. Artinya kalau di rata-rata, berdasarkan data yang kami miliki, 1-2 pekerja meninggal akibat kecelekaan kerja,” katanya kepada utopis.id.

 

Subkontraktor Biang Masalah?

 

PEMBENAHAN penting segera dilakukan untuk menekan tingginya angka kematian akibat kecelakaan kerja di Kota Batam. Pemerintah, khususnya di bidang pengawasan harus punya solusi konkret dan data yang valid. Hasil evaluasi Komisi IV DPRD Kota Batam, mayoritas kecelakaan kerja dilakukan atau menimpa karyawan subkontraktor.

 

Penerapan K3 masih dianggap (subkontraktor) sebagai beban biaya yang harus dikeluarkan. Pengadaannya paling berpotensi tinggi untuk dipotong anggarannya. Fungsi pengawasan lemah dan kapasitas pekerja masih di bawah standar. Kebanyakan subkontraktor juga abai akan aturan K3 yang ditetapkan konsultan pengawas, karena mengejar target borongan. Poin-poin tersebut menjadi “paket komplet” menuju kecelakaan kerja, ketika kontraktor utama juga kurang mengawasi pekerjaan yang dilakukan subkontraktornya.

 

Memang benar siapapun bisa celaka dan terluka ketika bekerja. Namun, menurut pandangan Mustafa, penerapan K3 makin semerawut semenjak sistem kerja outsourcing mulai diadopsi perusahaan di Tanah Air. Warisan Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri yang dimuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ini membuat subkontraktor yang semula hanya bergerak di bidang bangunan, menjamur di segala lini industri, terutama di galangan kapal.

 

Persoalan yang muncul adalah subkontraktor minim menseleksi para pekerja proyek, begitupun kontraktor utama. Di galangan kapal, banyak subkontraktor yang men-subkontraktor-kan lagi pekerjaannya. Anggaplah jasa mandor ini berbadan hukum. Tapi, satu hal yang jarang ditangkap dari fenomena tersebut, yaitu anggaran K3 yang makin terpotong.

 

“Kalau solusi dari kami, pertama adalah kurangi subkontraktor yang ada di kontraktor utama (main contractor). Karena kalau masih banyak subkontraktor, kecelakaan kerja itu pasti tinggi. Rata-rata pekerja yang meninggal pun karyawan subkontraktor,” kata Mustafa.

 

Tak sulit melihat dampak dari pemotongan anggaran K3. Dari wawancara bersama satu-dua kontraktor galangan kapal saja dengan mudah dibaca bahwa sistem alih daya memang mengancam keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pertanyaannya kemudian, berapa anggaran K3 dalam suatu proyek?

 

Menurut pengalaman Slamet (43), pembiayaan K3 dilihat dari daftar keperluan. Pedoman kriterianya ada di Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3. Perhitungannya, disesuaikan dengan hasil identifikasi dan penilaian risiko. Beda lokasi, beda biayanya. “Tetapi, kalau saya biasanya mengeluarkan maksimal 5 persen dari nilai proyek,” kata pemborong ini.

 

Tidak ada yang menginginkan kecelakaan kerja, termasuk subkontraktor. Persoalan sebenarnya kata Slamet, adalah karena nilai pekerjaan yang diberikan kontraktor utama seringkali terlalu rendah. Inilah mengapa jatah anggaran harus dipangkas sana-sini, termasuk anggaran K3.

 

Bila pemborong ingin untung lebih maka gaji pekerja juga harus dipangkas. Cara mengakalinya adalah dengan menggunakan satu atau dua jasa mandor yang membawahi banyak anak buah. Para bawahan yang awam terhadap lingkungan kerja inilah yang paling berisiko tinggi. “Kalau borongan targetnya cuma satu-dua minggu, yang main gasak ajalah. Mana ada cerita pelatihan K3 lagi,” kata Slamet.

 

Potensi kecelakaan itu sudah pasti diketahui oleh kontraktor utama. Menurut Slamet, untuk melepaskan tanggung jawab bila terjadi kecelakaan, kontraktor utama punya beragam cara. Salah satunya dengan mengandalkan ketegasan konsultan pengawas, yang jarang memberi persetujuan (approval) dalam setiap tahapan pengerjaan buru-buru yang dilakukan oleh subkontraktor.

 

“Jadi, kalauh ada pekerja yang kecelakaan atau meninggal, mereka [kontraktor utama] bisa jawab. ‘Kami sudah larang, tapi masih dikerjakan.’ Nah, habislah. Itukan yang sekarang banyak terjadi?”

 

Dari kesemrawutan itu sudah pasti pekerja paling sial nasibnya. Mereka tak bernyali menyatakan keberatan soal syarat K3 yang tak terpenuhi, karena itu sama saja dengan menandatangani surat pemecatan untuk diri sendiri. Mengabaikan keselamatan demi isi perut, terdengar lebih baik bagi pekerja ketimbang berhadapan dengan perusahaan yang kekuatannya bak Goliat.

 

Reformasi K3

 

REFORMASI pengawasan ketenagakerjaan mulai digaungkan Kementerian Ketenagakerjaan RI sejak tahun 2021 lalu. Menurut Suprapto, Panglima Garda Metal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, reformasi tersebut mustahil berhasil kalau cuma berbekal slogan. Apalagi melihat kondisi minimnya penindakan di Kota Batam saat ini.

 

“Karena yang banyak terjadi pada kecelakaan kerja hingga meninggal dunia, keluarga korban diberi santunan, dan kasusnya dibiarkan begitu saja. Nah, tidak sampai penindakan detail yang kongkret,” kata Suprapto. Dia berpendapat dengan banyaknya kasus kecelakaan kerja di Kota Batam, pemerintah harusnya berani mengeluarkan nota-nota dinas. Sehingga memberikan efek jera bagi perusahaan.

 

Perubahan bisa dimulai dengan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, yang menjadi acuan sanksi K3. Sebab, ketentuan yang menjerat pelaku pelanggaran K3 terlalu ringan, yaitu cuma denda Rp100 ribu atau kurungan penjara 3 bulan. Lagipula di abad millenium ke-3 ancaman denda Rp100 tak akan dapat memberikan efek jera.

 

“Artinya itukan UU yang sudah hampir 50 tahun ada, tetapi tidak ada yang mau menyentuh untuk melakukan revisi. Karena apa? Ya, karena mayoritas anggota DPR itu pengusaha, gimana mau merevisi UU yang justru bisa men-sanksi mereka, kan gitu. Bagi saya, aturan itu memang harus direvisi, apalagi turunan dari UU itu banyak sekali,” kata Suprapto.

 

Hal senada juga dikatakan oleh Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) Kepulauan Riau (Kepri), Syaiful Badri. Menurut dia, seharusnya ketika berbicara soal K3 bukan lagi diingat soal sanksinya saja, melainkan soal bagaimana ia bisa menjadi budaya.

 

Sedangkan cara paling tepat memberikan keadilan selama UU tersebut belum diubah adalah dengan mengejar sanksi pidananya. Kepolisian harus mendalami dugaan-dugaan yang ada dan mengaitkannya dengan pasal 359 tentang kelalaian yang menyebabkan kematian atau pasal-pasal lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

“K3 harus jadi budaya. Jadi, kalau ada perusahaan yang nakal, cabut izinnya,” kata Syaiful Badri.

 

Obat Penderitaan Perusahaan

 

Penerapan budaya K3 adalah obat mujarab menghentikan penderitaan perusahaan. Sebab, kecelakaan kerja yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau setiap tahunnya, menyebabkan hilangnya 71 juta jam produktif dan kerugian laba sebesar Rp340 miliar. Pencegahan dan perbaikan regulasi jelas perlu segera dilakukan. Jangan sampai kasus-kasus kecelakaan kerja membuat investor mundur.

 

Febrian Hermawan, Ketua Umum DPC A2K3 Kepri sekaligus Praktisi K2 Leadership Coach dan Trainer, menerangkan ada tiga hal dasar pentingnya penerapan K3 di perusahaan.

 

Pertama, faktor moral. Kecelekaaan kerja tentu tidak dikehendaki. Bila terjadi, ada nilai moral yang timbul, terutama pada pejabat perusahaan. “Bagaimana rasanya jika seseorang datang dengan sehat ke perusahaan pagi hari dan harus di antar kekeluarganya dalam keadaan yang sebaliknya?” kata Febrian.

 

Kedua, faktor hukum. Ada dua konsekuensi hukum yang akan diterima oleh suatu perusahaan jika terjadi kecelakaan. Dapat berupa hukum perdata maupun hukum pidana.

 

Ketiga, finansial (biaya). Kecelakaan pada pekerja tidak hanya berhenti pada biaya yang ditimbulkan untuk pengobatan dan/atau biaya pemakaman saja, tetapi biaya-biaya lainnya. “Salah satunya biaya premi asuransi, biaya overtime bagi pekerja pengganti, biaya berhentinya operasi, dan bahkan hilangnya pelanggan perusahaan tersebut,” katanya.

 

Pejabat pengawasan menurut Febrian, seharusnya lebih aktif melakukan sosialisasi perundang-undangan yang ada dan yang telah diperbarui. Bukan cuma mengawasi dari kantor, tetapi harus pula aktif berinteraksi dengan petugas K3 di lapangan untuk mendengarkan langsung umpan balik dari penerapan perundang-undangan di lapangan dan melakukan perbaikan jika dianggap perlu.

 

Kunci agar kecelakaan kerja tak berulang adalah pada tim investigasi, baik internal ataupun eksternal. Setiap kecelakaan yang terjadi harus dilakukan penyelidikan yang sistematis dalam mencari akar permasalahan mengapa kecelakaan tersebut terjadi. Mengapa kecelakaan terulang? Sementara sudah dilakukan penyelidikan?

 

Dalam keilmuan kecelakaan berulang dapat disebabkan di antaranya oleh kualitas tim investigasi, kemampuan tim investigasi dalam menggali untuk mencari akar permasalahan, akar permasalahan ditemukan tidak tepat, tindakan perbaikan yang dibuat tidak tepat, dan dapat juga komitmen semua pihak untuk menjalankan tindakan perbaikan tersebut.

 

Baik dan buruknya sebuah perusahaan juga takbisa dinilai dari jumlah kecelakaannya. Febrian mengatakan, justru perusahaan yang nilai kecelakaannya tinggi (mungkin) termasuk baik juga dikarenakan melaporkan semua kecelakaan yang terjadi. “Sekecil apapun itu!” katanya, “dan ada kemungkinan sebaliknya, perusahaan terlihat nihil kecelakaan, pada kenyataannya tidak melaporkan kecelakaan.”

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.