Uang Bos Kapal yang Diabaikan

Laporan biaya pelabuhan yang disetorkan oleh PT Jaticatur Niaga Trans ke negara cukup mengejutkan. Rata-rata diakui Rp1 miliar per bulan. Tetapi, potensi negara merugi bisa berlipat lebih banyak. Perkiraan versi Utopis untuk satu bulan: di atas Rp2 miliar.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Gedung BP Batam dipotret dari ketinggian. Foto: Arsip BP Batam.

 


 

Laporan biaya pelabuhan yang disetorkan oleh PT Jaticatur Niaga Trans ke negara cukup mengejutkan. Rata-rata diakui Rp1 miliar per bulan. Tetapi, potensi negara merugi bisa berlipat lebih banyak. Perkiraan versi Utopis untuk satu bulan: di atas Rp2 miliar. Parahnya, bos dari perusahaan pelayaran itu mengklaim bahwa lembaga-lembaga yang berwenang di pelabuhan justru sudah tahu bahwa ada pendapatan negara yang takbisa dibayarkan.

 

Nominal kerugian itu didapat baru dari satu kegiatan: penundaan kapal. Wiko, bos dari PT Jaticatur Niaga Trans mengatakan, kegiatan tanpa izin dari Syahbandar itu sebetulnya untuk mendukung pengelolaan dan pengoperasian anjungan terapung fasilitas penyimpanan produksi minyak atau gas alam (floating storage). Ini adalah kerja sama antara perusahaannya dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

 

Data  yang diperoleh dari Wiko, periode Februari – Maret 2022, ada 32 kegiatan pandu dan tunda keluar-masuk yang mereka lakukan. Untuk biaya jasa pemanduan perusahaan menyetor sekitar Rp401 juta ke Badan Pengusahaan (BP) Batam. Sementara untuk biaya penundaan tidak tercatat dalam laporan keuangan tersebut. “Setelah [kapal] didaftarkan baru bisa bayar,” katanya kepada Utopis, 13 April 2022.

 

Perlu diingat: kegiatan penundaan tidak dibayar karena kapal-kapal tunda milik PT Jaticatur Niaga Trans masih berbendera asing. Persoalannya, apakah pemanduan bisa dibayarkan dan legal?

 

Di Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Kenavigasian dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 53 Tahun 2011 disebutkan bahwa penyedia jasa pemanduan harus mempunyai izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan. Salah satu syaratnya adalah harus memiliki kapal tunda dan pandu. Di Indonesia, dua kapal semacam itu bila berkegiatan harus berbendera Merah Putih sesuai asas cabotage. PT Jaticatur Niaga Trans tentu belum memenuhi syarat, karena ke-12 kapal impornya masih dalam pengurusan pergantian bendera. (Baca: Menyetor ke BUP, Ditangkap KSOP)

 

Perusahaan pemanduan dan penundaan juga harus terikat kerja sama operasi (KSO) dengan BP Batam. Wiko membenarkan bahwa perusahannya belum terikat dalam bisnis penyedia jasa itu. “Dalam proses perlengkapan dokumen kapal [untuk KSO]. Setelah itu akan kita daftarkan,” katanya. Menurut dia, pemanduan yang dilakukan perusahannya tertuang dalam perjanjian kerja sama floating storage unit dengan BP Batam. Itulah alasan mengapa pemanduan bisa dibayar, dan diizinkan meskipun perusahaannya belum memenuhi syarat.

 

Nah, sebelum masuk ke taksiran kerugian negara versi Utopis, ada baiknya bagi para pembaca–jika belum tahu– memahami dulu apa itu pemanduan dan penundaan.

 

Sederhananya, pemanduan adalah kegiatan perparkiran untuk kapal yang bobotnya lebih dari 500 GT ketika masuk atau keluar alur berbahaya dan ramai. Juru parkir-nya adalah seorang pelaut nautika. Ia akan diantar naik ke kapal untuk memandu nakhoda memahami kondisi pelabuhan. Dalam kondisi tertentu, apabila kapal yang dipandu panjangnya lebih dari 70 meter, maka dibutuhkan jasa tunda. Penundaan dilakukan oleh kapal jenis tunda atau tugboat. Ini adalah kapal kecil berkekuatan 3000 tenaga kuda. Tugasnya adalah menarik, mendorong, atau menggandeng kapal besar yang berolah gerak di area parkiran itu.

 

Wiko berulang kali menegaskan bahwa perusahaannya siap membayar denda ataupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hilang dari kegiatan penundaan ilegalnya. Toh, kegiatan pemanduan yang tidak memenuhi syarat saja bisa diizinkan dan dibayar pula. Menurut dia, soal kegiatan penundaan yang merugikan negara itu sudah diketahui pula oleh semua pihak dari awal: BP Batam, KSOP Khusus Batam, dan Polairud Polda Kepri. (baca: Kapal Ditangkap, BP Batam Terima Pemasukan Ilegal?)

 

Ia mencontohkan kasus pada TB An Ding. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Capt Mugen Sartoto dalam siaran persnya menyebut, nakhoda mengaku kapal sudah melakukan penundaan tanpa izin sebanyak kurang lebih 43 kali. Justru, menurut Wiko, kegiatan tersebut termasuk dilakukan perusahaannya ketika mendapatkan kebijakan khusus semasa Capt Mugen masih menjabat di KSOP Khusus Batam. Kebijakan itu tertuang dalam berita acara kesepakatan nomor BA.KSOP.BTM 6 Tahun 2021. Masa berlakunya tiga bulan, periode Mei – Agustus 2021.

 

Dia mengatakan, setiap kegiatan tanpa izinnya itu pun selalu dilakukan secara terang-terangan. “Dan kita ada catatan di log book,” katanya. Ini menandakan perusahaannya sedari awal tidak berniat lari dari tanggung jawab PNBP. Dia juga sudah mengurus pergantian bendera ke-12 kapal impornya. “Sudah satu tahun belum selesai, tetapi Surat Laut Sementara sudah ada. Kalau bisa langsung bayar selesai, saya juga mau. Biar saya bayar,” katanya.

 

Tidak jelas apa yang membuat proses pergantian bendera kapal itu tidak selesai, padahal sudah diurus sejak Oktober 2020 lalu. Terhitung mulai Mei 2021, sesuai yang tertulis dalam berita acara kesepakatan, disebut pula kalau pengurusan bendera dan kegiatan penundaan ikut diawasi oleh KSOP Khusus Batam.

 

Lantas, apakah kapal-kapal itu tidak memenuhi syarat untuk berganti bendera?

 

Wiko memberikan data 12 nama kapal yang pergantian benderanya sedang diurus. Dari-12 kapal itu ada delapan kapal yang sudah memiliki Surat Laut Sementara (SLS): An Lai (1993), An Xing (1972), Promise III (1993), Prosper Log (2006), MT Tutuk (1995), Syatt (1991), Lee Bo (1999), dan An Yang (1992). Keseluruhan kapal usianya di atas 20 tahun, bahkan ada yang 50 tahun. Kecuali Prosper Log yang usianya 16 tahun.

 

Di surat terbitan Direktur Perkapalan dan Kepelautan itu juga tertulis bahwa kapal telah memenuhi syarat sebagai kapal Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

Akan tetapi, bila merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan No.20 tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, justru kapal-kapal itu sudah masuk kategori larangan impor, apalagi berganti bendera. Sebab, aturan batas usia kapal bekas yang bisa diimpor adalah maksimalnya 20 tahun.

 

Pun bila dilihat dari Surat Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan/Penggantian Bendera Kapal Asing Menjadi Bendera Indonesia, rekomendasi dari Kemendag mengenai batas usia impor tersebut adalah syarat wajib untuk mengganti bendera kapal di Kementerian Perhubungan Laut. (baca di sini)

 

Wiko mengatakan, bila memang dari awal kapal itu statusnya dilarang impor harusnya diskresi juga tidak terbit. Pun sama halnya dengan Surat Laut Sementara. “Tidak ada statement begitu, jelas sudah ada sertifikat kapal Indonesia [yang dimaksud Wiko adalah SLS tadi],” katanya.

 

Plt Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Capt Mugen Sartoto, enggan mengomentari kebijakan yang dia buat dahulu. Termasuk soal aturan batas usia kapal saat melakukan pergantian bendera. Alasannya, karena kasus sedang dalam tahap penyidikan. “Kasus tersebut sudah disidik oleh PPNS KSOP Khusus Batam, dan saya tidak akan mengomentari hal tersebut,” katanya kepada Utopis,14 April 2022.

 

Kepala KSOP Khusus Batam, Rivolindo juga mempunyai sikap yang tak jauh berbeda soal kasus ini. Ia juga tidak menjawab pertanyaan soal pernyataan perusahaan yang menyebut tidak pernah diberi peringatan sebelum kapal ditangkap, dan mengapa setelah enam bulan masa berlaku diskresi itu habis barulah kapal-kapal PT Jaticatur Niaga Trans diamankan. Humasnya, Aina Solmidas mengatakan, “Mohon kita berikan kesempatan kepada tim PPNS untuk melakukan tugasnya,” katanya kepada Utopis.

 

Pemerhati sekaligus Praktisi Hukum di Kota Batam, Ampuan Situmeang menilai, jika berita acara kesepakatan itu disebut diskresi, maka syaratnya diskresi itu harus diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebab, tanpa ada dasar regulasinya, diskresi tidak dapat diberikan. Lantas bagaimana jika diskresi itu mengakibatkan kerugian pada negara? “Jika diskresi dilakukan sesuai dengan prosedur regulasi, maka kerugian negara tidak mungkin terjadi. Namun, kalau menyimpang dari regulasi, barulah akibatnya dapat diteliti dan diproses untuk menemukan ada atau tidaknya kerugian negara,” kata Ampuan kepada Utopis.

 

Kerugian negara sebetulnya dapat dengan mudah dilihat, baik di Kementerian Perhubungan, terutama di BP Batam, meskipun lembaga ini menerima PNBP dari kegiatan pemanduan dan biaya labuh. Yaitu dari kegiatan penundaan kapal, yang sebelumnya sudah diakui Wiko kalau untuk periode Februari – Maret 202 saja sudah ada 32 kegiatan. Atau ambil contoh dari kegiatan TB An Ding misalnya, yang dalam satu tahun sudah melakukan kegiatan 43 kali penundaan. Data yang diterima Utopis, PT Jaticatur Niaga Trans sedikitnya memiliki 6 kapal jenis tunda.

 

Pertanyaanya kemudian, apakah BP Batam tidak mengetahui soal kegiatan penundaan yang merugikan negara itu?

 

Direktur Badan Usaha Pelabuhan (BUP) BP Batam, Dendi Gustinandar mengatakan, kegiatan penundaan sudah diatur di dalam peraturan kepala BP Batam, baik kewajiban dan tarifnya. Lembaganya bekerja sama dengan beberapa mitra KSO, tetapi tidak menjawab apakah ada aturan yang memperbolehkan PT Jaticatur Niaga Trans, yang belum terdaftar itu bisa melakukan pemanduan atau penundaan.

 

“Sampai saat ini BP Batam bekerja sama dengan beberapa mitra KSO untuk memberikan pelayanan sesuai dengan tarif yang telah ditentukan, di mana pembayaran dari pengguna jasa akan didistribusikan ke PNBP Kementrian Perhubungan, PNBP BP Batam, dan sharing mitra KSO,” katanya.

 

Mengenai pertanyaan seputar apakah BP Batam mengetahui soal kegiatan-kegiatan penundaan yang dilakukan oleh perusahaan dalam satu tahun ini, Dendi mengatakan, “Terkait dengan pertanyaan di atas, kami mohon maaf karena sudah masuk di ranah hukum, sehingga kami harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” kata Dendi Gustinandar.

 

Di Peraturan Kepala BP Batam Nomor 27 Tahun 2021 diatur mengenai soal layanan penundaan kapal. Nilai keuntungan yang didapat negara dari satu jenis kegiatan ini berlipat lebih banyak ketimbang jasa labuh dan pemanduan. Untuk jasa labuh kapal niaga (luar negeri) dikenai tarif Rp1,4 juta, sementara pemanduan tarif tetapnya per kapal/gerakan Rp1,3 juta. Sedangkan untuk penundaan, tarif tetap per kapal yang ditunda sekitar Rp3 juta/jam. Itu untuk kapal kecil ukuran 3500 GT. Bila kapal ukurannya 40.000 – 75.000 GT, tarif layanannya sebesar Rp25 juta. Butuh 10 kali kegiatan pemanduan dan labuh untuk menyaingi pendapatan dari jasa penundaan. Sayangnya, pendapatan inilah yang justru hilang.

 

Erdi Steven Manurung, Ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) mengatakan, secara umum rata-rata kegiatan penundaan kapal adalah dua jam. Artinya, bila itu kapal berukuran di atas 40.000 GT maka pendapatan yang hilang dari jasa ini adalah sekitar Rp100 juta. Angka itu didapat dari kegiatan penundaan bolak-balik atau ketika kapal sandar (berthing) dan keluar sandar (unberthing). “Ada juga yang satu jam, tetapi rata-rata dua jam lebih. Tergantung jenis kapalnya,” katanya kepada Utopis.

 

Dia menjelaskan bahwa penyedia jasa pemanduan dan penundaan di wilayah kerja Pelabuhan Batu Ampar harusnya adalah BP Batam. Bila itu swasta harus dilakukan oleh perusahaan yang bekerja sama dengan BP Batam. Tentunya juga harus layak memenuhi syarat. “Pastikan dulu kegiatan penundaan kapalnya [PT Jaticatur Niaga Trans] sudah KSO belum? Kalau belum, ya, itu sudah jelas salah. “

 

Tarif dari penundaan kapal akan dibagi 20 persen untuk BP Batam, 5 persen PNBP ke KSOP Khusus Batam, dan 75 persen kepada KSO. Akan tetapi, bila perusahaan belum atau masih mendaftar KSO, maka jatah KSO disetor kepada BP Batam 100 persen sesuai Perka BP Batam Nomor 27 Tahun 2021. Oleh karena kegiatan dilakukan tidak menggunakan kapal tunda yang disediakan BP Batam (KSO) dan tanpa izin pejabat berwenang, maka perusahaan juga dikenakan denda sebesar 200% dari tarif dasar paling sedikit satu jam.

 

Erdi mengatakan, kasus ini harus dianalisa lebih jauh karena sekilas yang ia tahu pelanggarannya sangat mendasar dan fatal. “Saya pelajari dulu, ya. Sekarang saya masih di luar kota. Nanti saya akan membuat pernyataan tertulis soal kasus ini,” katanya.

 

Utopis mencoba membantu BP Batam dan KSOP Khusus Batam menghitung potensi kerugian negara dan denda yang harus dibayarkan oleh PT Jaticatur Niaga Trans dalam kasus ini. Perhitungan versi kami selengkapnya bisa Anda baca di sini.

 

 

 


 

 

Artikel ini adalah bagian dari laporan kami yang berjudul: Menyetor ke BUP, Ditangkap KSOP. Kami menuliskan laporan khusus tentang kasus itu secara terpisah agar Anda, para pembaca, bisa memahami persoalan secara utuh. Artikel berikutnya terbit pada 15-17 April 2022.

 

 


 

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.