Deputi bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Mayor Jenderal TNI Djaka Budhi Utama, usai menggelar rapat di Batam. Foto: Restu Bumi.

Meredam Kerugian Negara

Sejak enam bulan lalu, rapat-rapat tertutup membahas kasus Yuantai Holdings digelar berulang-ulang dan terkesan cuma mengakomodir keinginan korporasi. Tersiar kabar ada dugaan upaya meredam perkara dengan biaya operasional sekitar Rp1 miliar. Dana untuk menggempur petugas daerah yang menolak suap?
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

TIGA KEMENTERIAN Negara, Kejaksaan Agung, dan Bareskrim Mabes Polri turun tangan “menyelesaikan” keluhan Yuantai Holdings, korporasi asing yang kapal-kapalnya ditangkap oleh petugas Kantor Syahabandar Otoritas dan Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam. Sejak enam bulan lalu, rapat-rapat tertutup membahas kasus tersebut pun digelar berulang-ulang dan terkesan cuma mengakomodir keinginan korporasi. Tersiar kabar ada dugaan upaya meredam perkara dengan biaya operasional sekitar Rp1 miliar. Dana untuk menggempur petugas daerah yang menolak suap?

 


 

SAMBIL mengangkat jari telunjuknya, Mayor Jenderal TNI Djaka Budhi Utama, berkata, “Sudah-sudah. Tanyakan kepada KSOP.” Deputi bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam itu terus berjalan menorobos adangan wartawan. Sedangkan seorang pejabat dengan lencana Polhukam lainnya bilang kepada Utopis, “Kamu salah, bukan saya [yang diwawancara] … “ Keduanya memasuki mobil yang sama, kemudian menghilang.

 

Kamis siang, 28 Juli lalu, para pejabat Kemenko Polhukam itu baru saja selesai mengikuti rapat di kantor KSOP Khusus Batam. Rapat ini utamanya membahas penanganan masalah perizinan dan muatan kapal MT Tutuk yang ditangkap pada Maret lalu, milik Yuantai Holdings–sebuah korporasi asing yang diduga merugikan negara sekitar Rp100 miliar. Campur tangan para petinggi itu, seperti yang tertulis dalam surat undangan tertanggal 19 Juli 2022, berkaitan dengan permintaan korporasi asing tersebut yang menyurati kementerian pada 4 Juli 2022. (baca berita sebelumnya: Ibarat Menilang Anak Jenderal)

 

Selain pejabat Kemenko Polhukam, turut dalam rombongan itu Jaksa Agung Muda Intelijen, Roberthus Melchisedek Tacoy. Dia enggan berkomentar, termasuk ketika ditanya apakah Kejagung tengah/baru akan mendalami kerugian negara. “Tanyakan kepada ketua [Mayjen TNI Djaka Budhi Utama],” katanya seraya pamit menutup pintu mobil. Barangkali karena terburu-buru Robert sempat salah menaiki mobil. Utopis mencoba mewawancarainya lagi: “Untuk substansi saya tidak bisa bicara, karena cuma tamu,” katanya.

 

Ada pendapat, kunjungan perwira tinggi dan pejabat eselon I semacam itu seakan mencerminkan saling silang kepentingan dan pengetahuan antar-kementerian dan lembaga, tekanan dari kalangan yang kuat, hingga kesan kurang didukungnya petugas daerah yang sedang mengupayakan perubahan. Akan tetapi, benarkah demikian?

 

Utopis bertanya kepada dua orang penegak hukum yang berada dalam pusara perkara ini. Menurut mereka, meski rapat-rapat itu seakan memperlihatkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus dan mempercepatnya, upaya konkret membongkar seluk-beluk pelanggaran belum tampak nyata. Pembahasan belum tuntas sampai hari ini. Soal kerugian negara misalnya, pendalamannya masih tak jelas kendati persoalan telah mencuat di lingkup kementerian. Pembuktian untuk realisasi investasi Yuantai Holdings pun luput dibicarakan.

 

Keduanya meyakini, pejabat-pejabat dari Jakarta itu belum atau tidak memahami substansi masalah. Dia mengatakan, itu dapat terlihat dalam salah satu poin kesimpulan dari rapat yang digelar oleh Kemenko Polhukam dua pekan lalu itu. Sorotan utamanya adalah pada poin yang ditujukan Kemenko Polhukam kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang diminta segera memproses sertifikasi kapal paling lama lima hari setelah berkas persyaratan lengkap.

 

Yang menjadi soal adalah berkas persyaratan itu agaknya mustahil lengkap. Dokumen yang diperoleh Utopis menyebutkan ada 13 kapal milik Yuantai Holdings yang statusnya belum bisa dioperasikan. Persoalannya beragam, mulai dari kedaluwarsanya grosse akta, surat ukur sementara, dan surat laut sementara, hingga takadanya sertifikat keselamatan. Tercatat pula ada sembilan kapal yang sedang dalam proses peralihan bendera, dari asing menjadi Indonesia. Delapan kapal di antaranya berusia di atas 20 tahun.

 

HARAP DICATAT: salah satu syarat wajib untuk pergantian bendera adalah rekomendasi dari Kementerian Perdagangan. Itu berkaitan dengan batas usia kapal. Dalam ketentuannya di Permendag Nomor 20 tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, kedelapan kapal itu masuk kategori larangan impor karena berusia di atas 20 tahun. Itu berarti kapal-kapal itu takcukup syarat berganti bendera. Termasuk salah satunya adalah MT Tutuk, yang hendak beralih dari Panama ke Indonesia. (baca berita sebelumnya: Uang Bos Kapal yang Diabaikan)

 

MT Tutuk  sendiri ditangkap petugas karena kedapatan akan melakukan alih muat barang tanpa izin. Ketika diperiksa kapal itu bermuatan 5 juta liter minyak hitam (marine fuel oil). Dokumen pemeriksaan yang diperoleh Utopis menyebutkan, nakhoda kapal diminta menyembunyikan asal-usul muatan dengan tidak menuliskan kegiatan pada log book (laporan harian tertulis nakhoda). Dokumen muatan kapal berbendera Panama itu pun juga takada. Belakangan, muatannya diduga mengandung limbah berbahaya dan beracun melebihi ketentuan, yang diimpor dari negara maju untuk dibuang ke Indonesia.

Kolonel Inf Suranto, peserta rapat dari Kemenko Polhukam mengatakan, untuk detail perkara memang belum dikuasai oleh pejabat setingkatnya. Namun, dia bilang kasus ini langsung ditangani oleh para petinggi di kementerian. Pada rapat tertutup itu juga kata dia, para peserta berbicara sesuai dengan bidangnya keahlian masing-masing. “Yang jelas [kasusnya] tidak dibiarkan, artinya ada masalah, ya, tidak mungkin tidak diselesaikan. Jadi prosesnya [hukum] tetap berjalan,” kata Staf Kemenko Polhukam itu saat dihubungi Utopis, Jumat pekan lalu.

 

Erdi Steven Manurung, Ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) Kota Batam, yang mengetahui perjalan kasus ini berpendapat campur tangan para petinggi negeri sebetulnya dapat berpotensi merecoki proses hukum. Padahal penegakkan hukum itu penting untuk memberikan efek jera bagi pengusaha nakal sekaligus menggenjot penerimaan negara. Itu berarti, pemerintah seharusnya takboleh memaksakan kehendak investor tanpa mempedulikan kelayakan.

 

Dia mengatakan, “Satu dibiarkan melanggar, nanti semuanya ikutan melanggar,” kata Erdi. Dia juga mengkritik langkah kementerian yang dia nilai terlalu terburu-buru mempercayai apa kata investor. “Pada intinya, sudah saya bilang sebelumnya juga, pengusahanya sudah mengaku salah, kok. Ya sudah, ditunggu saja proses hukumnya. Ini bergantian meminta keterangan petugas daerah untuk apa? Menakut-nakuti?” kata Erdi.

 

Tindakan buru-buru yang dikatakan Erdi merujuk pula pada fakta-fakta terbaru tentang Yuantai Holdings belakangan. Sebelumnya, korporasi itu menggadang-gadang akan menggelontorkan dana senilai Rp29 triliun dalam waktu delapan tahun. Namun, semua rencana di atas buku meleset. Nilai investasi hingga tahun ketiga baru terealisasi mencapai Rp1,2 triliun. Soal nilai itu  pun baru diketahui dari surat terbitan Kementerian Investasi, yang ikut membahas perkara ini pada Mei 2022 lalu.

 

Menurut seorang pejabat di Kementerian Investasi, untuk nilai Rp1,2 triliun itu sebetulnya adalah total biaya yang dikeluarkan oleh Yuantai Holdings. Sementara untuk anak-anak perusahaanya di Batam, seperti PT Jaticatur Niaga Trans misalnya, memang sampai sekarang belum ada kelihatan realisasinya. “Kalau soal yang Rp29 triliun itu saya rasa masih wacana lah,” kata pejabat yang aktif mengikuti rapat-rapat yang membahas perkara ini kepada Utopis.

 

Turut campurnya Kementerian Investasi dalam perkara ini berawal dari surat yang dikirim oleh Yuantai Holdings bertarikh 14 Maret 2022. Yuantai dalam suratnya berharap para pejabat istana melegalkan seluruh kegiatannya yang belum memenuhi syarat administrasi di Indonesia. Termasuk atas kapal-kapal berbendera asingnya yang belum bersertifikat. Untuk menindaklanjuti itu, pejabat kementerian diketahui sempat turun ke Batam pada 11 Mei 2022. Tujuannya untuk “mendamaikan” petugas dan pengusaha.

 

Oleh karena Kepala KSOP Khusus Batam setelah ditemui tetapi bersikukuh melanjutkan perkara, akhirnya pada 31 Mei 2022 digelar rapat daring yang dipimpin oleh Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri dan diikuti Staf Khusus Presiden. Beberapa orang yang mengetahui percakapan dalam rapat itu menyebutkan, setelah mendapat penjelasan dari petugas, semua peserta rapat justru setuju agar kasus tetap lanjut ke meja hukum.

 

Setelahnya, pada 9 Juni 2022, tim dari Kementerian Investasi berkunjung ke Batam, yang dipimpin oleh Kepala Biro Hukum/Koordinator, Jeffri Huwae. Pertemuan tertutup dilaksanakan di kantor Kejaksaan Negeri Batam. Selain melakukan peninjauan, kedatangan bermaksud untuk bertukar data dan informasi terkait perkembangan perkara. “Pada intinya, kami [kementerian] menghormati proses hukum yang dilakukan teman-teman [KSOP],” kata pejabat Kementerian Investasi itu kepada Utopis.

 

Sumber Utopis meyakini, ihwal dugaan kerugian negara Rp100 miliar itu pastinya akan dibahas dalam rapat-rapat selanjutnya. “Sepertinya akan ada [khusus untuk membahas kerugian negara], karena belum final juga,” katanya.

 

Utopis sudah berusaha menghubungi Ady Soegiharto, Kasubdit Wilayah I Kementerian Investasi, untuk memeriksa keterangan-keterangan di atas. Akan tetapi saat dihubungi melalui sambungan telepon pada 1 Agustus lalu, Ady menolak untuk berkomentar. “Saya rasa untuk masalah ini langsung ke Humas saja,” katanya. Mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam ini juga diketahui ikut dalam rapat bersama Kemenko Polhukam 28 Juli lalu.

 

Utopis juga belum berhasil mendapatkan keterangan dari Kepala KSOP Khusus Batam. Permintaan wawancara sejak pekan lalu juga belum direspons.

 

Lantas, apa urusan Kemenko Polhukam turut campur dalam perkara ini? Benarkah keterlibatan kementerian ke Batam dibiayai oleh pengusaha?

 

Dikonfirmasi pada 7 Agustus 2022 lalu, Kolonel Inf Suranto, menepis ihwal kedatangan dirinya bersama pejabat Kemenko Polhukam ke Batam dibiayai oleh perusahaan. Suranto mengatakan, “Kami, kan, punya anggaran sendiri.” Sementara terkait tudingan bahwa kementerian hanya mengakomodir keluhan pengusaha, tetapi tidak membahas dugaan kerugian negara, dia menjawab, “Sepengetahuan saya, artinya kalau beliau-beliau [para petinggi] di kementerian rapat membicarakan persoalan itu, berarti kan dalam rangka penyelesaian [dugaan kerugian negara],” kata Suranto kepada Utopis.

 

Utopis mencoba menghubungi nomor telepon seluler yang diketahui milik Mayjen TNI Djaka Budhi Utama, tetapi belum direspons. Menurut Kolonel Inf Suranto, “Kalau Pak Djaka kemarin sedang mengurus anaknya, jadi jangan menghubungi beliau. Saya juga tidak punya kontak deputi-deputi yang bisa diberikan [untuk konfirmasi],” katanya.

 

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Intelijen, Roberthus Melchisedek Tacoy mengaku tidak mengenal Yuantai Holdings, berikut anak-anak perusahaanya, yaitu PT Jagad Energy, PT Pelayaran Melati Samudera (PMS), PT Pelnas Jaticatur Niaga Trans, dan PT Batam Slope and Sludge Treatment Center (BSSTEC). Robert mengatakan, kedatangannya ke Batam pada Juli lalu memakai anggaran negara yang sudah diurus oleh bagian keuangan. “Kami tidak pernah dibiayai siapapun dalam melaksanakan tugas,” kata Robert.

 

Ketika ditanya ihwal perkara ini, Robert mengatakan, “Kami sebagai tamu undangan saat itu, jadi ada baiknya tanyakan langsung ke Deputi Kemenko Polhukam. Kan, kami dan sebagian yang hadir dalam rapat itu sebagai tamu undangan saja.”

 

Pertanyaan soal pembiayaan kunjungan para pejabat tinggi itu muncul karena menurut para narasumber Utopis, sejak awal kasus bergulir, ada upaya lobi-lobi untuk membebaskan kapal. Wiko, bos dari PT Jaticatur Niaga diduga meminta uang senilai Rp1 miliar kepada perusahaan induknya dengan alasan untuk membayar denda kepada petugas. Namun, alih-alih berhasil membayar denda, perkara justru terus berlanjut sampai sekarang.

 

Saat wawancara bersama Utopis pada April lalu, Wiko memang berulang kali mengatakan bahwa perusahaannya siap membayar denda ataupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hilang dari kegiatan penundaan ilegalnya. Namun, ketika dikonfirmasi ulang sejak 1 Agustus lalu sampai berita ini ditulis, dua nomor telepon seluler yang diketahui adalah miliknya tidak lagi aktif. Utopis juga sudah mencoba bertanya kepada Direktur Utama PT BSSTEC, Budianto, yang tak lain adalah ayah Wiko. Menurut dia, untuk sementara anaknya memang tidak lagi aktif di perusahaan.

 

Budianto juga enggan mengomentari perkara ini, termasuk ketika ditanya keberadaan Wiko setelah ia ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2022 lalu. Budianto juga tidak mau menjawab tudingan bahwa ada upaya lobi. Dia justru berdalih kalau dirinya tidak lagi bekerja di PT BSSTEC. “Tidak  bagus kalau saya ikut berkomentar, karena saya sudah tidak bekerja lagi,” katanya kepada Utopis melalui sambungan telepon. (baca berita sebelumnya: Budianto: “Sudahlah, Saya Sudah Kalah”)

 

Bila dirunut, Kemenko Polhukam dan Kementerian Investasi bisa dibilang adalah dua lembaga negara terakhir yang muncul “menjembatani” persoalan ini. Direktur Badan Usaha Pelabuhan (BUP) BP Batam, Dendi Gustinandar, sebelumnya mengatakan persoalan yang dikeluhkan oleh Yuantai Holdings sudah dilaporkan kepada Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Ini adalah lembaga non-struktural yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato.

 

Bersama Kemenko Polhukam dan Kementerian Investasi, Kementerian Perekonomian juga ikut meresmikan BSSTEC pada 18 Maret 2021. Beberapa sumber Utopis di lingkungan BP Batam bahkan menyebutkan, sebelum kasus ini mencuat, Nelson, Mantan Direktur BUP BP Batam sebelumnya, sempat dilaporkan kepada Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono oleh seorang utusan BSSTEC. Persoalannya karena Nelson ngotot menentang kegiatan penundaan kapal tanpa izin yang dilakukan oleh PT Jaticatur Niaga Trans. “Permintaannya supaya Nelson dicopot kareba tidak mendukung investasi,” katanya kepada Utopis.

 

Dalam peresmian PT Blue Steel Industries, yang dihadiri oleh petinggi Kemenko Perekonomian pada 25 Juni 2022 lalu, Utopis mencoba memeriksa detail kisah-kisah di atas dengan meminta keterangan Airlangga Hartato. Hanya saja, Airlangga enggan menjawabnya. “Tidak ada pertanyaan soal kapal hari ini,” kata Airlangga Hartato dalam sesi wawancara tanya jawab kala itu. Setelahnya, Utopis juga berusaha melakukan wawancara cegat, tetapi sampai Airlangga memasuki ia tidak mau berkomentar.

 

Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menjawab singkat pertanyaan Utopis soal Yuantai Holdings. “Sekarang [kasusnya] sudah ada di Kejaksaan. Kami masih menunggu… “ katanya. Dia tak memberi respons lagi ketika Utopis bertanya, apakah benar ada seorang Jenderal yang mendatanginya meminta Nelson dicopot.

 

Sememangnya, Ihwal kabar adanya petinggi yang mempunyai pengaruh amat kuat sebagai pelindung perusahaan sudah lama beredar. Ada satu nama yang selalu melekat diduga sebagai pendukung kegiatan perusahaan. Dia adalah Laksamana TNI (Purn) Prof Marsetio. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut periode 2012 – 2014, yang sekarang menjabat sebagai Penasihat Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi.

 

Pada Rabu, 10 Agustus 2022, utopis berupaya mewancarai Laksamana TNI (Purn.) Prof Marsetio lewat sambungan telepon. Usai memperkenalkan diri dan baru menyebut nama Yuantai Holdings, Marsetio buru-buru menjawab “Waduh, saya enggak pada posisi itu.” Sambungan telepon pun langsung terputus.

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.