Seragam Polisi yang Tak Melulu Sakti

Fenomena ini serupa lingkaran setan yang sulit hilang. Pilihannya terjerumus atau tetap setia pada jalan sunyi seorang polisi.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Petugas polisi saat melakukan cipta kondisi di Kota Batam, Kepulauan Riau. Foto: Humas Polresta Barelang.

 


 

Entah siapa yang memulai, tetapi ada satu anekdot yang menyebut bahwa orang dengan seragam (baca: aparat negara), bakal dipermudah urusannya. Sesama aparat bakal saling membantu. Atau dalam istilah lain, jeruk tak mungkin makan jeruk. Sehingga jika kaum kami mengurus berkas kependudukan atau apapun sembari mengenakan seragam, sudah pasti bebas antre. Orang-orang kemudian menyebutnya seragam sakti.

 

Tapi yang saya alami tidaklah demikian. Suatu kali, saya datang ke kantor lurah untuk meminta surat keperluan nikah. Saya memang berpakaian dinas, tetapi sumpah bukan untuk menguji kesaktian seragam cokelat kebanggaan saya itu. Tidak. Kebetulan saja memang kantor lurah searah dengan kantor. Dan, saya pikir itu adalah keputusan yang tepat. Ke kantor lurah, berkas dapat, saya langsung bisa lanjut kerja. Realitasnya? Jangan tanya.

 

Saya tiba di kantor lurah sekitar pukul 9 pagi. Saat itu, memang PNS di pelayanan tidak sedang bermain Zuma, tetapi tetap saja membuat saya kesal. Surat keperluan untuk nikah yang saya minta tidak bisa diproses. Alasannya Pak Lurah sedang tidak di tempat. “Lalu, apa gunanya seketaris lurah?” pikir saya.

 

Setelah mencak-mencak sedikit, akhirnya surat yang saya minta diberikan oleh PNS yang bikin geregetan itu. Saya marah-marah ada alasannya, lho. Pertama, saya masih ada kerjaan lain selain harus mengurus berkas nikah. Kedua, saya sudah datang sejak pagi dan berkas baru selesai usai jam makan siang. Ketiga, ternyata seragam yang saya pakai ternyata tidak sakti seperti yang orang bilang. Alasan terakhir yang sebenarnya membuat saya jengkel. Bagaimana tidak, saya yang berstatus aparat negara saja sulit mengurus berkas, lalu apa ceritanya masyarakat biasa? Ah syudahlah.

 

Baca: Kau Kira Polisi Sejahat Itu?

 

Hampir satu dekade mengabdi untuk negeri, ada satu hal yang saya tak suka dari kelakuan para aparat negara. Kelakuan yang terus dibiarkan ini kemudian jadi kebiasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang normal. Ya, yang namanya kebiasaan, dan buruk pula, kalau dibiarkan pasti bakal jadi racun. Betul?

 

Kebiasaan yang saya maksud ini sebenarnya ada banyak macam bentuk dan peruntukannya. Namun, sederhananya kelakuan itu adalah menyebut dirinya sebagai “anggota”. Secara bahasa, tentu saja anggota dapat dimaknai dengan luas. Tapi secara umum, anggota di sini dimaksudkan sebagai aparat negara.

 

Sehingga ketika si “anggota” ini masuk ke dalam tempat rekreasi atau menggunakan fasilitas umum, dia akan diperlakukan istimewa dibanding masyarakat umum lain. Kurang bijak rasanya jika menyebut kelakuan itu hanya dilakukan oleh oknum saja. Toh, saya juga pernah melakukannya. Memang tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Sekadarnya saja.

 

Misalnya, ketika mula-mula saat masih dinas di kota, jujur saja, saya tidak mau menyebut diri sebagai “anggota” saat naik kapal untuk menghindari wajib membeli tiket. Hal serupa juga berlaku saat saya masuk tempat wisata malam atau ke pantai. Alasannya sederhana, pertama gengsi, lalu yang kedua cari duit di kota juga nggak susah-susah amat. Toh, beberapa kali jumpa orang (kolega) mereka sering ngasih duit pujian setelah kita membantu urusannya, ketemu senior keseringan diajak makan, ketemu kawan satu angkatan diajak ngopi, dibayari pula.

 

Tapi setelah dinas tempat yang jauh, saya sadar sesuatu. Tugas di daerah berimbas pula pada susahnya mencari uang sampingan (secara halal tentunya). Gaji yang sejatinya juga mesti dikirim ke keluarga di daerah seberang, seringkali malah kurang untuk keperluan sehari-hari.

 

Kondisi semacam itu yang kemudian membuat saya dan beberapa anggota lain harus putar otak (manusiawi saya rasa mencari uang tambahan di luar jam kerja) dengan melindungi, mengayomi, dan melayani warga (penyuka hiburan malam). Sulit ternyata. Selain karena jumlah tempat hiburan malam yang sedikit, rata-rata pengusaha juga sudah punya pengayom. Baik itu dari satuan samping, atau yang pangkatnya lebih tinggi ketimbang saya. Intinya yang berseragam lah. Suram sekali.

 

Jujur saja, realita memang sering menjadi cobaan yang menggoyah prinsip seseorang. Saya pun demikian. Meski tidak mengutuk kebiasaan rekan-rekan seperti itu, belakangan saya hanya maklum. Tetapi, menurut saya ada dua kemungkinan seorang aparat negara masih menyebut dirinya “anggota” guna mendapat perlakuan dan fasilitas khusus. Pertama dia berlagak, sehingga perlu menyebut dirinya “anggota”, dan ini memang sindrom yang banyak dilakukan oleh aparat negara baru. Lalu kedua, ya karena dia miskin sehingga perlu mendapat perlakuan dan fasilitas khusus tanpa keluar uang.

 

Dengan kondisi dompet tipis, ditambah tak ada ruang untuk mencari uang sampingan, solusinya mengurangi jatah makan, yang biasanya 3 kali sehari bisa jadi sehari sekali. Karena ketimbang anak dan istri tak makan, mending saya yang mengurangi jatah lambung.

 

Sebenarnya masih ada solusi lain, tetapi itu pun lumayan sulit. Berniaga misalnya. Atau yang paling sederhana adalah berjualan rokok di barak. Tapi jangan dikira ini perkara mudah. Harus diakui memang, asap tembakau jadi kebutuhan pokok tiap anggota di barak, termasuk saya. Tapi seringkali hal itu berbanding terbalik dengan keinginan mengeluarkan uang untuk sebungkus rokok.

 

Di banyak kasus, mereka yang menempuh jalan ini justru gagal jadi pengusaha rokok. Alasannya apalagi kalau bukan karena utang pembeli yang menumpuk. Sudah jadi rahasia umum  saya rasa, pengutang malah lebih galak ketimbang penagih. Dalam kasus ini, yang berutang juga abang leting. Makin suram sudah.

 

Pun kalau usaha jual rokok atau semacamnya terhitung sukses, bakal dinyinyirin sama anggota yang lain. Hal yang otomatis membuat semangat kendur. Kalau sudah seperti ini, pilihannya, ya, pasti jadi pengayom. Kerja tak terlalu berat, tiap bulan ada pemasukan, turun ke lapangan pun kalau ada masalah saja.

 

Fenomena ini serupa lingkaran setan yang sulit hilang. Pilihannya terjerumus atau tetap setia pada jalan sunyi seorang polisi. Untuk saat ini, saya memilih menjadi anggota dengan dompet tipis dan menghindari gesekan-gesekan yang tak perlu. Nah, siapa saya? Rahasia. Salam!

 


 

Artikel ini merupakan bagian dari serial #PenulisBerseragam yang ditulis oleh salah seorang sukarelawan kami yang bertugas di Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan kisah-kisah atau perspektif dari mereka yang bekerja untuk negara. Serial ini tidak didukung dana dari instansi manapun, dan tidak memengaruhi independensi redaksi utopis.id.

 


 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.