utopis.id

Kau Kira Polisi Sejahat Itu?

Seperti juga jenis manusia lain, polisi juga memiliki sisi-sisi kemanusian yang tak berbeda dengan orang kebanyakan. Beda polisi dengan orang-orang kebanyakan hanya pada seragam dan tugas kerja. Selebihnya, ya sama saja.

Polisi sedang mengamankan pelaku kriminal. Foto: Restu Bumi

Jarum jam terus bergerak mematangkan siang. Panasnya terasa bahkan seolah menembus batok kepala yang hanya terlindungi rambut seujung kuku. “Lari satu putaran lagi!” teriak pembina di samping saya. Ketimbang harus dijemur dan tak mendapat jatah makan siang, saya mengabaikan napas yang terengah-engah dan keringnya kerongkongan.

 

Itulah sedikit kilas balik saat saya menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Negara dulu. Sekolah wajib bagi tiap polisi di republik ini. Lamanya sekitar 7 bulan, dan tiap harinya waktu berjalan seolah melambat. Berbagai rutinitas harus kami jalani, dan ya, semua tidak pernah terpikirkan bakal seperti itu.

 

Bayangan saya di awal tentu saja menjadi polisi adalah salah satu profesi gagah di dunia. Badan tegap dengan seragam coklat plus pangkat, dan konon hidupnya penuh nikmat.

 

Namun, seperti juga jenis pekerjaan lain, menjadi polisi tak selalu menyenangkan. Tentu ada manis-pahit, asam-garam dan enak-tidak enak mengemban amanah menjadi seorang polisi. Enaknya adalah, polisi muda macam kami tak akan kesulitan mencari gebetan walau gaji kami masih pas-pasan, insyaallah masih cukup dan jumlahnya pun tetap.

 

Di luar gaji pokok, kami mendapat tunjangan dan gaji ke 13. Selain dua hal itu, setelah masa tugas mengabdikan diri pada negara tuntas dilakukan, pemerintah mengompensasi loyalitas seorang polisi dengan uang pensiun. Untuk memiliki kemapanan finansial, menjadi polisi tampaknya adalah salah satu pilihan tepat, selain tentunya menjadi abdi negara dalam bentuk lainnya.

 

Selain soal gaji tentu ada beberapa hal lain yang membuat profesi ini tampak menyenangkan. Saya tak akan membahas itu di sini. Tetapi intinya, polisi tak sejahat yang engkau kira. Di curhat tulisan singkat ini saya ingin membahas hal-hal lain yang jarang orang-orang di luar sana tahu. Kadang, menjadi polisi menempatkan kami pada posisi yang dilematis. Saya, berdasarkan pengalaman pribadi akan menguraikan beberapa hal yang selama ini mungkin tak dipahami oleh orang-orang.

 

Lewat tulisan ini saya juga akan menunjukkan betapa polisi juga adalah manusia biasa, sama seperti orang lain di dunia ini. Mereka menjalani kehidupan seperti juga manusia lain menjalani kehidupan, berinteraksi dengan orang-orang, berkomunikasi, merasa kesal, memaafkan, membaca manga, menonton drakor, patah hati dll.

 

Oh iya, sebelumnya perkenalan dulu. Nama saya adalah, teeet. Sengaja saya anonimkan, karena ada hirarki yang harus saya hormati. Intinya, saya bertugas di jajaran Polda Kepulauan Riau. Persisnya tempat saya bertugas: pokoknya jauh di pelosok. Dan, saya cukup bangga mengakui itu. Saya adalah polisi yang bersahabat dengan bulan purnama, karena di bawah sinarnya saya merasakan cinta. Ciee, sudah cocok jadi pujangga belum?

 

Kesempurnaan Bukan Milik Polisi

 

Profesi polisi begitu dekat dengan “kesempurnaan”. Dalam bahasa yang sederhana, kami dituntut untuk menjadi sempurna. Padahal kita semua tahu sempurna itu punya Andra and The Backbone Tuhan. Karena sebab itulah, ketika ada satu-dua polisi yang melakukan keburukan, kami semua kemudian dianggap menyalahi kodrat sebagai manusia sempurna.

 

Selain soal kesempurnaan tadi, hal lain yang tak menyenangkan adalah mengetahui bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Setiap orang dijamin haknya dalam menyuarakan pendapat. Sialnya polisi sering mendapat getah dari kebebasan itu.

 

Dalam negara demokrasi, demonstrasi adalah syarat mutlak yang harus ada sebagai bentuk kebebasan menyampaikan aspirasinya di muka umum. Sebagai polisi tentu saja saya pernah diberi tugas mengamankan demonstrasi. Mulai dari demo mahasiswa, penolakan penggusuran sampai demo buruh.

 

Demo, yang seringkali pada awalnya dikatakan damai (karena tak mungkin pendemo akan bilang aksi mereka bakal ricuh) kadang tak sedamai katanya. Seperti tagline sebuah iklan minuman teh dalam kemasan botol itu, “apapun alasan demonya, makinya, pak polisi saja”. Yang dimaki malah bukan pembuat kebijakan, bukan pemerintah, bukan presiden, sungguh bukan mereka yang dimaki-maki oleh pendemo sebenarnya. Padahal kami hanya menjalankan tugas pengamanan.

 

Berbicara polisi adalah juga bicara tentang loyalitas. Di balik kegagahannya, sering hal-hal penting yang menjadi tugas polisi luput dari perhatian masyarakat. Di balik tidur nyenyak masyarakat, ada banyak polisi yang meninggalkan keluarga demi menjaga keamanan selama mereka tertidur. Di balik lancarnya lalu lintas pada pagi hari, ada polisi yang mungkin sejak matahari belum muncul harus apel pagi untuk menyiapkan itu.

 

Polisi juga harus siap sedia jika ada Panggilan Luar Biasa (PLB) walau mungkin dia sedang libur. Karena belum berkeluarga, saya belum memahami bagaimana rasanya meninggalkan anak dan istri. Yang saya tahu, malam minggu saya dan pacar kadang terganggu karena panggilan tugas, dan itu tak menyenangkan.

 

Sisi Lain Polisi

 

Seperti juga jenis manusia lain, polisi juga memiliki sisi-sisi kemanusian yang tak berbeda dengan orang kebanyakan. Beda polisi dengan orang-orang kebanyakan hanya pada seragam dan tugas kerja. Selebihnya, ya sama saja.

 

Dalam hal percintaan misalnya, kami (polisi laki-laki) sering dipandang sebagai playboy karena berganti-ganti pasangan. Saya kira ini hanya terjadi pada beberapa polisi. Karena nyatanya saya tak begitu. Namun, hanya karena ada beberapa yang melakukan hal itu, tentu tak bijak mengatakan semua polisi muda adalah playboy. Apakah saya ingin? Ya jelas, TIDAK. Saya tak berganti-ganti pasangan, selain karena tak banyak pilihan, saya juga sadar kalau wajah ini tak mendukung menjadi seorang playboy. Bahkan, pacar saya masih perempuan yang saya pacari sejak beberapa tahun yang lalu. Jujur saja, saya juga geli mendengar aparat berseragam yang merasa hebat merayu dan menggoda wanita.

 

Saya rasa saya juga bukan tipe polisi yang sok gagah, jemawa, dan menyepelekan orang lain. Suara saya tak meledak-ledak, seraya mengangkat kaki di atas kursi, atau bahkan nangkring di atas meja. Sungguh, laknatlah saya kalau bersikap seperti itu.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, polisi juga sering kali dicitrakan buruk, sangar, jarang senyum dll. Polisi sering dijadikan kambing hitam dan pelampiasan bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Kesan buruk itu bahkan sudah ditanamkan sejak kecil dalam ancaman untuk mendiamkan anak-anak yang rewel.

 

Kalimat “Kalau nggak mau diam, Ibu panggilin polisi ya”, adalah bentuk nyata dari pencitraan buruk profesi polisi. Kasihan anak-anak yang diancam dengan kalimat itu jika tumbuh dewasa dalam kebohongan. Bisakah kawan-kawan bayangkan betapa repotnya pekerjaan kami jika harus mendiamkan tangisan dan rengekan anak-anak di seluruh Indonesia? Belum lagi kampanye KB (Keluarga Berencana) 2 anak lebih baik, juga tidak sukses-sukses amat.

 

Ada juga sebuah anekdot yang populer mengenai kejujuran polisi. Bunyinya “polisi jujur cuma tiga: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng. Ini adalah guyonan Presiden ke-3 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

 

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya keberatan dengan cara pandang generalisir seperti itu sebenarnya. Di satu sisi juga tak dapat berbuat banyak. Padahal, seperti juga jenis manusia lain, polisi ada yang baik dan ada yang tak baik. Hal itu semata-mata karena kami juga manusia. Saya tak ingin bilang bahwa semua polisi baik. Tetapi menganggap semua polisi itu jahat juga kelewatan.

 

Kalau kita mau jujur, semua profesi tentu begitu. Selalu ada yang benar dan yang salah. Inilah keseimbangan. Yin dan Yang, kawan-kawan. Orang baik dan tak baik selalu ada dalam setiap kelompok profesi, baik itu polisi, politisi, jurnalis, dokter bahkan ustaz (kalau ustaz juga digolongkan sebagai profesi).

 

Menurut saya, menjadi polisi tidaklah semudah mengupil di pagi hari, apalagi untuk ukuran kota sepadat Batam. Kesalahan dalam mengambil tindakan bisa berakibat fatal. Tapi kami sepenuhnya paham bahwa jalan yang kami pilih ini berisiko dan dituntut bertanggung jawab akan hal itu.

 

Jadi, begitulah teman-teman. Tulisan pendek ini tentu tidak bisa menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran. Namun, satu hal yang pasti. Polisi pun sebenarnya manusia biasa. Bisa kesal dan tentu saja selalu menanti tanggal gajian.

 


 

Artikel ini merupakan bagian dari serial #PenulisBerseragam yang ditulis oleh salah seorang sukarelawan kami yang bertugas di Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan kisah-kisah atau perspektif dari mereka yang bekerja untuk negara. Serial ini tidak didukung dana dari instansi manapun, dan tidak memengaruhi independensi redaksi utopis.id.

 


 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.