Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam, Kepulauan Riau. Foto: Kasiyanto bin Iskandar.

Mimpi Memajukan Kebudayaan Melayu

Rencana Pemerintah Kota Batam memajukan kebudayaan Melayu terganjal peraturan wali kota sebagai petunjuk teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018. Perwako ini penting, karena telah menghambat kerja-kerja Organisasi Perangkat Daerah memajukan budaya, juga untuk meluruskan kekeliruan pelbagai praktik kebudayaan yang mulai membudaya.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

Pada 2018, sebuah Peraturan Daerah (Perda) bernama Pemajuan Kebudayaan Melayu (PKM) disahkan. Bab II Pasal 5 menyebutkan bahwa tujuan Perda ini adalah “mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa”.

 

Berselang 4 tahun setelah Perda tersebut disahkan, hal-hal yang menjadi tujuan mulia dari pembuatan Perda ini belum lagi nampak. Masyarakat, jangankan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan yang dimaksud, yang terjadi malah praktik-praktik kebudayaan diwarnai kekeliruan di sana-sini.

 


 

Kerja-kerja pemajuan kebudayaan yang termaktub dalam Perda tersebut adalah melalui kegiatan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Perda ini hendak memajukan antara lain Tradisi lisan, Manuskrip, Cagar budaya, Adat istiadat, Ritus, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Permainan rakyat, Olahraga tradisional dan, Perfilman di tengah-tengah masyarakat.

 

Ketiadaan Peraturan Walikota (Perwako) yang mengatur teknis pelaksanaan Perda PKM terutama terhadap 12 objek PKM telah menjadi penghambat kerja-kerja kebudayaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Zen, Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Batam. Menurutnya, Disbudpar belum dapat bekerja secara leluasa karena belum ada Perwako yang membahas banyak hal yang sifatnya teknis dalam Perda ini.

 

Akan tetapi, Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad mengatakan bahwa Perda ini sebenarnya tak membutuhkan lagi Perwako yang membahas mengenai teknis detail dalam pelaksanaanya, kecuali untuk poin-poin yang memang membutuhkan penjelasan detail dan belum dibahas dalam nomenklatur Perda tersebut.

 

 “Turunan atas sebuah regulasi itu bisa berkategori wajib, bisa berkategori sunah bisa juga tidak. Kalau satu regulasi sudah detail memformulasikan kebijakan itu, maka kebijakan itu tinggal dilaksanakan kecuali dia belum detail,” katanya setelah menghadiri Rapat Paripurna di DPRD Kota Batam, belum lama ini.

 

Sebenarnya LAM Kota Batam yang dalam nomenklatur Perda tersebut berwenang “merekomendasikan” sudah melaksanakan tugas tersebut. Sekretaris LAM, Raja Muhammad Amin menjelaskan kepada Utopis duduk perkara mengenai Perwako yang dimaksud. LAM dan Disbudpar menurutnya sudah membahas poin-poin penting dalam Perda tersebut terkait misalnya pakaian adat Melayu. Rancangan tersebut sudah rampung dibahas dan diserahkan kepada Pemko Batam. Masalahnya, ia tak mengetahui lagi kabar rancangan Perwako itu. 

 

Menurut Muhammad Yunus, Anggota Legislatif dari Fraksi Demokrat DPRD Kota Batam yang juga adalah Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda PKM itu mengatakan, sejak Perda tersebut disahkan hingga saat ini, belum ada pembahasan bersama stakeholder (Disbudpar, DPRD dan LAM) secara resmi.

 

“Kepala dinas (termasuk saya yang juga pengurus LAM) dan ketua LAM, pernah nggak sih kita diundang duduk satu meja? Kan, OPD terkaitnya Dinas Kebudayaan (dan pariwisata), yang tahu masalah adat-istiadat kan LAM, ajak duduk dong. Yang kayak mana ni yang benar. Dinas Kebudayaan takut salah kaprah, yang LAM nunggu diundang,” katanya kepada Utopis.

 

Praktik Kebudayaan yang Keliru

 

Di tengah simpang siur mengenai penerbitan Perwako yang mengatur tata laksana Perda PKM itu, kebudayaan di Kota Batam tergerus dari hari ke hari. Masyarakat tak memahami kebudayaannya. Budaya diketahui, tetapi tak dipahami nilai-nilai dan filosofinya.

 

Dalam hal berpakaian misalnya, lumrah adanya pakaian Melayu hanya terdiri dari sepasang baju dan celana ditambah songkok. Padahal, menurut Samson Rambah Pasir, Budayawan Batam, pakaian Melayu itu selain baju, celana dan songkok juga harus menyertakan kain samping.

 

Kekeliruan ini tak hanya terjadi di Masyarakat. Di kalangan pemerintahan hal ini pun sering dijumpainya. Ia misalnya mencontohkan kekeliruan sederhana ketika banyak pejabat atau staf di kantor-kantor pemerintah yang melepas kain samping setelah acara selesai. Padahal, menurutnya hal itu tak dibolehkan. Belum lagi menghitung kesalahan pada desain pakaian Melayu di kantor-kantor pemerintah. Muhammad Yunus, Ketua Pansus PKM DPRD Kota Batam mengatakan bahwa pakaian Melayu yang asli sebenarnya tak memakai kancing. Ia pun menekankan mengenai betapa praktik-praktik kebudayaan pada hal berpakaian saja penuh dengan nilai dan filosofi.

 

Kekeliruan lain yang sering terjadi adalah pada prosesi tepung tawar. Ritus ini biasa dilaksanakan pada pernikahan Melayu. Urutan orang dalam tepung tawar itu sebenarnya ditentukan, tapi kadang orang yang lebih tinggi jabatannya didahulukan untuk menghargai. Menurut Samson, hal ini “niatnya bagus, tapi secara adat salah.”

 

Selain itu, kesalahan juga nampak pada kebiasaan menggunakan keris. Menurut Muhammad Yunus, keris Melayu itu (aturan penggunaannya) berbeda dengan keris Bugis. Keris Bugis menurutnya tak bisa dibolak-balik sedangkan keris Melayu bisa diputar kepalanya. Hal ini bukan tanpa alasan. Dalam posisi waspada kepala keris Melayu menghadap ke lawan, sedangkan dalam posisi damai ia menghadap ke dalam. Ia masih sering melihat dalam acara-acara adat termasuk pernikahan praktik penggunaan kerisnya tak sesuai.

 

Di tempat berbeda, Ardiwinata, Kepala Disbudpar Kota Batam turut mengomentari kekeliruan soal tepak sirih. Ia mengatakan bahwa ketentuan ini dibahas juga dalam Perda PKM termasuk komposisi dalam tepak sirih, bagaimana menyajikannya, urutan pemberian hingga bagaimana cara memakan isi dari tepak sirih itu. Seringnya karena hal-hal detail ini tak dibicarakan, masyarakat menganggap sah saja mengatur isi tepak sirih sesuai keinginan.

 

Dari semua kekeliruan praktik berbudaya itu, yang paling mengejutkan sebenarnya adalah awamnya para pejabat ketika ditanya mengenai folosofi tanjak dalam struktur bangunan Masjid Tanwiru Naja (Tanjak) yang baru diresmikan (baca berita sebelumnya: Masjid Tanjak) Beruntung, kami sempat meminta pendapat Raja Muhammad Amin, Sekretaris LAM Kota Batam mengenai filosofi Masjid Tanjak tersebut.

 

Menurutnya, desain masjid tersebut memang meniru bentuk tanjak yaitu jenis Dendam Tak Sudah. Makna “dendam” dalam jenis tanjak tersebut sebenarnya bukan bermakna negatif melainkan perubahan penyebutan dari “dandan”. “Dandan” menjadi “dendam”. Hal ini sesuai dan bisa mewakili semangat kota Batam yang terus berdandan atau berbenah khususnya dalam hal infrastruktur.

 

 

Sememangnya sejak disahkan pada 2018, belum nampak kemajuan berarti dalam hal pelaksanaan Perda ini. Selain teknis pelaksanaan Perda terebut yang masih simpang siur, kendala yang sempat dihadapi oleh Disbudpar adalah pandemi covid-19 yang sempat menghantam Batam. Akibat pandemi covid-19, kerja-kerja pemajuan kebudayaan yang sampai saat ini sudah dilaksanakan oleh Disbudpar masih terbatas pada kegiatan inventarisasi terutama pada objek benda cagar budaya.

 

Nasib ke-12 objek PKM ini tak terlalu baik jika dibandingkan dengan amanat Perda lainnya yaitu pembentukan Museum di Kota Batam dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Pada 2021 Pemerintah Kota Batam mengeluarkan Perwako No. 18 sebagai dasar hukum pembangunan Museum di Kota Batam. Museum yang akhirnya diberi nama Museum Batam Raja Ali Haji resmi dibuka pada 12 Desember 2020, bertepatan dengan hari jadi Kota Batam ke 191.

 

 


 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.