Rudi dan Ansar
Ansar, Airlangga, dan Rudi bertepuk tangan usai memencet sirene tanda dibukanya Masjid Tanwirun Naja di Bandara Hang Nadim. Foto: Restu Bumi.

Masjid Tanjak: Dendam Tak Sudah

Sepanjang acara, keakraban diperlihatkan oleh Airlangga baik kepada Rudi maupun Ansar. Sementara untuk dua kepala daerah di Kepulauan Riau itu, Utopis tak melihat mereka saling berteguran. Sama-sama terkesan menjaga jarak, menghindari mata berkontak.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

PARA PEMIMPIN itu datang terlambat. Puluhan (mungkin ratusan) orang sudah ramai menunggu sejak pukul 10.00 WIB. Dari selebaran, rencana peresmian Masjid Tanwirun Naja (Tanjak) pada Jumat tanggal 24 Juni 2022 itu diumumkan kepada masyarakat akan dimulai pukul 10.30 WIB. Sementara di lapangan, tokoh pentingnya baru tiba sekitar pukul 11.20 WIB. Mereka datang 50 menit lebih lama, karena mesti mengikuti prosesi adat suku Melayu terlebih dahulu.

 

Siang itu, mereka tiba dengan menumpang satu bus yang sama. Orang pertama yang turun dari bus adalah Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Ansar Ahmad, kemudian disusul Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato. Setelah beberapa pejabat lain turun, barulah terlihat Wali Kota Batam merangkap Kepala BP Batam, Muhammad Rudi. Untuk nama yang terakhir adalah sosok yang memprakarsai rumah ibadah nan megah ini.

 

Banyak orang, khususnya wartawan, mulai berbicara politik ketika melihat kehadiran Ansar Ahmad. Itu karena hubungan Ansar dan Rudi belakangan memanas gara-gara pembagian insentif RT/RW. Terutama, antara lain, setelah takada satu pun pejabat pemerintah kota hadir di acara pemerintah provinsi pada 21 Juni 2022 lalu. Waktu itu, Ansar bahkan menyindir wakilnya, Marlin Agustina Rudi, yang dia bilang karena kesibukannya menemani wali kota jadi berhalangan menghadiri acara.

 

Sepanjang acara, keakraban diperlihatkan oleh Airlangga baik kepada Rudi atau pun Ansar. Sementara untuk dua kepala daerah di Kepulauan Riau tersebut, Utopis tak melihat mereka saling berteguran. Sama-sama terkesan menjaga jarak, menghindari kontak mata. (baca berita sebelumnya: “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”)

 

Rudi berjalan dan bercakap-cakap di samping Airlangga mulai dari prosesi penekanan tombol sirene, penanaman pohon Khaya di perkarangan, sampai dengan memotong pita di depan pintu masuk masjid. Selama itu, Ansar cuma kebagian berjalan di belakang. Kemudian posisi berganti ketika di dalam masjid. Ansar dan Airlangga duduk berdampingan di saf pertama mulai dari pidato sambutan hingga usai salat. Sementara Rudi duduk cukup jauh, berjarak lima orang di samping dua penggawa Golkar itu.

 

Dari podium kecil di samping mimbar, Airlangga kemudian menyampaikan pidato sambutannya. Pertama-tama dia memuji ornamen masjid seluas 4.983 meter persegi yang membentuk lingkaran menyerupai tanjak. Menurut dia, masjid dengan biaya pembangunan senilai Rp39 miliar ini konsepnya di luar kelaziman. Ia memuji arsitekturnya dengan frasa “think outside the box”.

 

Orang-orang masih serius memperhatikan pidato Airlangga, sementara sebagian petugas BP Batam terlihat berdiri, memastikan kelancaran acara.

 

Kemudian Airlangga membahas tentang warna masjid. Kali ini, suasana sedikit mencair. “Ada lagi yang bersaing dari masjid ini… yaitu warnanya. Warnanya biru, kuning, hijau. Ya, ini mungkin karena di hari jumat yang barokah ini, artinya sangat jelas,” katanya. Belum sampai menjelaskan soal “arti yang sangat jelas” yang dimaksudnya itu, Airlangga mengatakan, “Apalagi oleh Pak Kepala BP Batam dikasih lis merah. Lengkaplah sudah.”

 

Beberapa orang tertawa mendengar pidato itu. Ada yang menganggap warna-warna yang disebutkan adalah simbol politik. Apalagi Airlangga tak menyebut dua warna lain yang menghiasi masjid, yaitu abu-abu kehitaman dan putih. Itu juga karena tiga warna pertama yang disebut Airlangga sama dengan warna bendera partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Kuning untuk Golkar, biru untuk Partai Amanat Nasional, dan hijau untuk Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan warna pelengkap yang disebutkannya terakhir dianggap adalah sinyal untuk PDIP, yang memang belum berkoalisasi, dan ramai diberitakan media Jakarta berpeluang bergabung dengan KIB.

 

Kepada kontributor Tempo, Yogi Eka Sahputra, Airlangga membantah kalau masjid ini dia anggap sebagai simbol politik. “Ini simbol agama, bukan simbol politik… ,” kata Airlangga. Waktu itu, Utopis tak berkesempatan melakukan wawancara cegat karena mengira Airlangga keluar dari pintu depan, ternyata sebaliknya.

 

Sememangnya acara peresmian masjid itu takada agenda tanya jawab dengan wartawan. Padahal kesempatan wawancara dalam momen itu dinanti-nanti. Bukan sekadar pertanyaan soal seremonial, atau tentang polemik silaturahmi politik—yang kami artikan sebagai tali persaudaraan untuk urusan pemerintahan daerah– Rudi dan Ansar di masjid. Melainkan juga ihwal jenis tanjak yang dipakai dalam arsitektur bangunan.

 

Utopis mewawancarai tiga pejabat di lingkungan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, untuk mengetahui jenis tanjak apa yang dipakai dalam arsitektur bangunan itu. Termasuk bertanya langsung kepada Ketua Proyek Pembangunan Masjid Tanjak. Akan tetapi, takada satu pun yang tahu. Ada juga yang tak menjawab.

 

Pertama-tama Utopis bertanya kepada Nanang, Ketua Proyek Pembangunan Masjid Tanjak. “Saya tidak tahu, karena kami hanya membangun fisiknya. Jadi, segala macamnya itu [desain urusan] perencananya. Perencananya dari BP Batam,” katanya Nanang saat diwawancarai di sela-sela acara peresmian.

 

Mana kala tak mendapat jawaban, Utopis bertanya kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Ardiwinata. “Waduh, nanti lebih bagus yang menjelaskan dari BP Batam dan pihak-pihak terkait, ya,” katanya. Belum selesai Utopis melanjutkan pertanyaan, ada oknum wartawati yang memotong pembicaraan, melarang menanyai soal jenis tanjak. “Jangan, jangan. Udah Bang, soal pariwisatanya saja.”

 

Pada kesempatan lain, Ardiwinata menjelaskan beberapa nama-nama dari jenis tanjak, seperti Tanjak Bugis Tak Balek; Dendam Tak Sudah; Palung Raja; dan Tebing Runtuh. Akan tetapi, ia kurang tahu tanjak apa yang menginspirasi Masjid Tanwirun Naja.

 

Kemudian Utopis bertanya dengan Kepala Biro Humas BP Batam, Ariastuty Sirait. Dia meminta Utopis menanyakan langsung ke Kepala BP Batam, yang saat peresmian takberhasil diwawancara karena langsung meninggalkan masjid. Rombongan Rudi melanjutkan makan siang bersama menteri, dan kemudian menghadiri agenda penandatanganan kerja sama di Bandara Hang Nadim. Di acara itu, Utopis dilarang bertanya hal-hal yang di luar konteks acara.

 

Keesokan harinya Utopis mencoba menghubungi Kepala Bagian Humas BP Batam, Sazani. Dia menjawab pertanyaan soal warna yang menginspirasi Masjid Tanjak, tetapi tidak menjawab soal jenis tanjak yang dipakai. “[Pertanyaan] No 2 warna logo BP Batam, biru dan kuning emas,” katanya.

 

Tarmizi, pengrajin tanjak di Kota Batam mengatakan, bila dilihat dari bentuk fisiknya, tanjak di Masjid Tanwirun Naja itu menyerupai Tanjak Dendam Tak Sudah. Menurutnya, jenis itu juga yang paling umum dipakai masyarakat melayu, terutama di Kepulauan Riau. “[Orang] di LAM [Lembaga Adat Melayu] juga rata-rata memakai jenis tanjak itu,” kata penyair yang dikenal dengan nama Tarmizi Rumahitam itu .

 

Dia menjelaskan kalau Tanjak Dendam Tak Sudah bermakna lambaian kasih, bukan dendam amarah. Penutup kepala adat Melayu yang berbentuk runcing ke atas itu, kata dia, mencitrakan seseorang pria melayu yang memiliki keinginan kuat dan tak pernah putus asa untuk mencapai sesuatu. Ia juga bermakna rasa empati, kasih sayang, dan saling mencintai.

 

Untuk komposisi warna, Tarmizi enggan berkomentar. Dia berharap, di area masjid yang dibangun di atas lahan seluas 15.100 meter persegi itu, dibangun gerai untuk pengrajin tanjak agar dapat memajang produk-produknya. “Soal ini [gerai], saya sudah sampaikan juga ke wali kota. Saya sudah chat langsung,” kata Tarmizi kepada Utopis.

 

Nama Masjid Tanwirun Naja merupakan usulan dari Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam. Namanya berarti penerang keselamatan. Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 2020 sampai 2021. Lokasinya berada di area Bandar Udara Hang Nadim Batam. Masjid ini berkapasitas 1.250 jemaah, antara lain, 1.000 di lantai dasar dan 250 orang di lantai dua.

 

Aristektur masjid ini memang menawan lagi enak dipandang. Pada dinding luarnya terdapat ukiran khas Melayu. Kolam ikan serta air mancur di halaman depan menambah kemegahan. Mimbar di dalam masjid yang menyerupai tanjak memperhebat. Apalagi pemandangan halaman belakang yang dipenuhi rerumputan hijau, tembus pandang langsung ke dalam karena hanya berbatas kaca.

 

Sekiranya, persis seperti yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto. Kehadiran Masjid Tanjak ini diharap dapat memperkokoh tali silaturahmi untuk bersama-sama membangun pulau Batam, membangun Kepri, untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.

 


 

Untuk mengetahui lebih jauh soal makna dan filosofi tanjak, Utopis telah menukil penjelasan dari Guru Besar & Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkalis Kampus Melayu, Profesor Samsul Nizar. Berikut tulisan yang terbit di Harian Riau Pos tanggal 3 September 2021, berjudul Menguak Tabir Tanjak yang Hilang:

 

BANYAK ANAK NEGERI di rantau Melayu lupa bahwa setiap tanggal 16 September, diperingati hari Tanjak Sedunia. Meski saat ini masih banyak yang memakai tanjak, tetapi belum tentu mengerti rahasia dan filosofi tanjak dalam budaya Melayu yang sesungguhnya. Apalagi menempatkan tanjak pada alurnya. Sebab, setiap tanjak ada orangnya, setiap orang menyesuaikan tanjak yang dipakai, dan setiap jenis tanjak ada amanah yang menyesuaikan pada diri si pemakainya. Bila filosofi tanjak tak dimengerti, maka muncul generasi memakai tanjak, tetapi “tanjak yang tak  berempunya” (hampa makna) dan hilang nilai esensinya.

 

Tanjak dalam budaya Melayu mengandung makna yang dalam. Bukanlah sembarang memakai tanjak bila diri tak mengerti atas tanjak dipakai, apalagi tak sebati dengan karakter diri dan perilaku yang ditampilkan sehari-hari.

 

Dalam budaya Melayu, tanjak merupakan tradisi dan jati diri orang Melayu. Tanjak memiliki lambang kewibawaan, struktur masyarakat, semangat, cita-cita, dan harga diri. Kompleksitas bentuknya menunjukkan tugas yang berbagi sesuai jenis tanjak si pemakainya.

 

Tanjak biasanya digunakan lelaki saat ingin pergi keluar, layaknya sebuah songkok dalam budaya nasional. Namun, filosofi tanjak tak sesederhana yang dipahami dan sebatas penutup kepala belaka. Sebab, tanjak memiliki arti  “nanjak atau naik/menjulang ke tempat yang tinggi”, baik status, kualitas diri, cita-cita, bahkan karakter budi (akhlak) yang menjadi tauladan. Tanjak adalah lambang kehormatan yang patut dijaga, kekuatan (berbagai varian maknanya) yang bertaut marwah, berbingkai harga diri. Tanjak merupakan lambang amanah sesuai kualitas yang memakai. Tanjak simbul bingkai peradaban,  bukan sebatas dipakai namun jauh kepribadian.

 

Jenis dan Makna

 

Jenis tanjak disesuaikan struktur adat si pemakai. Ada beberapa jenis tanjak dan makna yang tersimpul, antara lain, Tanjak Dendam Tak Sudah memiliki arti kasih sayang, Tanjak Elang menyongsong angin melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan, Tanjak Pial Ayam memiliki arti keberanian, Tanjang Elang Patah Kepak memiliki rasa tanggung jawab, Tanjak Pari Mudik memiliki arti kerendahan hati dan kerukunan, dan lain sebagainya.

 

Sungguh luas memaknai tanjak dan cermin diri si pemakai seyogyanya disesuaikan dengan tanjak yang dipakai. Sungguh tanjak menunjukkan sesuatu yang ditinggikan bukan direndahkan. Ia ditempatkan di kepala perlambang tempat tertinggi dan dimuliakan.

 

Filosofi Tanjak

 

Ada beberapa filosofi tanjak dalam budaya Melayu, antara lain:

 

Pertama, tanjak dipakai di atas kepala, meruncing ke atas. Pesan yang diselip gunakan akal budi sebelum bertindak, berkata sopan sesuai alur, memutuskan persoalan berkeadilan, membangun negeri dengan kebajikan. Ketika tanjak telah ditabalkan berarti kewajiban dan tanggung jawab sudah terpikul menunggu bukti.

 

Kedua, tanjak sesuai struktur fungsi kemasyarakatan dan jati diri si pemakai. Tanjak bukan pakaian umum yang digunakan semua orang dan semua tempat. Tanjak dipakai sesuai “empunya” dan digunakan pada saat yang diperlukan.

 

Ketiga, terbuat dari kain dan memiliki simpul. Simpul yang berada pada tanjak melambangkan tentang persatuan/ikatan, baik regional maupun negara. Tanjak dipakai membangun persatuan, bukan sebaliknya menjadi pemecah belah sesama.

 

Keempat, tanjak dikenakan saat acara adat dan dipakai oleh yang mengerti adat.

 

Tanjak bukan hanya sebuah hiasan kepala untuk sekedar bukti melestarikan budaya. Tanjak sebenarnya membawa pesan moral yang luar biasa bagi siapapun yang memakainya. Sebab, dalam tanjak ada nasihat, anjuran, kedudukan, amanah, dan tanggung jawab supaya orang dapat menyesuaikan tanjak yang dipakai, agar memanfaatkan segala kemampuannya sesuai pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan diri dan masyarakat.

 

Tanjak adalah sebuah makna dalam bingkai peradaban,  karena tanjak sesungguhnya akan selalu menganjur ke atas dan berkata bijak. Bak pepatah:

 

Sekali bernama destar, keduanya bernama tanjak. Yang di ujung kepala, dipakai berpatut-patut. Yang beradat lembaga, yang beradat berketurunan, Yang dijaga dipelihara, yang bertempat dan bertepatan, yang ada asal usulnya.”

 

Ketika tanjak telah ditabalkan, berarti kewajiban dan tanggung jawab besar sudah menunggu untuk dilaksanakan. Gelar adat sesungguhnya tak sembarang diberikan bila tak seirama dengan tanggung jawab dan perbuatan. Moral disandang, akhlak jadi panutan. Adat bukan untuk dipermainkan atau dipamerkan, apalagi sekadar mengisi waktu berselubung kepentingan sesaat yang penuh muslihat. Padahal, adat terbungkus dalam lembaga, agama dijunjung, akhlak terbawa.

 

Sungguh dalam makna filosofi tanjak pada budaya Melayu. Meski tanjak banyak dikenal dan dipakai saat ini, namun penempatan tanjak acapkali terlepas dari akar makna yang sesungguhnya. Tanjak bergeser pada simbol budaya tanpa makna, bahkan dilembagakan secara politis tanpa terlihat pada karakter si pemakai dan penerima anugerah. Bahkan ada pula yang bertolak belakang dengan simbol yang diberi dan dipakai.

 

Kondisi ini perlu dikembalikan  pada makna adat yang sebenarnya. Bak pepatah “mengembalikan keris ke sarungnya”. Bila tidak, keris akan menjadi alat membunuh, bukan membela sesama. Bila hal ini terjadi, maka tanjak akan kehilangan makna dan hanya tersisa simbol tanpa nilai yang mengelabui. Hadirnya sebatas asesoris trend budaya, meski sebenarnya telah menelantarkan nilai budaya yang hakiki. Meski banyak yang mengaku tau, tapi belum tentu mampu mengamalkannya.

 

Apakah di hari Tanjak Sedunia mampu menyentakkan semua pemangku adat untuk mengembalikan nilai-nilai tanjak pada akarnya? Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.

 

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.