Senah (58) neneknya Baru, bingung saat dijumpai di rumahnya. Foto: Fathur Rohim.

Yang Tersisa dari Suku Darat

Di Kampung Sei Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, hidup tiga kepala keluarga (KK) Suku Darat. Suku ini terdengar asing tidak hanya bagi masyarakat Melayu, tetapi juga bagi warga Batam. Padahal, Suku Darat disebut-sebut sebagai proto-Melayu, atau bisa disebut sebagai masyarakat Melayu pertama.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

KELUAR masuk hutan sambil bertelanjang dada, sudah menjadi kebiasaannya. Apalagi mencari kayu untuk arang. Apapun yang melintang selalu diadang. Sampai luka cabik tak kunjung kering lantaran saban hari bergesek dengan beban yang menumpuk di pundak kanan. Adalah Baru, sapaan akrab pemuda 24 tahun itu. Dia agak asing, ketika dengan orang baru. Bertemu dengan Utopis di Kampung Sei Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dia irit bicara.

 

Memang, Baru bukan orang biasa di kampung itu. Dia juga satu diantara anak cucu Suku Darat yang masih tersisa di Pulau Rempang. Bahkan peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, keberadaan Suku Darat di Pulau Rempang tersimpan di sejumlah arsip kolonial Belanda.

 

“Saya kerja sama orang, dapur arang ini bukan punya saya. Tidak ada modal kalau mau buat sendiri,” katanya saat meronggok di depan tungku arang.

 

Di kampung itu Baru, serumah dengan Senah, sang nenek. Bangunan beton yang dihuni itu hasil bantuan Pemerintah Kota Batam Tahun 2010 silam. Terdiri dari satu ruang tengah yang menyatu dengan dapur, serta dua kamar tidur. Di dalamnya sudah terpasang instalasi listrik. Ada kabel dan stop kontak. Tapi tak terlihat kabel listrik dari tiang-tiang peyangga milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dua dekade lebih hidup, Baru belum sekalipun duduk di bangku sekolah. “Dulu disuruh sekolah tapi harus di Kampung Cate, kalau mau ke sana harus naik sampan dan jauh,” katanya.

 

Si nenek, terlihat rambang dari bibir pintu. Sesekali gaek 58 tahun itu mendeham. Utopis harus menjelaskan beberapa kali tujuan datang ke sana. Dia mempersilakan tamunya masuk. Jalannya tertatih. “Di sini air susah, nenek tak kuat lagi kalau harus ke sumur,” kata dia. Di tengah Baru yang sibuk di dapur arang, Senah menghabiskan hari-harinya di rumah bersama kucing-kucingnya. Sesekali tatapannya kosong. Tangan lunglainya memasukkan ranting ke dalam bara api yang di atasnya bertengger panci.

 

Di dapur itulah Senah lama termenung. Bilik kecil itu tampak gelap karena minim penerangan, baik dari ventilasi atau lampu yang memang tidak ada. Suaminya sudah lama berpulang, pun anak laki-lakinya dimakamkan di tempat yang sama. Baru mengaku sejak lama telah memeluk Islam. Meski dalam praktiknya, ajaran-ajaran agama tidak diamalkannya dalam keseharian.

 

Di Kampung Sei Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, hidup tiga kepala keluarga (KK) Suku Darat. Suku ini terdengar asing tidak hanya bagi masyarakat Melayu, tetapi juga bagi warga Batam. Padahal, Suku Darat disebut-sebut sebagai proto-Melayu, atau bisa disebut sebagai masyarakat Melayu pertama. Jauh sebelum adanya literatur yang menuliskan kisah masyarakat Melayu yang bermukim di pesisir pantai Pulau Batam.

 

Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, mengatakan, keberadaan Suku Darat di Pulau Rempang disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Suku Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930). Laporan itu ditulis di Tanjung Pinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.

Dia menjelaskan, keberadaan Suku Darat telah lama diketahui oleh pejabat Belanda di Tanjung Pinang. Namun, P Wink jadi orang Belanda pertama yang melakukan kontak langsung dan menemui mereka.

 

“Dalam laporannya itu disebutkan kalau Suku Darat banyak ditemui di Tembesi, Kecamatan Sagulung, walau di Rempang turut ditemui pemukian yang sama. Memang salah satu alasan perpindahan Suku Darat ini faktornya adalah masifnya pembangunan yang dilakukan pemerintah,” katanya pada Utopis. Sehingga, lanjut Dedi, lewat program Kementerian Sosial, orang-orang Suku Darat direlokasi ke Rempang seluruhnya lantaran Batam yang terus dikembangkan jadi sebuah kota. Termasuk pemusatan pemukiman Suku Laut yang difokuskan di Pulau Bertam.

 

Dedi menuturkan, belum diketahui secara pasti tentang asal-usul Suku Darat. Berdasarkan pengakuan, mereka mengaku berasal dari Kabupaten Lingga. Sementara itu belum ada sumber yang mengatakan kalau ditemukan pula suku sejenis ini ada di Lingga. Namun, berdasarkan ciri-cirinya, Suku Darat punya kemiripan dengan Suku Jakun di Semenajung Malaysia.

 

Katanya, sejauh ini juga penelitian yang ada masih berkutat pada sisi linguistik saja, sementara dari aspek sejarah Suku Darat belum ada. Sebagai peneliti, dirinya juga kesulitan lantaran orang dari Suku Darat tidak mengetahui asas sejarah mereka sendiri.“Dari sisi literatur juga masih kurang, penelitian saya justru banyak ditopang dari penelitian Belanda abad 19 dan peneliti dari Jerman tahun 1960-an,” kata Dedi.

 

Menurut Dedi, salah satu persoalan yang dihadapi Suku Darat selain semakin berkurangnya hutan, juga adalah mereka tidak mempunyai kemampuan bertahan hidup seperti berburu atau melaut dan bercocok tanam. Sehingga dengan ketiadaan kemampuan itu, ancaman Suku Darat punah sangat tinggi, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit.

 

Hal itu juga diperparah dengan kondisi hutan atau tempat tinggal mereka saat ini yang terus beralih fungsi menjadi kebun atau kandang ayam boiler. Kalau dihitung, kata dia, luas hutan yang tersisa saat ini di Kampung Sei Sadap hanya sekitar dua hektare. “Bantuan pemerintah saya pikir ada meski tidak besar, tetapi yang harus dan perlu diperhatikan adalah keberlangsungan hidup Suku Darat,” sebutnya. Karena mereka masih kesulitan bahkan untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Kemampuan dasar untuk mengelola sumber daya alam di sekitar bahkan mereka masih minim.

 

“Maka diperlukan formulasi yang pas, lebih lagi lahan mereka yang dua hektare itu lama-kelamaan bakal habis juga,”katanya. Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah terhadap Suku Darat, pertama kepastian lahan atau hutan mereka, mata pencaharian yang tak menentu, dan tempat tinggal mereka saat ini. Eksistensi Suku Darat pun dirasanya kurang terpantau bahkan oleh orang Melayu selain yang tinggal di Rempang Cate. Berbeda dengan Suku Laut yang sudah dikenal atau diketahui banyak orang, dan dipandang sebagai suku yang terbelakang.

 

“Jadi memang kepunahan Suku Darat sudah di ujung tanduk, terlepas ada fakta bahwa terjadi perkawinan campuran dengan suku lain, tetapi yang harus dipastikan adalah keberadaan mereka tetap ada. Jangan sampai di masa depan ada penelitian atau artikel yang menyebut bahwa pada suatu masa di Batam pernah hidup sekelompok orang yang disebut Suku Darat. Artinya mereka sudah punah,” kata Dedi.

 

Bantuan rumah sendiri, menurut Dedi, jadi salah satu kekeliruan pemerintah dalam memerhatikan Suku Darat. Hal itu bahkan terlihat dari beberapa orang Suku Darat yang dulu kembali ke hutan tak lama setelah mendapat bantuan rumah. Namun, kini persoalan itu seolah bertambah seiring makin berkurangnya luasan hutan.

 

Dampak terbesar yang dirasakan oleh Suku Darat itu bahkan datang ketika pemerintah memberikan bantuan rumah permanen, sementara kehidupan mereka justru nomaden.

 

“Juga sebenarnya nasib Suku Darat adalah warisan Pemerintahan Orba lewat Kemensos yang menggalakkan pemukiman kembali orang-orang suku asli di seluruh Indonesia,” sebut Dedi.

 

Selain itu, program swasembada beras juga turut dirasakan orang Suku Darat, membuat mereka ketergantungan mengonsumsi nasi. Sementara realitanya, sulit mendapatkan beras selain berharap pada bantuan pemerintah. “Program yang tujuan awalnya dikira baik, malah justru membuat suku asli seperti Suku Darat menggantungkan hidupnya pada bantuan pemerintah atau dari pihak lain,”katanya.

 

Setahu Sekretaris Lurah Rempang Cate, Azmil Fahmi, bahwa dulunya terdapat puluhan KK di Suku Darat. Kehidupan mereka memang selalu berpindah-pindah dan dilakukan jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal. Menurutnya, seiring majunya zaman, beberapa orang dari Suku Darat ada yang menikah dengan orang Kampung Cate. Sementara sisa orang Suku Darat yang asli banyak yang sudah meninggal.

 

“Kalau dilacak sejarahnya, mereka tidak memeluk agama, lalu di era datuk saya mereka diislamkan. Jadi sejak saat itu sebagian besar dari mereka muslim dan dikawinkan dengan orang di Rempang Cate sini. Memang mereka tinggal di hutan, berbeda dengan masyarakat Melayu pada umumnya yang hidup di pesisir. Suku asli orang Galang ya mereka itulah sebenarnya,” kata Fahmi.

 

Dia berkisah, datuknya sendiri merupakan orang dari Suku Darat yang dituakan di Cate dan akhirnya jadi pemimpin. Datuknya kemudian mengajak sebagian orang Suku Darat untuk bermukim di pesisir serta berbaur dan memeluk agama Islam. Namun, beberapa di antaranya menolak dan tetap memilih hidup di hutan.

 

Menurutnya, orang di Suku Darat memang cenderung menjauhi keramaian. Mereka cenderung tinggal hutan dengan rumah berupa pondok kayu beratap dan berdinding anyaman daun resam. Katanya, perhatian pemerintah itu ada, pertama adalah pembangunan rumah, lalu fasilitas lain seperti bantuan sampan, dan kebutuhan pokok. Mereka juga melaut meski aktivitasnya berbeda dengan Suku Laut. Orang-orang Suku Darat ke laut hanya sebatas mencari ikan atau kepiting saja.

 

“Pertama kali diperhatikan pemerintah, Suku Darat dapat bantuan dari Tanjung Pinang saat Galang masih dalam wilayah administrasi Provinsi Riau. Bantuan pertama dilakukan sekitar tahun 1980-an berupa rumah permanen dan alat bantu tangkap ikan,” katanya.

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.