Siang itu, Sri (59) melihat sederet mobil terparkir di depan rumahnya. Terdengar suara bising serombongan orang. Ia lalu keluar melihat keadaan. Begitu tiba di depan, ia kaget, sedih, dan bingung. Air matanya tumpah ketika tahu bahwa tamu yang tak diundang itu adalah petugas Imigrasi Batam, yang datang untuk menahan 10 anaknya.
Kesepuluh anak yang dimaksud adalah warga negara Myanmar, yang sudah satu tahun ini telantar di sebuah kontrakan di kawasan Lubuk Baja. Mereka adalah bekas anak buah kapal Lu Rong Yuan Yu Yun 188, kapal ikan berbendera China. “Bukan cuma saya yang nangis, Mas. Ibu-ibu yang lain juga. Mereka itu orang baik,” kata Sri berkali-kali dengan mata yang berkaca-kaca mengenang peristiwa penjemputan 10 anak angkatnya pada akhir Desember 2021 itu.
Para WNA ini tidak bisa pulang ke negara asalnya karena paspor mereka ditahan oleh pengurusnya di Batam. Akhirnya mereka hidup di Indonesia dengan kondisi tak menentu. Tidak punya uang dan terancam diusir dari kontrakan. Keadaan sedemikian mengenaskan sampai-sampai untuk makan saja cuma satu kali dalam seminggu. Tambah lagi komunikasi yang terbatas, karena perbedaan bahasa. “Untuk mengobrol harus mengandalkan Google [penerjemah], tidak ada yang mengerti mereka ngomong apa,” katanya.
Demi mengganjal perut mereka putar otak. Semua pekerjaan dilakukan. Mulai dari menyapu halaman rumah tetangga, membantu ibu-ibu mengurus bunga, hingga menjadi tukang bangunan dadakan. Warga akhirnya bersimpatik, kemudian bahu membahu membantu kebutuhan mereka. “Kami baru dekat beberapa bulan ini, saya sudah anggap mereka seperti anak. Kasihan, sebelum kenal kami mereka itu cuma masak nangka, direbus, dikasih garam,” katanya, “listrik rumah saja sampai diputus, jadi mereka numpang listrik di rumah saya.”
Mereka awalnya berjumlah 16 orang, tetapi enam rekannya berhasil pulang lebih dulu ke Myanmar setelah menebus paspor. Sisanya menggantung harap, terpaksa menunggu perselisihan antara pengurus dan perusahaan tempat mereka bekerja mendapat solusi. Satu paspor katanya dibanderol Rp100 juta. Nilai yang besar dibanding gaji mereka.
Dua tahun terombang-ambing di kapal asing, satu tahun telantar di negeri yang tak mereka kenali. Lima di antara mereka sudah menikah dan punya anak, sisanya masih lajang, yang orangtua dan kekasihnya sudah tiga tahun menunggu mereka pulang ke rumah. “Mereka ada ponsel, tetapi tidak ada kuota. Jadi kalau mau menghubungi keluarga biasanya datang ke tempat saya numpang internet,” kata Diah, perangkat RT setempat.
Diah mengatakan, ada dua versi yang dia tahu perihal telantarnya para WNA ini. Pertama, agennya yang menipu. Kedua, perusahaan kapal yang menipu agen. Ada juga kabar kalau mereka ditipu oleh kedua-duanya. Tidak diberi gaji, dan ongkos pulang pun ditilap. Oleh Diah keberadaan mereka sebetulnya sudah dilaporkan ke Dinas Sosial, Kepolisian, sampai ke Kecamatan.
“Kalau ke Dinsos kami masukkan dalam kategori imigran bermasalah, supaya kalau ada bantuan sosial mereka bisa dapat,” katanya. Diah mengatakan, “Kami juga kaget Imigrasi tiba-tiba ngebawa mereka. Saya saja tidak dapat informasi, tiba-tiba sudah dibawa saja. Sempat saya tanya ke petugas, terus katanya mau dipulangkan ke Myanmar. Kami tambah sedih mendengarnya karena sudah terlalu akrab,” kata Diah.
Pada 2 Februari 2022, utopis.id menghubungi Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Tessa Harumdila. Namun, karena Tessa sedang tidak berada di kantor, ia mengirim Staf Humas dan Staf Intelijen dan Penindakan Keimigrasian untuk melakukan wawancara perihal penahanan 10 WNA tersebut.
Kesepuluh WNA ini statusnya katanya bukan ditahan, melainkan cuma diamankan karena terkena Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK). Kesalahan berada pada agensi penjamin. Oleh karena itu, untuk sementara mereka ditampung di Ruang Detensi Imigrasi Kelas I, Batam Center. “Mengamankan mereka sampai nanti mereka bisa dipulangkan kembali ke negaranya, jadi bukan penahanan,” katanya.
Langkah pengamanan ini diambil bertujuan meminimalisir potensi-potensi pelanggaran. Ini dilakukan karena permasalahan mereka yang telantar ini dikhawatirkan bisa mengganggu hubungan antar-negara. “Kita [sudah] melaporkan kejadian ini kepada Direktorat Jenderal Imigrasi, kemudian terhadap perwakilan mereka kita sudah disurati secara resmi.”
Imigrasi Batam mengaku masih belum mengetahui siapa agen penjamin yang menelantarkan dan menahan paspor para WNA ini. Akan tetapi, keduanya memastikan kalau yang dilakukan oleh penjamin sudah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan ada pidananya. Terutama pada pelanggaran Pasal 118, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
“Terkait agen yang membawa lari itu kita berkordinasi, karena ini telah masuk pidana karena melarikan identitas orang asing. Mereka sponsorsif [penjamin] sudah lepas tanggung jawab, itu ada pidananya di UU Keimigrasian yakni tentang Jaminan dan Kewajiban Penjamin,” katanya.
Selain itu, agensi penjamin dinilai sudah lalai dari tanggung jawabnya. Mereka juga akan dikenakan sanksi administratif, yaitu tidak dapat lagi menjadi sponsorsif bagi WNA. Dengan kata lain, izin agen akan dicabut.
Belum tahu kapan para WNA ini dipulangkan ke negara asal. Namun, terhadap 10 orang tersebut katanya telah dikeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) Internasional sebagai pengganti atas paspor perjalanan yang sifatnya hanya sekali pakai karena keadaan tertentu.
Usai wawancara, utopis.id berniat untuk melihat kondisi para WNA ini, tetapi terkendala perihal perizinan. Berdasarkan keterangan Sri dan Diah yang beberapa hari sebelumnya menjenguk, kondisi para WNA saat ini terlihat lebih baik, “Mereka gemuk, cuma tidak banyak bicara. Kami juga sudah memberitahu kepada keluarga mereka di Myanmar tentang kondisi mereka saat ini,” katanya.