MENYELAMATKAN korban perdagangan manusia adalah tugas nan berat bagi polisi, terutama di Kota Batam. Itu kata Komandan Jefri Ronald Parulian Siagian. Namun, bukan sulit menangkap para pelakunya, melainkan soal menanggung biaya hidup para korban sebelum dipulangkan. Makin sulit karena Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia ternyata takbisa diharap. Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaannya di Kepri bilang, “Anggaran sudah sesak.”
Kepolisian Daerah Kepulauan Riau menggelar konferensi pers pada Sabtu 2 Juni 2022. Kasus yang diekspos adalah soal kejahatan perdagangan orang dengan korban 42 calon pekerja migran, antara lain, 24 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Mereka berasal dari berbagai daerah, yang selama di Batam ditampung di daerah Jodoh. Oleh pelaku, yang juga hadir hari itu, para korban ini rencananya akan diberangkatkan ke Malaysia.
Di sela-sela wawancara, Ditreskrimum Polda Kepri Kombes Pol Jefri Ronald Parulian Siagian menjelaskan hasil koordinasinya dengan Unit Pelaksana Teknis BP2MI di Kepulauan Riau. Itu berkaitan dengan penanganan terhadap para korban sampai kepada pemulangan. Jefri bilang, lembaga Pemerintah Non Departemen di Indonesia itu, untuk kesekian kalinya, takbisa mengurus korban dengan alasan kehabisan anggaran.
“Mereka [BP2MI] tidak ada anggaran lagi. Lalu ini [42 korban] tanggung jawab siapa? Beri makannya? Ini harusnya dibicarakan. Jadi, tak segampang itu menyatakan, ini sepenuhnya [tanggung jawab] polisi,” kata Jefri saat ekspos di Mapolda Kepri.
Selama ini, menurut Jefri, polisi selalu berkomitmen mencegah kasus perdagangan orang agar tidak marak. Upaya itu tentu butuh peran aktif semua pihak, terutama BP2MI yang memang fungsinya berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan para pekerja migran.
Jefri mengatakan, “Mereka ini korban. [Tugas] kami mengamankan, [untuk kemudian] kami serahkan ke BP2MI, mereka [bilang] takada anggaran… ”
Kabid Humas Polda Kepri Kombes Harry Goldenhardts mengatakan, Kepulauan Riau adalah wilayah terfavorit untuk menyelundupkan manusia. “Bahkan ini pengungkapan kasus yang kesekian kalinya,” kata Harry. Oleh karena itu, Harry berharap penanganan pekerja migran dapat dilakukan secara komprehensif oleh semua lembaga negara. “Seperti BP2MI, dan tentu kita akan lakukan koordinasi dengan seluruh stake holder, termasuk pemerintah daerah asal pekerja migran Indonesia ini,” katanya.
Dalam kasus ini, Harry bilang, polisi akan fokus kepada penegakan hukum. Di luar dari itu merupakan kewenangan instansi lain. Intinya, kata dia, 42 korban ini merupakan warga negara Indonesia yang harus mendapatkan perlindungan hukum.
Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan BP2MI Kepri, Darman M Sagala tak menepis anggaran yang sudah menipis. “Anggaran sudah sesak,” jawab Darman dikonfirmasi wartawan, Sabtu 2 Juni 2022.
Darman mengatakan, seharusnya para korban itu tidak hanya menjadi tanggung jawab BP2MI, melainkan juga pemerintah kabupaten/kota/provinsi daerah asal. Sebab, kata dia, BP2MI daerah asal juga ‘sesak nafas’. Sementara yang merasakan dampak langsung devisa itu adalah Pemda tempat para korban ini berasal. Akan tetapi, Darman belum menjawab, berapa total pekerja migran Indonesia yang sudah ditangani mereka di Batam, Kepri.
Polisi berhasil membongkar kasus ini pada 30 Juni 2022 lalu. Pelaku mendatangkan korban dari berbagai daerah yang rerata sama dengan daerah para korban dalam pengungkapan-pengungkapan kasus sebelumnya. Yaitu dari daerah Jawa, Lampung, Lombok, dan Madura. Oleh pelaku, para korban dimintai biaya mulai dari Rp7 sampai 10 juta. Besarannya tergantung daerah.
Ada pun barang bukti yang diamankan berupa ponsel, beberapa buku paspor, boarding pass tiket pesawat, uang tunai sebesar Rp 2 juta dan uang ringgit Malaysia sebesar Rm 325. Terkait yang dilanggar: Pasal 81 junto Pasal 83 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, dengan ancaman pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar.