Seteru Bahasa Dua Saudara

Andai usulan Perdana Menteri Malaysia ini diterima dan disepakati, mungkin kita akan lebih akrab dengan istilah PERBARA (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) daripada ASEAN (Association of South East Asian Nations).
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Melayu di Indonesia. Foto: Bintang Antonio.

 


 

 

Pada 23 Maret 2022 lalu, Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yakoob, mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional kedua di lingkup PERBARA setelah bahasa Inggris. Usulan ini dengan jelas ditolak oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Indonesia, Nadiem Makarim.

 

Andai usulan Perdana Menteri Malaysia ini diterima dan disepakati, mungkin kita akan lebih akrab dengan istilah PERBARA (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) daripada ASEAN (Association of South East Asian Nations).

 

***

 

Di tengah polemik bahasa dua negara ini, tanggapan beragam muncul dari masyarakat Kepulauan Riau. Kepulauan Riau adalah salah satu daerah dengan penutur bahasa Melayu di Indonesia di samping Riau, sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sebagaian Kalimantan Barat.

 

Masyarakat Kepulauan Riau secara umum menganggap tak menjadi soal apakah yang akhirnya menjadi bahasa internasional kedua di PERBARA itu adalah bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu. Bagi mereka bahasa Indonesia dan bahasa Melayu secara umum sama saja.

 

Asep Juanda, Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Riau, sepakat dengan Menteri Nadiem Makarim soal kelayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris di kancah PERBARA. Untuk mendukung hal ini, ia mengulang beberapa alasan yang dikemukakan oleh Menteri Nadiem dan Kepala Badan Bahasa, Kemendikbudristek Prof. Endang Aminudin Aziz mengenai keunggulan linguistik, jumlah dan persebaran penutur hingga keterpahaman bahasa.

 

Ia menilai langkah Menteri Nadiem sudah tepat dengan mengusulkan usulan Perdana Menteri Malaysia tersebut untuk dikaji lebih dalam karena memang hal ini menyangkut kerja-kerja banyak pihak. “Ini langkah yang terlalu terburu-buru. Tidak bertahap. Padahal kita punya forum MABBIM [Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia],” katanya kepada Utopis, 21 April 2022.

 

Terkait isu penerimaan Presiden Jokowi terhadap usulan Perdana Menteri Malaysia tersebut Asep Juanda menyangsikannya. Ia menganggap keterbukaan Presiden Jokowi bisa jadi adalah bentuk penghormatan terhadap usulan tersebut, bukan penerimaan.  “Yang kemarin itu mungkin ada kesalahpahaman. Sebenarnya Perdana Menteri Malaysia baru mengajukan. Namun, sudah mengklaim Indonesia sudah menyetujui,” kata Asep Juanda.

 

Hal ini terkonfirmasi oleh pernyataan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa, Kemendikbudristek, Muh. Abdul Khak. “Kami, di Badan Bahasa, mencoba menelusuri mulai dari kementerian sampai ring satu istana, ternyata tidak demikian kenyataannya,” katanya dalam kegiatan Bincang Bahasa dengan Ikatan Duta Bahasa DKI Jakarta pada 10 April lalu.

 

Pendapat lain datang dari Abdul Malik, akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) yang konsen mengkaji kebudayaan Melayu. Ia menganggap bahwa bahasa Melayu dan Indonesia sejatinya sama saja. Menurutnya, bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu juga karena bahasa itu adalah akarnya. Jikapun ada perbedaan, perbedaan-perbedaan itu bukan menyangkut hal-hal yang fundamental.

 

“Istilah “bahasa Indonesia” itu adalah bentuk kebesaran hati para peserta Kongres Pemuda II pada 1928. Tujuannya adalah untuk mengikat persatuan bangsa yang saat itu sedang berjuang untuk merdeka. Namun sebelum itu, bahasa yang kita pakai disebut bahasa Melayu juga,” katanya.

 

Ia beranggapan bahwa perdebatan yang ada soal istilah ini justru kontaproduktif terhadap usaha memajukan bahasa lokal Asia Tenggara di wilayah Asia Tenggara sendiri.

 

“Kalau perdebatan kita terbatas pada istilah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, habis tenaga, akhirnya tak ada juga yang dicapai,” katanya. 

 

Senada dengan Abdul Malik, Asep Juanda juga memandang perlunya kebesaran hati para pemimpin PERBARA untuk memajukan bahasa sendiri. Ia bahkan menganggap bahwa seharusnya bahasa dari Asia Tenggara yang menjadi bahasa resmi pertama di PERBARA, bukan bahasa Inggris.

 

“Saya berpendapat, seharusnya justru bahasa pertama itu dari Asia Tenggara. Jadi kita menjunjung bahasa yang berasal dari Asia Tenggara sendiri. Kalau kami [Kantor Bahasa Kepri] jelas mendukung penggunaan bahasa Indonesia. Jadi harus ada kerelaan mengenai bahasa apa yang mau diusung, tentunya dengan berbagai data [pendukung] sehingga nanti tinggal adu argumen saja,” kata Asep Juanda.

 

Perjalanan bahasa Melayu baik di Indonesia maupun di Malaysia mengalami pasang surutnya sendri. Di Indonesia, bahasa Melayu (kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia) ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 1945. Sedangkan di Malaysia, bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa kebangsaan pada 1957.

 

Jika merunut waktunya, bahasa Indonesia menemukan titik tolaknya pada 1850an ketika Raja Ali Haji merumuskan gramatika bahasa Melayu dalam buku Bustan al-Katibin dan kamus Kitab Pengetahuan Bahasa. Bahasa Melayu ini kemudian mengalami berbagai pengubahan seperti pengenalan ejaan Van Ophuijsen pada 1901 yang identik dengan perubahan dari aksara Jawi ke aksara Latin hingga penetapan sebagai bahasa persatuan pada 1928 (diubah-sebut menjadi bahasa Indonesia).

 

Ketika merdeka pada 1945, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional dalam UUD 1945. Bahasa Indonesia kemudian deperbaharui dengan pengenalan ejaan Republik atau ejaan Soewandi yang menyempurnakan ejaan sebelumnya dan dipakai pada kurun 1947 hingga 1956. Setelah itu, Ejaan Pembaharuan dipakai untuk menyempurnakan ejaan Soewandi pada 1956 hingga 1961. Dari sini sebenarnya ada sebuah ejaan yang digagas bersama dengan Malaysia, hanya saja, kesepakatan gagal dicapai karena konfrontasi yang lebih dulu pecah di antara kedua negara pada 1962.  Ejaan Baru kemudian dibuat untuk menyempurnakan ejaan yang gagal dibuat bersama Malaysia itu dan digunakan pada kurun 1967 hingga 1972. Selanjutnya Ejaan yang Disempurnakan (EyD) diperkenalkan untuk merevisi Ejaan Baru dan berlaku dari 1972 hingga 2015. Pada 2015, diperkenalkanlah Panduan Umum Ejaan bahasa Indonesia (PUEBI) yang kita pakai hingga saat ini.

 

Di Malaysia, bahasa Melayu secara resmi ditetapkan sebagai bahasa kebangsaan dalam Perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu pada 1957. Penguatan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan juga dilanjutkan dengan Perlembagaan Malaysia pada 1963 dan Akta Bahasa Kebangsaan pada 1967.

 

Jauh setelah itu, pada kurun 1990an hingga awal 2000an sempat terjadi polemik mengenai penyebutan bahasa resmi negara. Apakah ia akan tetap disebut sebagai “bahasa Melayu” ataukah ia dinasionalisasi dengan sebutan “bahasa Malaysia”. Sebagaian rakyat Malaysia yang bukan berasal dari etnis Melayu saat itu menganggap bahwa istilah “bahasa Melayu” hanya merujuk pada satu etnis dominan saja yaitu etnis Melayu. Pada akhirnya pada 2004 penggunaan istilah “bahasa Malaysia” ditetapkan secara resmi menggantikan istilah “bahasa Melayu”. Jika bahasa Melayu merujuk pada makna linguistis, bahasa Malaysia (seperti juga bahasa Indonesia dalam konteks Sumpah Pemuda) lebih bersifat politis.

 

Didukung dan Dikritik

 

Usulan Perdana Menteri Malaysia ini memicu beragam tanggapan di dalam negeri Malaysia dan di Kawasan Asia Tenggara, terutama dengan tetangga terdekatnya, Indonesia. Di dalam negeri, dukungan muncul karena isu bahasa sempat mencuat akhir-akhir ini. Sebagian masyarakat Malaysia mendukung penggunaan bahasa Melayu yang lebih luas utamanya untuk urusan resmi kenegaraan. Hal ini adalah respon terhadap penggunaan bahasa Inggris yang lebih intens dibandingkan bahasa Melayu dalam beberapa urusan kenegaraan seperti sidang-sidang parlemen.

 

Usulan oleh Perdana Menteri Malaysia di kancah PERBARA ini rupanya mendulang dukungan rakyat. Pesimisme yang muncul ke permukaan akibat turbulensi politik dalam tahun-tahun belakangan ini nampaknya dapat dikikis. Kemunculan kembali diskursus bahasa Melayu ini sedikit banyak memunculkan rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa bagi rakyat Malaysia.

 

Selain mendapat dukungan, langkah politis ini juga memicu banyak kritik. Sebagian masyarakat Malaysia menganggap pemerintah seharusnya menyelesaikan masalah penggunaan bahasa Melayu di dalam negeri terlebih dahulu, sebelum memperjuangkan bahasa Melayu di kancah PERBARA. “Eloklah disubur dan makmurkan penggunaan bahasa Melayu di Malaysia dahulu. Strategi melebarkan Bahasa Melayu di peringkat ASEAN boleh disusun kemudian,” tulis Bakar Suar, seorang warga Malaysia di laman freemalaysiatoday.com.

 

Kritik cukup keras juga dilayangkan oleh Prof. Teo Kok Seong, pakar bahasa dari Institut Kajian Etnik Universitas Kebangsaan Malaysia terkait kegagalan pemerintahan Malaysia dalam membina persatuan di dalam negerinya sendiri. “Perlu kita akui bahwa Bahasa Melayu telah gagal kita gunakan untuk memupuk persatuan, padahal bahasa memiliki kemampuan untuk mempersatukan orang,” katanya seperti yang dikutip dari Tempo.

 

Di kalangan pendidikan tinggi, usulan Perdana Menteri Malaysia ini dinilai kontraproduktif terhadap usaha internasionalisasi pendidikan tinggi di Malaysia. Guna mencapai tujuan internasionalisasi pendidikan tinggi, Malaysia menargetkan 250.000 pelajar internasional pada 2025. Tujuan ini akan mendapat kendala signifikan ketika bahasa yang ingin diperkuat adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Inggris.

 

Di luar polemik internal itu, penolakan atas usulan tersebut secara jelas disampaikan oleh pihak Indonesia melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim. Ia beranggapan bahwa bahasa Indonesia lebih layak dijadikan bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris di kawasan PERBARA. Namun, ia juga menyambut baik usulan Perdana Menteri Malaysia itu dan menyarankan untuk membawa perbincangan mengenai isu tersebut ke level PERBARA.

 

Diplomasi Bahasa Kedua Negara

 

Pada tahun 2014, Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebudayaan (PPSDK) diluncurkan di bawah Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, melihat bahwa keinganan untuk memartabatkan bahasa Indonesia di kancah internasional perlu diwujudkan dengan langkah-langkah konkrit. Usaha ini juga didasarkan oleh alasan bahwa Indonesia sudah menjadi negara yang cukup memiliki kekuatan di kawasan regional Asia Tenggara dan dunia internasional.

 

Jauh sebelum itu bahkan Ujian Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) sudah dikembangkan sejak 1997 sebagai rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia ke III. Ujian ini kemudian resmi dipakai pada 2006. 

 

Dalam Laporan Kinerja yang dirilis pada 2019, kita dapat melihat beberapa target dan capaian kerja yang telah diselesaikan oleh PPSDK seperti Pedoman Diplomasi Kebahasaan, Bahan Terjemahan, Bahan Ajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing), Bahan Ajar Bahasa Asing dan Pengajar BIPA di luar negeri.

 

Dari kesemua program kerja tersebut, program pengajaran BIPA dapat dinilai sebagai ujung tombak penyebarluasan bahasa Indonesia di kancah internasional. Sejak PPSDK mulai beroperasi pada 2014 hingga saat ini, tercatat sudah 142.484 orang asing di seluruh dunia yang secara resmi mempelajari bahasa Indonesia. Dari jumlah itu, 61.446 orang berasal dari Asia Tenggara.

 

Tak hanya mengajarkan bahasa Indonesia kepada khalayak internasional, PPSDK juga turut mengkaji  dan mengajarkan bahasa-bahasa yang dianggap strategis demi mendukung tujuan-tujuan diplomasi bagi pemelajar Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa yang digunakan misalnya di PBB, bahasa-bahasa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara sendiri dan bahasa lain yang dianggap strategis untuk dipelajari.

 

Di pihak Malaysia, diplomasi bahasa dilakukan dengan berbagai cara pula. Jika Indonesia memiliki BIPA, Malaysia memiliki program pertukaran pengajar bahasa Melayu dengan Amerika Serikat. Selain usaha itu, sudah pula dijalankan usaha penerjemahan karya-karya berbahasa Melayu ke bahasa asing dan sebaliknya oleh Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM).

 

Selain itu Ujian Kemahiran Bahasa Melayu (UKBM) dan program pengajaran bahasa Melayu bagi penutur asing akan segera dicanangkan merujuk pada Sidang Dewan Rakat Malaysia pada 23 Maret lalu. UKBM sebenarnya sudah ada dan dipakai saat ini. Sayangnya, penggunaannya terbatas pada perguruan tinggi tertentu, belum merata dipakai secara nasional.

 

Perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu

 

Walaupun berakar pada satu kebudayaan yang sama, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu pada akhirnya berkembang pada jalur yang berbeda. Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Malaysia, sedangkan bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia dianggap sebagai salah satu bahasa daerah di samping banyak bahasa daerah lain di Indonesia.

 

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kemendikbudristek Prof. Endang Aminudin Aziz mengatakan, ”Bahasa Melayu adalah salah satu saja di antara 718 bahasa daerah. Jadi, bahasa Melayu dalam konteks Indonesia, statusnya adalah bahasa daerah. Itu pemahaman yang harus kita pedomani ketika menyandingkan bahasa Melayu vis-a-vis bahasa Indonesia,” katanya.

 

Ditinjau dari segi penutur bahasa, menurut ethnologue.com, bahasa Indonesia dituturkan oleh 198.996.550 orang di seluruh Indonesia. Ini belum menghitung penutur bahasa Indonesia di luar negeri, baik warga negara Indonesia maupun asing. Di samping itu, Bahasa Melayu ditututurkan oleh 19.185.470 di seluruh Malaysia. Jumlah ini masih mungkin bertambah jika kita memasukkan Brunei Darussalam, sebagian wilayah di Indonesia, Thailand, Filipina, Vietnam dan Kamboja ke dalam perhitungan.

 

Di luar polemik bahasa kedua negara akhir-akhir ini, sebenarnya Indonesia dan Malaysia sudah terlibat dalam kerja sama bilateral terutama di bidang bahasa sejak lama. Kerjasama bilateral ini bahkan bisa dirujuk sejak awal-awal masa kemerdekaan.

 

Dari semua kerjasama bidang bahasa antarkedua negara, yang paling menonjol saat ini nampaknya adalah MABBIM atau Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia. MABBIM aktif memantau perkembangan bahasa Melayu dan Indonesia yang dipakai di 3 negara tersebut.

 

Pada akhir 1959, dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia-Malaysia, sempat ada rencana penyempurnaan ejaan bahasa di antara kedua negara. Ejaan ini disebut Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Sayang, penggunaan ejaan ini tak sempat terjadi karena kisruh Konfrontasi Indonesia-Malaysia lebih dulu pecah pada 1962.

 

Pada 1972, usaha untuk saling memahami dalam bidang bahasa dilakukan kembali dengan pembentukan Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia atau MBIM. Majelis ini menghasilkan karya yang cukup fundamental yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Melayu dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah Bahasa Melayu. Pada 1985, Brunei Darussalam bergabung dan majelis ini berubah nama menjadi Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM).

 

Beberapa kerjasama bilateral di bidang bahasa tersebut berlanjut hingga salah satunya penguatan bahasa Indonesia-Melayu dalam bidang sosial dan pendidikan pada tahun 2015.

 

Sejak awal pembentukan Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada 1967, bahasa pengantar resmi adalah salah satu kendala yang belum terpecahkan. Tidak seperti wilayah regional lain di dunia, negara-negara di  Asia Tenggara tidak bicara dalam satu bahasa tunggal. Wilayah Amerika Selatan misalnya, secara umum berbicara dalam bahasa Spanyol (kecuali Brazil yang berbahasa Portugis). Di wilayah Timur Tengah, hampir semua negara dapat berkomunikasi dalam bahasa Arab. Di Asia Tenggara, hampir semua negara PERBARA memiliki bahasanya sendiri kecuali beberapa negara dengan akar bahasa yang sama.

 

Usaha pertama pengajuan bahasa resmi setelah pembentukan PERBARA pada 1967 dilakukan oleh Vietnam dengan mengajukan bahasa Prancis. Ini dilakukan oleh Vietnam pada 1995. Usaha ini tak membuahkan hasil karena selain Vietnam, hanya Kamboja dan Laos yang berbicara dalam bahasa Prancis (akibat kolonialisme).

 

Pada kongres negara-negara PERBARA 2008, bahasa Inggris disepakati sebagai bahasa kerja. Ketetapan ini tercatat dalam Piagam PERBARA (ASEAN Charter) pasal 34. Bahasa ini praktis disepakati karena mampu menjembatani komunikasi antar negara-negara yang tidak saling bicara dengan bahasa yang sama.

 

Seperti Vietnam, Indonesia juga pernah mengajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi PERBARA. Usulan ini dilakukan oleh DPR RI pada 2011. Sayangnya, usulan ini tak muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi PERBARA, melainkan di dalam kongres Organisasi Antar Parlemen PERBARA di Kamboja. Usulan ini pun belum membuahkan hasil saat itu.

 

Selanjutnya, berturut-turut, Indonesia mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris pada Konferensi Tingkat Tinggi PERBARA ke 18 dan 19 tahun 2011. Sayang, waktu itu, usulan ini tak masuk dalam prioritas pembahasan.

 

Di luar itu, Mantan Menteri Penerangan Malaysia, Rais Yatim sempat menggaungkan lagi usulan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi PERBARA. Hal ini disampaikannya pada 2017 sempena forum pertemuan DMDI (Dunia Melayu Dunia Islam) di Bangkok, Thailand.

 

Paling dekat dengan polemik yang terjadi akhir-akhir ini, pada 2020 Mendikbudristek Indonesia, Nadiem Makarim mengemukakan rencananya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi PERBARA. Hal ini disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI.

 

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.