“Pemerintah Datang [Cuma] untuk Membangun Tembok Nama”

Rumah Potong Limas terakhir di Kota Batam, terancam punah. Tanpa ada upaya penyelamatan, tubuh kayunya yang ringkih makin kritis.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

RUMAH panggung beratap limas di sudut Kampung Melayu, Kecamatan Nongsa, itu sudah berdiri lebih dari setengah abad. Kalau saja bangunan reyotnya mempunyai lidah, maka ia akan berkisah. Soal bagaimana pidato Ganyang Malaysia sang revolusioner, Soekarno, terproklamasikan hingga ke perbatasan Batam. Atau cerita tentang seorang tentara yang jatuh cinta di medan perang. Hikayat utamanya tentu saja soal kita, para generasi penerus, yang menelantarkan warisan budaya masa silam: rumah adat.

 

Dibangun pada 1959 oleh seorang nelayan bernama Abdul Karim. Bangunan tradisional suku Melayu dengan pagar beranda yang tak lagi utuh itu melapuk tak terpelihara. Inilah Rumah Potong Limas terakhir di Kota Batam. Bertahan dengan tubuh kayu yang ringkih. Sambil terisak, Abdul Razak (63), pewaris rumah adat tersebut menagih janji pemerintah. “Mereka bilang cagar budaya. Kami sendiri tak paham cagar budaya,” katanya, “mereka datang, [cuma untuk] membangun tembok nama dari semen.”

 

Sememangnya bangunan ini sempat mencuat sebagai salah satu destinasi wisata sejarah di Kota Batam. Pemerintah sempat bersemangat mengelolanya sejak ia diresmikan sebagai situs cagar budaya pada 2011. Seiring waktu, pemerintah jangankan mempertahankan keaslian, janji untuk menjaga pun ternyata cuma bohong. Bangunannya rusak di sana-sini. Abdul Razak dan keluarganya berpatungan merawat. Seadanya.

 

“Saya kalau cerita ini, sedih. Sedih saya kalau rumah ini sampai rusak. Karena kalau rusak, direnovasi tak akan sama lagi dengan hasil buah tangan pembuatnya dulu,” kata pria tua berjanggut putih itu kepada Utopis saat ditemui di rumahnya.

 

Pada periode awal pemerintahan Rudi-Amsakar, Pemerintahan Kota Batam sempat merenovasi rumah panggung ini. Selain memperbaiki beberapa bagian rumah yang dianggap rusak, menambahkan replika dan diorama kehidupan masyarakat Melayu, pemerintah juga membangun sebuah tembok penanda yang berisi informasi mengenai rumah. Dulu, orang-orang menganggapnya sebagai rumah biasa. Campur tangan pemerintah menjadikannya istimewa.

 

Ketika baru direnovasi dan masih menapat eksposur dari Pemko Batam, rumah adat ini masih sering dikunjungi. Selain masyarakat Batam dan wisatawan, siswa sekolah juga sering mengunjungi situs ini untuk keperluan wisata edukasi. Memang, selain bisa belajar tentang sejarah kebudayaan Melayu, pengunjung juga bisa menikmati seni arsitektur bangunan dan melihat suasana perkawinan Melayu yang nampak pada diorama yang sengaja dibuat di dalamnya.

 

Rumah adat ini dibangun di atas tanah lapang berbentuk persegi panjang. Dasar rumah berbentuk panggung dengan tinggi tiang 1,5 meter. Kayu-kayu tiang rumah masih kokoh menopang struktur bagunan rumah. Menurut Abdul Razak, ayahnya membangun rumah ini memakai kayu-kayu terbaik yang dipilih dan ditebangnya sendiri. “Kayu tiang itu kayu terpilih, kayu Tembesu,” katanya.

 

Salah satu alasan rumah ini berdiri kokoh hingga hari ini adalah karena keahlian pembuatnya. Dengan perencanaan yang baik dan ilmu bangunan memadai, rumah papan itu bertahan di tengah perjalanan waktu. “Rumah itu pakai lubang semua tiangnya. Gegarnya itu kayu rasuk, rasuknya tak pakai paku. Jadi kayu itu memang dipotong berputing, supaya mudah mencopot tanpa merusak kayu,” katanya.

 

Rumah Potong Limas. Foto: Kasiyanto bin Iskandar.

 

Atap rumah berbentuk limas yang dipotong. Inilah muasal nama rumah adat Melayu Potong Limas itu. Menurut Abdul Razak, rumah ini dibangun dengan menggabungkan corak budaya Bugis dan Melayu. “Sejarahnya perpaduan Melayu dan Bugis. Tiangnya bergaya Bugis, limasnya bergaya Melayu,” katanya.

 

Pemko Batam menurut Abdul Razak pernah menjanjikan akan menjadikan situs cagar budaya ini sebagai tujuan kunjungan wisatawan asing. Bertahun-tahun berlalu, alih-alih menjadi tujuan wisata yang didatangi pengunjung, keadaan rumah Potong Limas kini justru memprihatinkan. “Rencananya wisatawan-wisatawan  akan dibawa ke situ. Kerja sama saja, dikembangkan bersama supaya kalau ada wisatawan datang, masyarakat bisa berjualan, ada manfaat ekonomi. Tapi karena Covid-19, siapa yang mau kemari?”.

 

Melihat Rumah Potong Limas yang mulai tak terawat ini, Abdul Razak dan anggota keluarganya yang lain berencana menjual rumah tersebut. Harapannya sederhana, hanya agar ada yang merawat.

 

Pemko Batam adalah pihak yang pertama keluarga Abdul Razak tawarkan sebab dinilai memiliki sumber daya yang mampu mewujudkan harapannya itu. Namun, sudah setahun berlalu gayung belum bersambut, tawaran dari pihaknya belum lagi beroleh jawaban. “Iya. Sudah tak terawat. Kami sudah menawarkan kepada pemerintah, kami siap jual kepada pemerintah. Supaya dijaga, dibaguskan lagi. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban,” katanya.

 

Jika merujuk Perda No. 1 Tahun 2018 tentang Pemajuan Kebudayaan Melayu Rumah Potong Limas sudah dapat dikategorikan sebagai situs cagar budaya. Sebuah benda atau bangunan, menurut Perda tersebut dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya jika usianya minimal 50 tahun. Hingga hari ini, Rumah Potong Limas sudah berdiri selama 63 tahun dengan mempertahankan bentuk dan struktur utama bangunan seperti ketika pertama kali dibangun.

 

Berdasarkan Perda ini, Pemko Batam memiliki kewajiban untuk menyelamatkan Rumah Potong Limas terakhir di Batam ini.

 

Melihat Perkembangan Batam dari Rumah Potong Limas

 

Abdul Razak adalah anak dari Haji Muhammad Sain, pemilik Rumah Potong Limas, yang disebut-sebut sebagai rumah adat Melayu terakhir di Kota Batam. Di Rumah Potong Limas yang berlokasi di Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa itu, Abdul Razak menghabiskan masa kecil hingga remajanya. Bersama Ibu dan ayahnya, turut pula tinggal kakak-beradiknya yang lain. Ia masih mengingat masa-masa kecil yang dihabiskannya di rumah itu hingga perkembangan Kota Batam dari masa ke masa.

 

Abdul Razak (63). Foto: Kasiyanto bin Iskandar.

 

Ayahnya adalah orang Bugis dari Wajo yang merantau ke Batam. Dengan perahu layar, ayahnya dan 2 saudaranya berlayar mencari penghidupan baru. Ayah Abdul Razak kemudian berhenti di Tanjung Gedabang (kini daerah Kabil, Nongsa) dan memutuskan untuk menetap. Dua saudara ayahnya itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di Johor dan Kuala Enok (Indragiri Hilir, Riau).

 

Abdul Razak lahir pada 1956, setidaknya menurut almarhumah Ibunya. Namun, menurut pencatatan sipil pada waktu itu, ia secara resmi tercatat lahir pada 1958. Saat itu, membuat kartu identitas tak sebirokratis sekarang, kita hanya perlu datang ke semacam ketua kampung untuk memiliki kartu identitas. “Dulu bikin sama RK (Rukun Kampung) Pak Raja Akub, waktu itu dibikinnya 58. Karena waktu itu KTP itu dibikin asal isi saja,” katanya..

 

Masa kecilnya dihabiskan di kampung Batu Besar Nongsa. Seperti halnya anak lain seusianya, ia menghabiskan masa kecil dengan bermain. Pekarangan Rumah Potong Limas yang memang cukup luas itu menurutnya biasa dipakai sebagai tempat bermain kasti dan gasing. Ketika musim kemarau datang, anak-anak bermain layang-layang yang dibuat beraneka rupa. “Kalau kami di sini variasi lah. Kalau layang-layang orang Selayar itu pakai dengung, dibikin pakai daun semacam daun nipah,” katanya.

 

Siang atau sore sehabis sekolah, anak-anak bisanya pergi mengaji ke rumah guru mengaji. Kata Abdul Razak, dulu orang mengaji mendatangi rumah guru, tak seperti saat ini yang biasanya dilakukan di kompleks masjid. “Dulu, guru kebanyakan guru mengaji di Batu Besar itu orang Selayar, kecuali beberapa orang Melayu. Salah satu guru mengaji yang orang Melayu itulah yang membangun rumah saya, namanya almarhum Raja Haji Abdul Karim. Orang tuanya Pak Zen (Kabid Kebudayaaan Disbudpar Batam).”

 

Pendidikan pada jenjang sekolah dasar ditempuhnya di sekolah yang kini bernama SDN 002 Nongsa, Kota Batam. Semua anak di Nongsa menurutnya bersekoah di sekolah itu. Saat ia bersekolah di sekolah itu, sudah ada perusahaan asing asal Jepang yang beroperasi di Batam. Ini dibuktikan dengan bantuan ruang kelas yang diberikan oleh perusahaan tersebut. “Sekolah itu pernah dibangun PT Taisei, satu ruang kelas”. Untuk jenjang lebih tinggi setingkat SMP dan SMA, anak-anak yang hendak bersekolah harus menyeberang ke Tanjung Uban atau Tanjung Pinang. “Jadi untuk pendidikan, kami di Batu Besar ini tak ketinggalan lah,” katanya.

 

Ketika konfrontasi Indonesia-Malaysia pecah pada 1963, imbasnya turut pula dirasakan oleh masyarakat Batu Besar. Abdul Razak masih mengingat dengan jelas masa-masa ketika kampungnya menjadi garis terdepan penempatan pasukan Marinir Indonesia. Di samping tugas-tugas militer, pasukan tentara yang bertugas di kampungnya menjalin hubungan yang sangat baik dengan warga, bahkan satu-dua ada yang menikah dengan gadis asli Batu Besar. “Sersan Sajar dan Kopral Santo dulu tinggal di rumah saya. Itu sudah macam anak sama orang tua saya. Tinggal di rumah kami, nasi ransumnya dibagi dengan kami. Bahkan kalau Bapak saya ke Singapura, selalu mereka minta dibawakan piring keramik sebagai oleh-oleh. Itu kesukaannya tentara, piring keramik, ” katanya mengenang.

 

Walaupun ia dan kawan-kawan sebayanya sempat diajari oleh pasukan Indonesia untuk menggunakan granat tangan dan AK 47, aktivitas masyarakat di perairan Nongsa dan perbatasan dengan Singapura tak terganggu. “Kita kalau mau nyuluh udang, lapor. Kalau mau melaut nyalakan lampu,” katanya.

 

Orang-orang di Nongsa bekerja utamanya di 2 bidang: berladang dan melaut. Orang Melayu pada waktu itu cendrung bekerja sebagai nelayan. Walaupun tak semuanya, keadaannya bertolak belakang dengan orang Bugis yang berladang. Sebelum menempati Rumah Potong Limas, keluarga Abdul Razak tinggal tak jauh dari kebun mereka yang kini lebih dikenal sebagai Kampung Jabi. Dari karakteristik ini, untuk memenuhi kebutuhan, tak jarang terjadi transaksi dengan cara barter. Orang Tionghoa yang menurutnya sudah hidup di Nongsa sejak lama juga berprofesi serupa dengan orang Melayu dan Bugis, ada yang menjadi nelayan dan mengurus kebun. “Orang Cina juga kerjanya nelayan, bikin kelong betawi. Itu bapaknya yang punya Rezeki Seafood (Kampung Melayu, Nongsa) bikin kelong betawi dulu. Dulu merekapun nyari ketam bangkang juga (kepiting bakau).”

 

Ketika kaum lelaki bekerja melaut dan berladang, kaum Ibu biasanya membuat perkakas rumah tangga dengan pandan. “Kalau almarhumah Mamak saya hari-hari bikin tudung saji, pakai pandan laut yang berduri itu. Tikar juga bikin, tapi dibikin pakai daun batang bengkuang, palem juga,” kenangnya.

 

Orang Nongsa sejak dulu sudah sering berdagang ke Singapura. Beberapa komoditas yang penting dan dijual ke Singapura adalah kopra dan karet. Dengan kapal, biasanya barang dagangan ini dibawa melalui laut ke Singapura. Sekembalinya, biasanya orang Nongsa turut membawa pulang beras, aneka pakaian dan alat-alat rumah tangga yang dibeli di Singapura. “Bahkan asam dan garam pun dulu dari Singapura. Kita bawa ikan, dia tulis nota, nanti tinggal ambil barang.”

 

Menurut Abdul Razak, orang Nongsa lebih tahu Singapura ketimbang wilayah Indonesia lain misalnya Tanjung Pinang dan Tanjung Uban. Lalu-lalang orang keluar masuk dari wilayah Batam ke Singapura lancar saja walaupun tetap ada penjagaan di laut oleh tentara di perbatasan. Saking dekatnya dengan Singapura pada waktu itu, menurut Abdul Razak orang Nongsa pada saat tu lebih familiar dengan tanggal 9 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Singapura daripada 17 Agustus.

 

“Kita tak tahu Tanjung Pinang, Tanjung Uban. Jadi kalau 9 Agustus, kami dibawa orang tua ke Singapura, kita bebas masuk, ditanggug tauke. Tinggal di Singapura, merayakan kemerdekaan juga. Jadi waktu kecil dulu, saya tak paham sangat 17 Agustus,” katanya pria tua berjanggut ini.

 

Berita Lain

Liputan Eksklusif

Utopis adalah media alternatif di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik. Kami berani karena benar.

© Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.