Pastor Paroki Tomok Dimaki Wakapolres Samosir

Laporan ini ditulis oleh Hayun Gultom dan disunting oleh Jarar Siahaan. Diterbitkan ulang di UTOPIS seizin redaksi Batak Raya. Substansi laporan yang terbit pada 18 Juni 2022 ini penting diketahui khalayak ramai, meskipun Wakil Kepala Polres Samosir sudah mengaku salah karena menyebut Sabat Nababan sebagai “pastor gadungan”.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Wakapolres Samosir, Kompol Togap Lumbantobing, dalam persiapan menyambut Irwasum dan Kapolda Sumut di Puskesmas Ambarita, Kecamatan Simanindo, 16 Juni 2022. (Foto: Hayun Gultom)

 


 

Seorang pastor Katolik dimaki oleh Wakil Kepala Polres Samosir di jalan di desa wisata Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Kamis, 16 Juni 2022. Warga setempat menjadi saksi mata, termasuk ibu-ibu pedagang suvenir. Kepada Batak Raya Wakapolres mengaku salah bahwa dirinya memang menyebut “pastor gadungan.”

 

Pemuka agama Katolik yang dikasari secara verbal itu ialah pastor Sabat Nababan, imam di Paroki Santo Antonio Maria Claret Tomok, yang membawahkan belasan gereja Katolik. Oknum perwira Polri yang memakinya ialah Kompol Togap M. Lumbantobing, orang nomor dua di Polres Samosir.

 

Menurut penjelasan pastor Sabat Nababan, yang diwawancarai Batak Raya pada Kamis siang di pastoran Paroki Tomok, dia mengalami perlakuan takpantas itu ketika aparat Polres Samosir melakukan pengamanan pada pagi harinya di jalan raya Tomok berhubungan dengan datangnya rombongan tamu dari Markas Besar Polri dan Polda Sumut di pelabuhan wisata Tomok. Saat itu polisi menghentikan kendaraan yang datang dari arah Pangururan, termasuk Pastor yang mengendarai sepeda motor.

 

Pastor sendiri sedang dalam perjalanan tugas ke Sibosur, Desa Hutaginjang, Kecamatan Simanindo, untuk perminyakan suci seorang jemaat yang sakit keras. “Perminyakan suci adalah sakramen terakhir untuk orang yang masih hidup, menjadi bekalnya ke surga. Itu takbisa ditunda,” katanya. Setelah dari Sibosur, dia masih harus ke Desa Lottung juga untuk perminyakan suci. Karena itu, Pastor mesti bercepat-cepat jangan sampai kedua jemaat itu meninggal sebelum sempat menerima perminyakan suci.

 

Ketika dihentikan polisi, Pastor mengatakan dirinya sedang terburu-buru, “Saya pastor. Saya perlu cepat, ada acara urapan minyak untuk jemaat saya yang sedang sekarat.” Kemudian Pastor membawa motornya pelan-pelan, tapi tiba-tiba dia dihentikan lagi oleh Wakapolres Samosir, Kompol Togap M. Lumbantobing.

 

“Pinggir! Pinggir!” kata Wakapolres. Pastor pun berhenti, dan Wakapolres langsung mencabut kunci sepeda motornya. “Kau arogan sekali kau. Kulihat dari tadi,” kata Wakapolres, seperti diceritakan Pastor kepada Batak Raya.

 

“Pak, saya pastor. Saya buru-buru, ada perminyakan suci,” kata pastor Sabat Nababan.

 

“Ini, bawa ini! Harus diproses ini,” kata Wakapolres kepada anak buahnya.

 

Pastor menstandarkan sepeda motornya, meletakkan tasnya di atas motor, membuka helmnya, lalu mendekati Wakapolres. “Pak, saya buru-buru harus menemui orang yang sakit keras. Saya ini pastor, Pak,” katanya.

 

Namun, Wakapolres tetap tidak memberikan kunci motor Pastor, dan bahkan dia memaki Pastor. “Macam-macam yang dia sampaikan saat itu,” kata Pastor.

 

“Kita sama-sama pelayan masyarakat, Pak,” kata Pastor membujuk Wakapolres, “tapi tidak harus seperti ini cara Bapak.”

 

Wakapolres membalas, “Kau tidak tahu saya siapa? Wakapolres saya, ya!”

 

“Saya pastor, Pak,” kata Pastor lagi untuk yang kesekian kali.

 

“Pastor gadungan kau!” kata Wakapolres.

 

Kemudian Pastor membuka jaketnya dan memperlihatkan jubah yang dipakainya. “Ini tas saya. Kenapa Bapak bilang saya pastor gadungan?” katanya kepada Wakapolres. “Saya mau melayani, Pak, kondisinya sudah emergensi. Sedangkan ambulans bisa didahulukan karena membawa orang sakit, tapi saya yang mau melayani orang sakit dihentikan. Saya tidak mengganggu, saya juga tidak menghalangi jalan.”

 

“Sudah, sudah!” kata Wakapolres, lalu membiarkan Pastor melanjutkan perjalanan.

 

Puluhan orang warga Desa Tomok menyaksikan perlakuan kasar Wakapolres Samosir tersebut, dan salah satu dari kaum ibu menyampaikannya kepada Harry Bos Sidabutar, tokoh masyarakat yang juga pengurus gereja Katolik, “Tolong lihat, Pak, pastor kita dibentak-bentak polisi.” Lalu Harry Bos menemui Pastor yang sedang berbicara dengan Wakapolres. Tidak lama kemudian seorang polisi memasangkan kunci pada sepeda motor Pastor.

 

Kepada Batak Raya Harry Bos mengatakan takbisa menerima pastor mereka diperlakukan seperti tidak punya martabat. “Sudah, sudah, sudahlah!” kata Harry Bos, meniru ucapan Wakapolres kepada Pastor. “Bahasa apa itu? Apa dia pikir Pastor itu anak-anak? Luar biasa, bah!”

 

“Sudah banyak pejabat tinggi yang datang ke Tomok ini dengan berbagai model pengamanan dari petugas. Menteri, bahkan presiden, sudah datang ke sini, tetapi belum pernah masyarakat sampai dipermalukan hanya karena menurut mereka kurang tertib,” kata Harry Bos.

 

Dia menilai perbuatan Wakapolres tergolong penistaan terhadap imam Katolik. “Mungkin Pastor bisa memaafkan tindakan Wakapolres, tapi kami sebagai jemaat tidak bisa terima pastor kami disebut pastor gadungan,” kata Harry Bos Sidabutar. “Seorang pastor dimaki-maki, dibilang pastor gadungan. Polisi apa kayak gitu? Jangankan pastor, kita saja sebagai masyarakat biasa, orang tua di desa ini, tidak pantas dipermalukan seperti itu di depan umum oleh aparat.”

 

Beberapa kaum ibu pedagang suvenir di Tomok yang menjadi saksi mata juga bercerita kepada Batak Raya dan menyatakan protes atas perilaku Wakapolres kepada Pastor. “Aku HKBP, bukan Katolik, tapi mau menangis aku tadi melihat Pastor itu tangannya seperti gemetaran [saat dimaki Wakapolres],” kata seorang boru Sidabutar.

 

Saksi lain, boru Situmorang, mengaku berkata kepada Wakapolres, “Kalau orang itu nanti meninggal [sebelum sempat menerima perminyakan suci dari Pastor], apakah Bapak mau bertanggung jawab?”

 

Kata boru Situmorang kepada Batak Raya, “Perminyakan untuk orang sakit sama dengan marulaon nabadia. Biasanya kalau pastor sudah dipanggil, yang sakit itu berarti kondisinya sekarat. Makanya, kapan saja pastor dipanggil wajib datang, tidak bisa ditunda. Hujan deras tengah malam pun pastor wajib datang.”

 

Seorang ibu lainnya menegaskan bahwa Wakapolres berbicara takpantas kepada Pastor. “Memang kasar kali polisi itu. ‘Tidak tahu kau siapa saya? Wakapolres ini, ya!’ Tangannya itu kayak gini,” katanya sambil meniru gerakan Wakapolres saat memarahi Pastor.

 

“Buka maskermu! Memang kalau kau pastor, tidak bisa saya atur?” kata seorang ibu menimpali penjelasan kawan-kawannya.

 

Seorang ibu lainnya mengatakan Wakapolres tidak pantas memakai kata “kau” terhadap seorang pastor, karena biasanya aparat Polri yang bertugas di jalan raya menyapa pengendara dengan sebutan “Pak” atau “Bapak”.

 

Pada Kamis sore Batak Raya menemui Wakapolres Samosir, Kompol Togap M. Lumbantobing, yang sedang berada di kantor Polsek Simanindo untuk meminta konfirmasi. Dia tidak membantah telah memaki pastor Sabat Nababan, dan dia menceritakan kejadian tersebut menurut versinya.

 

“Semua mobil sudah disetop, tapi bapak itu menerobos, padahal yang lain sudah berhenti,” kata Wakapolres. Kemudian dia berkata kepada Pastor, “Bapak dari tadi kuperhatikan kok nabrak jalur terus, sementara yang lain sudah pinggir.”

 

Pastor menjawab bahwa dirinya perlu cepat tiba di tempat tujuan. Lantas Wakapolres mencabut kunci sepeda motornya dan mengatakan, “Bapak harusnya tahan dulu. Kalau ada [kunjungan] pejabat kayak begini, masyarakat sudah maklum semua. Tapi Bapak menerobos terus. Kapolres saja sudah begini-begini dari mobilnya.” Menurut Wakapolres, pada saat itu Kapolres Samosir, AKBP Josua Tampubolon, sedang berada di dalam mobil patroli sembari menunjuk-nunjuk ke arah sepeda motor Pastor.

 

“Memang dia [Pastor] bilang, ‘Saya mau cepat, ada yang sakit.’ Tapi, kan, saya tidak tahu itu,” kata Wakapolres kepada Batak Raya.

 

Dia juga mengaku menyebut “pastor gadungan” kepada pastor Sabat Nababan. “Itu sebelum dia buka jaket. Dia, kan, pakai jaket, saya tidak tahu kalau dia adalah pastor. Kalau dia pastor, harusnya dia berhenti. ‘Kalau Bapak pastor, tapi disuruh kok tidak berhenti? Masyarakat saja semua sudah minggir.’ Itulah, memang saya bilang itu, karena saya enggak tahu. Lalu dia bukalah jaketnya. ‘Oh, ya, sudahlah,’ saya bilang,” kata Wakapolres.

 

Wakapolres mengatakan kepada Batak Raya bahwa dia akan menemui Pastor untuk minta maaf. “Sebagai yang merasa bersalah, sudah saya sampaikan juga kepada Tumbur [salah satu anggota Polsek Simanindo] agar disampaikan bahwa saya akan datang menemui Pastor. Sebenarnya kami mau ke situ. Tadi sudah disampaikan Tumbur kepada Suster rencana Wakapolres hendak menemui Pastor, tapi nanti setelah selesai tugas,” kata Wakapolres Kompol Togap M. Lumbantobing.

 


 

Beberapa saat setelah laporan ini diterbitkan, Batak Raya membuat pembaruan pada pukul 14.53 WIB. Isinya tentang Wakapolres yang mengirim beberapa foto kepada Batak Raya via pesan WhatsApp dan mengatakan dirinya “udah jumpai Pak Pastor.” Wakapolres juga meminta kepada Batak Raya agar “tolong, Lae, jangan dibesar-besarkan lagi. Mauliate, Lae.”

 

Sumber: Batak Raya

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.