Tumpukan sampah busuk di Kampung Agas, Kelurahan Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau. Foto: UTOPIS.

Neraka di Tanjung Uma

Warga yang melazimkan kekumuhan, pemerintah yang tak mampu menegakkan aturan dan tidak pula punya solusi konkret, membuat wilayah kampung ini menjadi neraka karena sampah. Neraka bukan cuma berarti alam akhirat tempat orang jahat mengalami siksaan, tetapi juga keadaan atau tempat yang menyengsarakan.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

KAMPUNG Agas di Kelurahan Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau, adalah permukiman yang dibangun di atas air. Jalannya berbentuk pelantar terbuat dari kayu dengan lebar sekitar 1,5 meter dan tiang pancang setinggi 2,5 meter. Di bawah jalan pelantarnya aneka sampah busuk bertumpuk, menutupi permukaan air laut.

 

Sampah-sampah itu beragam jenisnya, mulai dari plastik kemasan minuman, ban bekas, puing-puing kayu, hingga popok sekali pakai. Warga melazimkan kekumuhan lingkungannya. Sudah puluhan tahun. Setiap hari hidup berjalan seperti biasa. Masyarakat pergi bekerja, mengurus anak, menghabiskan sore dengan bercengkrama dan melakukan banyak kegiatan lain di lokasi yang dipenuhi sampah.

 

Wilayah kampung yang terdampak sampah laut ini membentang sekitar 8 hektare, menghubungkan Pasar Kampung Agas di ujung barat dan Puskesmas Lubuk Baja di ujung timur. Wilayah ini dihuni oleh sekitar 8000 orang yang tersebar di 5 RT dalam lingkup RW 4, Kelurahan Tanjung Uma.

 

Bagi orang yang baru pertama kali datang ke lokasi ini, biasanya aroma tak sedap akan segera tercium oleh hidung. Namun, setelah beberapa lama secara alami indera pembau akan terbiasa. Hal inilah yang terjadi pada warga di sana. Bertahun-tahun tinggal di lokasi ini membuat warga terbiasa dengan kebauan sampah.

 

Sejak pekan lalu, Utopis berulang kali mendatangi kampung itu. Melakukan banyak wawancara dengan warga dan pejabat terkait (Hasil liputan eksklusif itu akan terbit teratur dimulai dari laporan ini). Rata-rata warga memang mengaku membuang sampah rumah tangganya langsung ke laut. Itu dilakukan karena banyak faktor. Utamanya karena tiada kesadaran. Kesadaran yang kurang ini diperburuk dengan absennya pemerintah, dalam mengatur dan mengedukasi warga.

 

Pada pekan yang sama saat liputan ini dikerjakan, berjarak kurang lebih 8,3 kilometer dari Kampung Agas, pada 11 Juni 2022, Dinas Lingkungan Hidup memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia ke-50 di Pasar Botania II. Dalam peringatan itu sampah Kampung Agas seperti tak menarik untuk dibicarakan. Wakil Gubernur, Marlin Agustina Rudi, lebih memilih membahas aksi pemilahan sampah rumahan yang sudah dilakukannya ketimbang membahas isu sampah laut di daerah pesisir Kota Batam.

 

Dengan kata lain, sudahlah lokasinya di ujung pulau, isu sampahnya juga tak disebut dalam perayaan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia ini. Kampung Agas dan banyak daerah di pesisir Batam lainnya seperti takada dalam semesta “Satu Bumi untuk Masa Depan” yang menjadi tema perayaan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tahun ini.

 

“Saya selalu menyerukan dan mengajak agar semua terlibat dalam menjaga lingkungan. Bumi kita cuma satu, kalau tak kita menjaganya, apa jadinya dengan bumi kita?,” kata Wakil Gubernur, Marlin Agustina, ketika berpidato.

 

Jawaban dari pertanyaan retoris Marlin tersebut dapat dengan mudah kita temukan dengan berkunjung ke Kampung Agas, Tanjung Uma.

 

Utopis belum berhasil mewawancarai Marlin Agustina Rudi. Sementara Herman Rozie, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam yang diwawancarai di sela-sela acara mengatakan, persoalan sampah di kampung itu memang berat untuk diselesaikan. Sejauh ini ia belum punya solusi, selain dengan cara “menyentuh hati” masyarakat

 

Dia mengatakan, beberapa tahun lalu pemerintah pernah melakukan gotong-royong membersihkan sampah di kampung itu. Akan tetapi, dia bilang kegiatan semacam itu cuma “memanjakan” masyarakat. Sampai sekarang warga masih membuang sampah sembarangan. Menurut dia, seharusnya kesadaran menjaga lingkungan harus muncul dari masyarakat, bukan dari pihak luar.

 

Terkait persampahan di kampung itu Herman Rozie mengatakan, “Sampah itu memang datang dari mana?,” katanya, “dari malaikat, dari setan, dari masyarakat? Kalau masyarakat takbuang [sembarangan] takada sampah itu.” Herman Rozie melanjutkan, “Kalau pertanyaannya siapa yang buang, maka jawabannya semua masyarakat harus kami edukasi. Ini [acara hari lingkungan hidup] contoh edukasi, kita keliling terus, ada di Facebook.”

 

Warga yang membuang sampah sembarangan di kampung itu, kata dia, sebetulnya bisa dikenakan sanksi berupa denda mulai dari Rp300 ribu – Rp50 juta. Tapi, dia bilang pemerintah belum bisa menegakkan aturan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah tersebut. “Masyarakat siap didenda nggak?” kata Herman Rozie.

 

Sampah Kiriman dan Pembangunan

 

Abdul Karim Aziz (70), sesepuh yang pernah menjabat selama 27 tahun sebagai ketua RW di permukiman itu mengatakan, bahwa tak semua sampah berasal dari keberlakuan buruk warga. Melainkan sampah juga merupakan kiriman dari kawasan pasar Induk Jodoh dan Pasar TOS 3000, yang letaknya berada di sebelah utara Kampung Agas. Sampah bawaan itu hanyut melalui parit besar, bermula dari daerah Nagoya dan bermuara di kampungnya.

 

Utopis dibawa melihat pondasi rumahnya, yang menurut dia pada awal pembangunan memiliki tinggi 1,5 meter. Waktu itu, tiang pelantar rumahnya berdiri setinggi 50 centimeter di dalam tanah dan 1 meter di atas tanah. Kini, pondasi itu sepenuhnya disemen oleh tumpukan sampah yang bertahun-tahun mengendap sedemikian padat. Ketika awal dibangun, rumahnya berada di bibir pantai. Kini, untuk mencapai bibir pantai, kami harus berjalan sekitar 15 meter dari rumahnya.

 

Ia yang tinggal di kampung itu sejak 1979 masih mengingat ketika laut di wilayah yang ia tempati itu masih bersih. Dia bilang, waktu itu laut di sekitar Kampung Agas masih jernih karena warga yang tinggal di wilayah itu masih tergolong sedikit. Belum ada pasar Induk dan Pasar Angkasa (pasar lama di daerah Nagoya), maupun pertokoan, diskotek, dan hotel. Keasrian kampung sirna setelah pemerintah menggencarkan pembangunan.

 

Pantauan Utopis di lokasi, banyak warga yang tak tahu-menahu mengenai imbauan Pemerintah Kelurahan Tanjung Uma tentang sampah dan Perda Kota Batam No 11 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu, ketiadaan fasilitas pembuangan sampah seperti tong sampah dan layanan pemungutan sampah membuat kebiasaan membuang sampah ke laut dipandang sebagai sesuatu yang lumrah oleh masyarakat.

 

Edi (56), warga Kampung Agas yang Utopis wawancara, juga tak membantah kalau ia membuang sampah ke laut. Minimnya kesadaran, ketiadaan fasilitas dan longgarnya peraturan membuat kebiasaan membuang sampah di laut oleh warga Kampung Agas, Tanjung Uma seperti mustahil untuk diselesaikan. Ia bahkan tak pernah mendengar adanya imbauan mengenai larangan membuang sampah di laut.

 

Edi juga menambahkan bahwa “diabaikannya” Kampung Agas, tempat tinggalnya itu berkait erat dengan status lahan sengketa yang melekatinya. Ia menunjukkan daerah seberang belakang rumahnya yang sudah direklamasi. Jarak antara rumah terakhir dalam deretan rumah Edi dengan gundukan tanah reklamasi membentang hanya sekitar 10 meter. Maka ia tak heran kalau pemerintah seolah menutup mata atas masalah sampah yang dialami warga.

 

Hal ini dapat dilacak jauh sampai masa awal Tanjung Uma tersentuh pembangunan pada awal milenium kedua. Saat itu memang Kampung Agas, utamanya RW 4 adalah wilayah yang paling terkena dampak dari reklamasi untuk tujuan pembangunan Pasar Induk Jodoh oleh Otorita Batam (BP Batam).

 

Bagai Mencincang Air

 

Di kelurahan Tanjung Uma, terdapat 2 bak Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Menurut Kabid Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Faisal Novrieco, kapasitas pengangkutan sampah di kelurahan itu berjumlah sekitar 10 ton per hari yang berasal dari dua bak TPS tersebut.

 

Masing-masing bak berkapasitas 3-4 ton sampah. Namun, Faisal mengakui bahwa 10 ton sampah ini adalah jumlah yang diangkut oleh truk sampah dan belum termasuk sampah-sampah lain yang tak dibuang ke TPS. Masalahnya adalah sampah laut yang menumpuk bertahun-tahun di pesisir Kampung Agas, Tanjung Uma bukan sampah yang dibuang ke 2 TPS tersebut.

 

Jika diasumsikan bahwa setiap manusia menghasilkan sampah sebanyak 0,7 kg perhari, maka jumlah produksi sampah warga RW 4 Kampung Agas, Tanjung uma adalah 5,6 ton perhari, hasil kali sekitar 8000 penghuni. Sebagian besar sampah dengan jumlah yang fantastis ini berakhir di laut. Sampah-sampah ini kemudian menumpuk, terbenam dan mengendap di dasar laut. Penumpukan ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu, jika tak diselesaikan, tumpukan sampah yang sama masih akan kita temukan puluhan tahun ke depan.

 

Dalam perjalanan waktu, bukan tak pernah ada upaya membereskan masalah sampah di Kampung Agas, Tanjung Uma. Syahril, Lurah Tanjung Uma mencatat, tahun 2018 sempat ada upaya gotong royong dengan mengerahkan sekitar 800 orang untuk membersihkan sampah Kampung Agas. Kegiatan ini diprakarsai oleh Kodim 0316 Batam dengan menggandeng warga, Pemerintah Kota, Instansi pemerintah serta LSM lingkungan.

 

Lebih lama lagi, pada era kepemimpinan Ismeth Abdullah, menurut Abdul Karim Aziz, sempat ada upaya preventif dalam bentuk pemasangan jaring penghambat sampah supaya tak masuk ke perkampungan warga. Usaha ini pun menurutnya tak terlalu bisa menangkal sampah yang datang bersama pasang naik air laut.  

 

Berbagai upaya sudah dilakukan baik oleh pemerintah, warga tempatan hingga perusahaan swasta. PT Ecogreen Oleochemicals tercatat pernah memberikan bantuan tong sampah kepada warga. Dalam prograram berskema CSR ini, perusahaan tersebut memberikan puluhan tong sampah plastik yang sedianya dipakai menampung sampah warga. Tak bertahan lama, dalam seminggu tong-tong tersebut raib diangkut pemulung atau hilang entah kemana.

 

Pada 2019 aksi gotong royong dilakukan lagi dalam puncak acara peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2019 untuk membersihkan sampah di lokasi Kampung Agas, Tanjung Uma.

 

Syahril mengatakan, bukan sekali Pemerintah Kelurahan Tanjung Uma mengimbau masyarakat di wilayah RW 4 untuk melakukan gotong royong. Imbauan ini ditujukan ke semua RT di bawah lingkup RW 4 tersebut. Masalah yang juga diakui oleh Abdul Karim Aziz, kesadaran masyarakat memang minim dalam isu sampah ini.

 

Azhari Hamid, pemerhati lingkungan di Batam, mengkritik langkah pemerintah terkait penanganan sampah di Tanjung Uma. Ia menilai, pernyataan Herman Rozie yang mengatakan bahwa perlu sentuhan hati kepada masyarakat tidak sepenuhnya tepat. Pernyataan itu ada benarnya tapi tak cukup sampai di situ. Perlu ada tindakan lanjutan. Ia menyinggung komposisi sampah harusnya bisa didaur ulang. Penanganan dengan daur ulang ini sudah banyak dilakukan dan berhasil di daerah lain. Pemerintah daerah menurutnya memiliki kapasistas untuk meyediakan fasilitas pengelolan sampah daur ulang ini.

 

Kegiatan-kegiatan DLH Kota Batam menurutnya lebih banyak bersifat seremonial ketimbang fundamental. Apa yang dilakukan selama ini menurutnya belum mampu meminimalisir volume sampah di Kota Batam. Azhari mengatakan, pengelolan sampah berbasis pemilihan yang dikampanyekan oleh Wakil Gubernur Marlin Agustina Rudi pun menurutnya hanya bualan semata. Kalau memang benar hal ini serius dilakukan pemerintah, harusnya sudah ada fasilitas pemilahan yang menjangkau hingga di RT dan RW.

 

Dikepung Dampak Buruk

 

Azhari Hamid mengatakan, salah satu dampak lingkungan yang ditimbulkan dari timbunan sampah adalah menurunnya kualitas air laut. Selain tercemar partikel berbahaya dari sampah, tumpukan sampah yang menutupi permukaan air juga menghalangi sinar matahari untuk sampai ke dasar perairan. Hal ini membuat kehidupan bawah air tak memungkinkan untuk bertahan. Pernyataan seorang warga, Edi, membenarkan klaim Azhari. Dia mengatakan, tak mungkin menemukan ikan hidup di perairan Kampung Agas, Tanjung Uma. Menurut Edi, nelayan Kampung Agas biasanya melaut hingga perbatasan Singapura dan Malaysia untuk mencari ikan.

 

Algalita, sebuah institusi penelitian kelautan yang bebasis di California, Amerika Serikat pada 2004 menemukan setidaknya air laut kita saat ini mengandung plastik 6 kali lebih banyak daripada organisme laut kecil seperti plankton yang merupakan makanan ikan.

 

Di balik permasalahan yang tak (pernah) selesai ini ada masalah lain yang tak kalah genting yaitu kesehatan. Walau keluhan mengenai masalah kesehatan jarang dilontarkan oleh warga Kampung Agas, Tanjung Uma, bukan berarti tak ada dampak kesehatan serius yang timbul dari sampah yang menumpuk tersebut.

 

Dihubungi via telepon, Gita Prajati, akademisi Universitas Universal Batam yang aktif meneliti isu lingkungan mengatakan memang dampak kesehatan dari sampah yang menumpuk di pemukiman warga tak dirasakan secara instan. Menurutnya, dampak kesehatan yang berasal dari sampah ini akan nampak dalam jangka panjang. Hal ini dikuatkan pula oleh Azhari Hamid yang mengatakan bahwa sampah plastik yang biasanya dibuang ke laut mengandung bahan polyethylene yang berbahaya jika terurai dan terkontaminasi tubuh manusia.

 

Menurut artikel yang diterbitkan oleh jurnal Annals of Global Health, sampah laut adalah salah satu  ancaman terbesar bagi kesehatan manusia. Sampah laut adalah masalah lingkungan terbesar di dunia saat ini yang berpengaruh pada sekitar 9 juta kematian prematur setiap tahunnya.

 

Menurut Didi Kusumaryadi, Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, sampah dapat berdampak pada meningkatnya penyakit menular seperti penyakit demam berdarah, malaria, diare, disentri, penyakit kulit, typhoid, infeksi jamur dan penyakit lainnya. Sayangnya, ketika dikonfirmasi mengenai data penyakit atau masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan sampah, Didi mengatakan Dinkes Kota Batam dalam hal ini Bidang Kesehatan Masyarakat belum memiliki data tersebut.

 

Dampak mengonsumsi makanan laut yang terkontaminasi sampah pun tak kalah mengerikan. Masih menurut jurnal Annals of Global Health, bayi yang terkontaminasi sampah melalui makanan yang dikonsumsi ibunya dapat mengalami pengurangan kapasitas IQ, peningkatan risiko autisme, ADHD, dan gangguan belajar. Bagi orang dewasa, paparan sampah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan demensia, mengurangi kesuburan pria, merusak sistem saraf, dan meningkatkan risiko kanker.

 

 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.