Membaca Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 sebagai Laki-Laki yang Baru Menikah

Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia. Ia adalah Ibu saya, ia adalah istri saya, ia juga kakak perempuan saya, ia akan menjadi lima keponakan perempuan saya, dan ia akan menjadi semua perempuan di dunia yang masih mengalami diskriminasi karena ke-perempuanan-nya.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Kim Ji-yeoung Lahir Tahun 1982, sebuah novel karya Cho Nam-joo. Foto: Kasiyanto bin Iskandar.


 

Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu?…”.

 

Potongan dialog ini berdengung dalam kepala saya sesaat setelah saya membacanya. Alih-alih adalah kata-kata Kim Ji-yeong yang diucapkan kepada suaminya, ia lebih terasa ditujukan pada saya.

 

Bagi saya, kata-kata itu terasa mengganggu. Bukan karena ia kasar dan terlalu terus terang, tapi karena saya merasa tak memiliki apapun untuk membantah tuduhan Kim Ji-yeong itu.  Kami, saya dan istri saya, memimpikan sebuah keluarga demokratis yang semua orang di dalamnya setara. Untuk itu saya mengambil cukup banyak peran sebagai pelengkap bagi istri saya. Kami mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama-sama. Namun, kadang tak dapat saya pungkiri, masih terselip perasaan bahwa saya telah “membantu” istri saya.

 

Ada 3 hal yang menurut saya melekat pada buku bagus. Pertama, ia harus mengandung kebaruan. Kita membaca tentu saja untuk mendapat “sesuatu”. Sesuatu itu bisa berharga salah satunya karena ia baru. Kita mungkin belum akan menemukan kebaruan itu dalam buku dan bacaan yang lain. Kedua, ia enak dibaca. Ini berkaitan dengan selera masing-masing. Setiap kita tentu punya kriteria “enak” sendiri-sendiri. Namun yang jelas, standar enak itu biasanya umum. Yang terakhir, ia harus relevan dengan zaman. Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 dalam takaran tertentu, menurut saya memiliki ketiganya.

 

Dua hal yang mencolok dalam buku ini, paling tidak dalam amatan subjektif saya, adalah kritik terhadap praktik misogini (kebencian terhadap wanita)-patriarki (dominasi laki-laki) dan abainya masyarakat (Korea Selatan) pada isu kesehatan mental. Kabar baiknya adalah, penulis tahu betul bagaimana kedua hal ini saling terkait dan memengaruhi.  Ia dengan sangat sukses, saya kira,  menyulamnya dalam plot yang tak cuma penuh data, tetapi juga enak dibaca.

 

Dengan kritiknya yang bernas terhadap praktik misogini dan patriarki, ia memicu diskursus yang ramai soal isu kesetaraan gender di negara asalnya. Sebagian besar mendukung, tetapi ada juga yang mencemooh. Ujung dari diskursus ini sungguh mudah kita tebak: simpati dan dukungan pada paham dan gerakan feminisme.

 

Saat mulai membaca buku ini, anak kami baru berusia sekitar 6 bulan. Dengan tumbuh kembang yang cepat, kami, orang tuanya juga berpacu dengan waktu karena harus menyesuaikan diri dengan tanggung jawab baru. Pernikahan membuat kami tak cuma harus hidup dengan perbedaan-perbedaan kami sendiri, tetapi juga menyesuaikan diri kami dengan keruwetan tumbuh kembang anak. Hal inilah yang juga dialami oleh Kim Ji-yeong dan suaminya, Jung Dae Hyun.

 

Sebelum menikah, saya menganggap pernikahan tak akan membatasi pilihan seseorang. Orang akan tetap bisa memilih apapun setelah menikah. Ternyata saya salah. Kebebasan semacam itu, seringkali tak dipunyai lagi oleh perempuan. Ini bisa kita lihat pada fragmen pasca-melahirkan yang dialami oleh Kim Ji-yeong.

 

Pada aspek-aspek tertentu, hubungan dalam pernikahan dan konsekuensinya membuat perempuan memiliki lebih sedikit pilihan dibanding laki-laki. Istri saya misalnya, harus rela tidak memberi ASI sampai 2 tahun karena harus bekerja setelah masa cuti 3 bulan pasca-melahirkan habis. Saya yang tak memiliki payudara dan ASI tak akan pernah merasakan–bagaimanapun saya mencoba memahami-tekanan emosional perempuan yang harus mengurangi intensitas pemberian ASI dan kontak fisik dengan anaknya.

 

Selain hal-hal internal macam itu, ada banyak tekanan yang datang dari luar. Beruntung, saya memiliki mertua dan orang tua yang tak terlalu menuntut banyak kepada kami. Dalam kasus Kim Ji-yeong, ada banyak sekali bentuk tekanan yang mesti dihadapinya sebagai seorang ibu muda. Sayangnya, tekanan itu justru datang dari keluarga suaminya sendiri.

 

Istri saya boleh dikatakan adalah yang paling mendapat imbas dari konstruksi masyarakat model ini. Ia akan ditanya macam-macam soal tumbuh kembang anak kami oleh keluarganya, keluarga saya, kenalannya, kenalan saya serta ibu-ibu di Posyandu. Pertanyaan-pertanyaan itu beberapa berujung pada penghakiman karena pada beberapa hal, anak kami mengalami perbedaan-perbedaan kecil yang menyangkut tumbuh kembangnya.

 

Seperti juga Jung Dae Hyun, suami Kim Ji-yeong, saya boleh dikatakan tak mengalami hal-hal semacam itu. Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia. Ia adalah Ibu saya, ia adalah istri saya, ia juga kakak perempuan saya, ia akan menjadi lima keponakan perempuan saya, dan ia akan menjadi semua perempuan di dunia yang masih mengalami diskriminasi karena ke-perempuanan-nya.

 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana pandangan “perempuan harus ini-harus itu” hidup dan tak pernah dipertanyakan. Dulu, saya melihatnya dari Ibu, kemudian kakak perempuan dan kini istri saya. Pandangan ini juga yang saya kira memberi pupuk bagi ketidakstabilan (emosional-fisik) pasca-melahirkan yang dialami oleh banyak perempuan. Perempuan ditunutut untuk memenuhi banyak sekali kriteria ideal, tetapi jarang mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia mau dan nyaman baginya.

 

Bayangkan pandangan-pandangan aneh ini: perempuan harus melahirkan normal untuk bisa dikagumi sebagai perempuan yang benar-benar perempuan. Ia harus mampu mengembalikan bentuk tubuhnya seperti sebelum ia melahirkan. Ia harus mampu melayani suaminya sambil tetap harus merawat anaknya.

 

Di mana pertanyaan-pertanyaan untuk laki-laki? Tidakkah seharusnya laki-laki membantu istrinya dalam seluruh proses persalinannya? Tidakkah seharusnya laki-laki menghormati dan mendukung pilihan istrinya untuk melahirkan normal atau operasi sesar? Tidakkah seharusnya laki-laki membantu istrinya menjaga kesehatan dan kebugarannya? Tidakkah seharusnya laki-laki terlibat aktif merawat dan membesarkan anak bersama istrinya?

 

Pandangan yang timpang ini bisa berdampak macam-macam tentu saja. Namun, pada tingkatan paling parah, kita akan menemukan Kim Ji-yeong yang lain, di waktu dan tempat yang lain.

 

Tak pernah ada yang mempertanyakan, kenapa Ibu saya harus menyiapkan kopi untuk Bapak, tapi Bapak tak punya kewajiban yang sama terhadap Ibu. Karena itulah, ketika Kim Ji-yeong “memprotes” Ayah mertuanya karena meminta keluarga mereka berkumpul di rumah mertuanya, mertuanya nampak kaget. Kekagetan itu sebenarnya bukan perasaan yang muncul dari kekosongan, ia berakar pada pemahaman bahwa sudah selayaknya anak menuruti orang tua dan seterusnya perempuan menuruti laki-laki (tanpa kompromi). Andai ada yang mempertanyakan misalnya, kenapa Ibu saya harus menyiapkan kopi untuk Bapak, tentu adegan kaget dari mertua Kim Ji-yeong akan bisa saya lihat dalam keluarga saya sendiri.

 

Menanyakan–untuk tak menyebutnya menggugat–banyak hal dalam relasi antar-laki-laki dan perempuan saya kira mampu mengubah sedikit demi sedikit ketimpangan yang selama ini terjadi. Perubahan menuju masyarakat yang setara tentu adalah sebuah perjalanan yang panjang. Namun, seperti banyak perubahan lain di dunia, ia dipantik oleh pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dimulai dengan “kenapa?”.

 

Kita beruntung, ada banyak hal dalam kehidupan Kim Ji-yeong yang sudah tak terjadi lagi di zaman kita hidup. Namun, ini bukan berarti dunia hari ini adalah dunia yang tak mungkin melahirkan lagi Kim Ji-yeong-Kim Ji-yeong lain.   

 

Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 dengan sinis dan tak meledak-ledak melontarkan banyak “kenapa?” ketika saya membacanya. Daripada menjawab banyak “kenapa?” itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk merenung-renung tentang misoginisme dan patriarkisme yang tampak alami ini.

 

Karena sinisme suara tokoh utama itu, penulis menempatkan Kim Ji-yeong bukan sebagai seorang pemimpin protes yang memegang pengeras suara di hadapan bangunan patriarkisme dan misoginisme. Ia, alih-alih bersuara lantang, justru adalah gumaman-gumaman samar di barisan belakang yang mengajak lebih banyak orang untuk “merasa”. Ia tak berpretensi menggedor logika publik. Ia menyadarkan kita yang seringkali menganggap bahwa masyarakat patriarkis adalah sebuah keniscayaan yang terberi sesungguhnya dapat diubah.

 

Buku bagus ini harusnya dibaca lebih banyak orang. Ia harus dibaca baik oleh pasangan yang sudah lama menikah atau orang-orang yang memutuskan akan menikah.

 

Bagi pasangan yang sudah menikah, buku ini saya kira mampu membuka ruang bagi pembicaraan-pembicaraan baru tentang hubungan antara suami dan istri. Rumah tangga sebagai sebuah institusi harusnya tak boleh menonjolkan dan mementingkan seseorang dan meninggalkan yang lain. Bagi orang-orang yang memutuskan akan menikah, buku ini saya kira mampu membuka ruang bagi topik yang sangat jarang dibicarakan dalam wacana pranikah.

 

 

 

***

 

 

 


 

 

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.