Kios sepanjang 12,5 meter dengan lebar 19 meter di pinggir jalan raya Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, itu masih berdiri kokoh ketika 446 bangunan lain telah rata dengan tanah. Sudah satu tahun, pemiliknya “berhasil” menolak penggusuran untuk pembangunan jalan raya oleh Pemerintah Kota Batam.
Rabu, 19 Oktober 2022, Utopis mendatangi bangunan kayu bercat hijau kusam itu. Kios tertutup rapat tanpa ada penghuni. Di bagian kiri depan ada spanduk bertuliskan ancaman bagi siapa saja yang membongkar atau merusak bangunan. Dari informasi itu diketahui kalau pemiliknya bernama Ina Ratnika Analia. Dia sedang menggugat pemerintah yang hendak menggusur bangunannya.
Heru, salah seorang warga mengatakan, kios itu dulunya adalah bengkel sepeda motor. Dia mengenal pemilik bengkel karena sudah belasan tahun mengontrak di sana, tetapi dia tidak mengenal pemilik asli kios. “Kalau tidak salah, dan banyak yang bilang, orangnya [pemilik] di Jakarta. Tapi kami tak pernah jumpa,” katanya kepada Utopis.
Dia mengatakan, penyewa kios pindah beberapa hari sebelum penggusuran. Pemerintah sendiri mengerahkan alat berat untuk membongkar kios-kios di sana pada tahun 2021 lalu. Menurut Heru, ada yang bilang kalau bangunan itu tidak bisa digusur karena pemiliknya mempunyai sertifikat kepemilikan yang sah.
Lurah Batu Besar, Badri, mengatakan proyek pelebaran jalan yang teralang kios rencananya akan mulai dikerjakan pada 2023, sesuai dengan tahun anggarannya. Dia bilang setiap kepala keluarga (KK) yang terdampak penggusuran telah disiapkan lahan pengganti dengan ukuran 4 x 5 meter di Kawasan Nilam Suri, Nongsa. “Ini masih proses untuk kawasan kuliner,” kata Badri kepada Utopis belum lama ini.
Terkait satu kios yang belum digusus, Badri mengatakan, saat sedang berjalan perkara sengketa lahan di Pengadilan Negeri (PN) Batam, berkaitan dengan bangunan itu. “Sudah putus. Tapi masih menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Apa hasilnya, kelurahan belum diinformasikan,” kata dia.
Badri mengatakan, yang pastinya lahan itu adalah area Right Of Way (ROW) jalan. Dan jauh sebelum penggusuran, kelurahan dan tim terpadu tentunya melakukan tahapan-tahapan sampai dilakukan penggusuran. Termasuk teguran tertulis hingga bersosialisasi. “Mediasi tetap kami utamakan, tapi yang bersangkutan memilih berproses di pengadilan. Minta ganti rugi Rp 150 juta,” kata Badri.
Lantas apa yang menjadi pegangan atau legalitas si pemilik lahan, sehingga petinggi negeri diperkarakan sampai ke pengadilan?
“Yang bersangkutan pegang surat jual beli, kayaknya,” kata Badri. Informasi yang Utopis rangkum, Ina Ratnika Analia ini memiliki legalitas : surat alas hak atau surat pelepasan hak atas lokasi tanah tanggal 25 September 2000. Kemudian revisi surat pelepasan hak atas lokasi tanah, Maret 2011 dan surat pembagian hak kepemilikan atas lokasi tanah, Maret 2011. Surat itu ditandatangani oleh Lurah pada masa itu. Namun, menurut Badri, surat itu bukan suatu legalitas. “Jadi tanda tangan itu bukan melegalkan, sifatnya hanya mengetahui ada itu kegiatan,” katanya.
Kuasa Hukum Pemilik Kios, Indra Raharja, mengatakan, dasar kliennya mengajukan gugatan itu karena memang ada penggusuran oleh Tim Terpadu Pengawasan dan Penertiban Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Batam. “Sementara legalitas: surat-surat tanah waktu itu kami peroleh tahun 2000-an, surat tanah kami ini memang ditandatangani oleh lurah waktu itu, itu yang menjadi dasar kami menggugat. Artinya Pemerintah Kota Batam sudah andil dalam transaksi tanah itu hingga kini menuai masalah,” kata Indra.
Legalitas yang dimaksud Indra itu adalah surat alas hak. Bukan sertifikat yang seperti dihebohkan. “Bukan sertifikat, kita juga belum bayar UWT (Uang Wajib Tahunan) dan tuntutan kita juga tidak banyak, cuma Rp30 juta. Waktu mediasi, tergugat menolak apa yang kita klaim dalam gugatan,” katanya.
Tergugat yang dimaksud Indra adalah Tim Terpadu Pengawasan dan Penertiban Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Batam sebagai Tergugat I dan Wali Kota Batam sebagai Tergugat II.
Saat ini, kliennya berada di Kota Batam, Kepulauan Riau. “Jika dimenangkan [kasasi] inilah eksistensi kami memperjuangkan tanah kami. Sejuah ini belum ada intervensi,” kata Indra. Terkait surat alas hak yang dipegang, pihaknya masih berpikir untuk mengambil langkah untuk menggugat pejabat yang mengeluarkan surat tersebut lewat Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Tanjung Pinang. “Ada pertimbangan tertentu kami tidak ke PTUN,” sebutnya.
Dalam surat alas hak tersebut dituangkan, satu bidang tanah dengan ukuran panjang 12,5 meter, lebar 19 meter, luas 237,5 meter persegi, berikut bangunan permanen yang diberi nomor urut R.135 oleh Tergugat I, dengan empat batas sempadan.
Adapun ganti rugi atau sagu hati yang disampaikan dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tersebut dengan total kerugian Rp 150 juta. Rinciannya, untuk biaya penimbunan tanah dan bangunan milik penggugat menggunakan 25 dump truck, dengan volume tiap dump truck ialah 12 meter kubik dan biaya yang dikeluarkan untuk tiap dump truck sebesar Rp800 ribu, sehingga totalnya sebesar Rp20 juta.
Kemudian nilai ganti rugi/sagu hati yang seharusnya dapat penggugat terima jikalau para tergugat mengikuti prosedur yang berlaku, sebesar Rp 30 juta. Kerugian imaterial sebesar Rp100 juta. Selain itu, penggugat juga meminta tergugat membayarkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp10 juta per setiap hari keterlambatan para tergugat dalam melaksanakan isi putusan perkara a quo terhitung sejak diputusnya perkara.
Dari penelusuran Utopis di laman SIPP PN Batam, riwayat perkara perbuatan melawan hukum ini tercatat hari Jumat 17 September 2022, untuk pendaftaran perkara. Kemudian hari Rabu 2 Maret 2022, untuk putusan. Penggugat kalah. Kemudian Rabu 9 Maret 2022, penggugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Lalu pada Selasa 7 Juni 2022 putusan. Penggugat kembali kalah. Hingga Rabu 15 Juni 2022 mengajukan kasasi. Update terbaru Senin, 5 September 2022, pengiriman berkas kasasi ke Mahkamah Agung.