Seorang pekerja seks komersial di Kota Batam, Kepulauan Riau, sedang menunggu pelanggannya.

Ketika “Anjelo” dan PSK Jatuh Cinta

Melupakan itu tidak mudah, apalagi bagi Juliansyah (54). Pagi buta itu, suaranya serak. Air matanya berlerai. Suasana hati Jul, panggilan akrab tukang ojek yang mangkal di lokalisasi Belakang BCA Jodoh, Kota Batam, ini seketika masygul, mengenang cinta: sebuah pengertian yang membingungkannya selama ini.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

Jalanan kawasan prostitusi itu sempit. Menjadi makin sempit karena di kedua sisinya berjejer bangku plastik. Diduduki para perempuan yang asyik digombal pria-pria bermotor. Wajah mereka terang laras disinari cahaya bulan, layar ponsel, dan lampu kendaraan. Sekilas pandang, ada yang senyum seadanya, jika disapa. Ada juga yang malu-malu sambil bergaya.

 

“Tanya-tanya dulu boleh,” seloroh salah satu PSK [pekerja seks komersial] merapikan ujung poni rambutnya yang kusut. Tak peduli siapa yang mendekati, asal cocok, angkut, selesai. Bayaran itu pasti, karena banyak mata yang menjaga dan mengawasi. Seperti itulah sekilas praktik prostitusi di kawasan Raja Ali Haji, Kelurahan Sei Jodoh, Kota Batam, Kepulauan Riau ini.

 

Tepat di ujung jalan ada sebuah pangkalan ojek, di atas bangku rongsoknya, Jul bertopang dagu. Sambil menyulut sebatang kretek, ia menyaksikan orang-orang di seberang bertransaksi cinta. Sesekali memandangi motor bebeknya, adalah kawan setia menyambung hidup. Motor itulah pembuka cerita masa lalu Jul sebagai pengantar jemput wanita malam alias ‘anjelo’ di Kota Batam.

 

Selain tukang ojek, Jul juga jadi tempat curhatnya para PSK di situ. “Ada [PSK] yang kalau jam 1 [pagi] pasti dia sudah pulang. Saya yang antarjemput setiap hari,” kenang Jul bercerita kepada utopis.id, jelang pagi itu. Lastri [bukan nama sebenarnya] wanita yang disebut-sebut Jul itu, pendatang baru dan yang paling laris di kawasan prostitusi ternama di Batam.

 

PSK yang menjadi pelanggannya itu berusia 27 tahun. Menurut Jul, ia pertama kali masuk area prostitusi kelas “teri” ini sekitar 7 bulan lalu. Alasannya klasik: ekonomi. Mulanya mencoba melacur di tempat hiburan malam (THM), tetapi kurang beruntung. Karena selama pandemi terkena pembatasan jam operasi. Jika ada yang buka pun pengunjungnya sepi. Belum lagi berbicara saingan.

 

Perempuan itu adalah mantan karyawan sebuah mal di bilangan Nagoya, yang terkena pemutusan hubungan kerja [PHK] dampak dari sepinya mal selama pandemi Covid-19. Merupakan seorang perantau dari tanah Jawa. Yang memutuskan mencoba peruntungan di Batam, tetapi malah tersesat dan menjadi PSK kelas rendah.

 

Suatu malam, sambil berboncengan dalam perjalanan pulang, Lastri bercerita kepada Jul, tentang kisahnya yang berujung jadi ‘gula-gula’. “Dia [Lastri] awalnya coba-coba ikut temannya cari cowok di diskotek. Akhirnya keenakan dapat duit cepat, terjebak sendiri [dunia prostitusi]. Temannya, PSK sini juga,” katanya. Menurut Jul, sudah tentu pertama kali melayani pelanggan, semua PSK campur aduk perasaannya, “Kalau dia bilangnya minum dulu, tetapi waktu di kamar tersadar juga. Karena laki-lakinya bau mungkin,” kata Jul sambil tertawa.

 

Orang mungkin takkan percaya, tetapi demikianlah himpitan hidup membuat perempuan memilih banting setir ke “jalur alternatif” ini. Dalam semalam Lastri bisa melayani 15 laki-laki. Tarifnya paling sedikit Rp120 ribu untuk satu kali kencan dengan durasi paling lama 15 menit. Dipotong Rp20 ribu biaya sewa kamar, ia bersih mengantongi Rp100 ribu. Kurang dari 3 jam bekerja ia sudah mendulang jutaan rupiah. “Sudah takada niat lagi dia kembali ke kerjaan lama,” kata Juli.

 

Itu baru satu kisah, yang diceritakan Jul selama 15 tahun mangkal di kawasan prostitusi ini. Pekerjaan Jul sebetulnya begitu berat. Ongkos menaiki ojeknya cuma Rp20 ribu untuk jarak antar sekitar 2 kilometer [misal Kampung Bule- Belakang BCA Jodoh]. Satu malam ia bisa mengantongi Rp150 sampai 300 ribu, tergantung cuaca. Namun, dalam pekerjaannya, bukan uang persoalan terberat. Sebab, ia rutin mendapat tip berlipat-lipat dari pelanggan. Bagian terberatnya, yaitu menjadi seorang profesional. Bersedia menjadi teman curhat dan tetap menjaga hasrat.

 

“Saya itu setiap hari antar-jemput, mengobrol, dan akrab sama mereka. Sebenarnya saya bisa saja pakai [bercinta] gratis. Cuma saya ingat anak. Anak saya lima orang perempuan semua,” kata kakek satu cucu ini. Kelima anaknya sekarang berada di Jawa Tengah, dua sudah bekeluarga, sisanya masih sekolah dan diurus oleh mantan istrinya.

 

Meskipun begitu ia mengaku tak selamanya bisa menahan keinginan bercinta. Juli bercerita, dulu setelah bercerai dari istri pertamanya, dia sempat menikah secara resmi di KUA [kantor urusan agama] dengan salah satu PSK di sana. Sebuah cinta yang tulus. Dan rasa cintanya muncul tak berbelit-belit, begitu sederhana. Berawal dari rasa simpati yang kemudian membuat keduanya saling jatuh hati. “Karena sering ketemu, mengobrol, terus ya saling suka. Akhirnya saya ajak dia menikah,” kata Jul.

 

Satu tahun pertama setelah menikah mereka hidup bahagia. Jul tetap menarik ojek di area prostitusi tersebut, sementara istrinya berhenti menjadi PSK dan fokus mengurus rumah tangga. Sayangnya, hidup tak selalu manis. Penghasilannya ternyata takbisa mencukupi gaya hidup si istri, akhirnya membuat si istri diam-diam kembali menjual diri. Saat itulah kabut seakan menutupi hidupnya.

 

“Saya sudah memohon minta dia berhenti [menjadi PSK], dia malah nanya penghasilan saya. Yasudah akhirnya cerai. Tetapi saya bilang ke dia, saya tidak mau melihat dia mangkal di sini [Belakang BCA]. Intinya terserah di mana saja asal jangan sampai tahu saya. Karena nanti saya takut hilang kendali,” kata Jul.

 

Sejak saat itu Jul mengaku tak berani lagi main hati dengan PSK. Sebab, ia sadar kalau dunia prostitusi adalah sebuah dunia yang keras. Banyak hal yang tak masuk diakal bisa terjadi. Seperti pernikahannya. Seperti cerita-cerita yang pernah ia dengar ketika mengantar para PSK langganannya.

 

Barangkali dalam usianya yang hampir menginjak 60 tahun ini, ia bukan lagi semata seorang yang mengejar uang dan kenikmatan. Tapi nampaknya ia memahami: dalam hidup, manusia tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia belajar tulus menjadi sebenarnya seorang tempat bercerita para perempuan yang berhasrat kepada benda-benda. Sampai saat ini.

Liputan Eksklusif

Jurnalisme Telaten

Utopis adalah media siber di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik.

© 2022 Utopis.id – Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.