Berebut petang, ‘emak-emak’ menjunjung tinggi baki keluar dari laut. Ada sesuatu yang dibawanya. “Tak banyak, paling dua atau tiga kiloan-lah kerang dan gonggong ini,” kata Lastri, sambil melilitkan songket kainnya yang jatuh ke tanah. Jika tak habis dimasak, hasil tangkapan akan dijual. Wanita 40-an tahun, warga Pantai Teluk Mata Ikan, Kota Batam ini bertelanjang kaki pulang ke rumahnya,“Pantainya sudah bersih,” katanya, “tetapi minyak hilang, sampah yang datang, itulah dampak musim utara sekarang.”
Sementara Cokro, mengatakan minyak hitam sangat mengganggu mata pencahariannya sebagai nelayan. “Mana ada ikan atau gonggong yang bisa hidup,” kata pria yang hampir belasan tahun mendiami pesisir Pulau Buntal tersebut. “Jengkel kita. Lengket di kaki susah bersihnya, apalagi lengket di pakaian,” katanya. Beberapa tahun belakangan di sepanjang Pantai Terih, masih terpapar tumpahan minyak hitam. Namun, tahun ini ia tak menemui lagi tumpahan minyak yang menjengkelkan itu. “Ada memang beberapa hari lalu, tetapi itu bukan minyak lumpur, melainkan tumpahan minyak kapal yang sampai ke sini.”
Tapi kemudian: mengapa limbah yang setiap musim utara mencemari pesisir itu mulai menghilang?
Pada akhir Agustus 2021 lalu, pasukan TNI Angkatan Laut menangkap kapal MT Zodiac Star. Kapal itu disergap karena membawa 4600 ton minyak hitam yang masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Kapal nakal seperti inilah yang dicurigai menjadi biang masalah di pesisir.
Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri, Edison, ‘tangkapan besar’ semacam MT Zodiac Star mencitrakan bahwa petugas kini semakin tegas. “Menangkap kan, ekstrim. Ditangkapi dulu, lalu diproses hukum semua. Ini membuat ada efek jera. Jadi orang berpikir melakukan kegiatan ilegal. Dan sejak adanya penegakan hukum, kegiatan ilegal, tumpahan minyak sudah berkurang,” katanya kepada utopis.id baru-baru ini.
Tumpahan minyak di laut terjadi setiap waktu. Sambil menunjukkan rekaman satelit di gawainya, Edison menjelaskan dirinya bahkan baru saja menerima laporan ada tumpahan minyak. “Sekarang ada yang lagi buang limbah. Ini ada 6 titik, warna kuning ini artinya ada tumpahan,” katanya. Tumpahan limbah yang lumayan luas itu terdeteksi di perairan internasional atau OPL (out port limited).
Edison tak dapat menguraikan dengan rinci kehandalan dari satelitnya. Dapat mengintip identitas kapal dengan detail, kah? “RAW [format]-nya tidak bisa dibuka lewat smartphone ini, nanti saya cek ulang di kantor,” janjinya. Dia menjelaskan, kegiatan ilegal semacam ini biasanya dilakukan ketika kapal sedang berjalan.
Ada berbagai modus yang dipakai oleh para penjahat lingkungan ini. Sering terjadi ketika kapal sedang dalam proses pembersihan tangki (tank cleaning), “Terutama kalau kegiatannya ilegal. Apalagi sekarang ABK sudah bisa melakukan tank cleaning sendiri,” kata Edison. Kemudian paling parah, yaitu perdagangan minyak ilegal (kencing atau jual minyak di laut). Modus ini disebut trading atau pencurian minyak. “Kalau sedang ‘kencing’ kapal tidak berhenti karena jika ketahuan GPS-nya berhenti, bisa bermasalah dengan kantor pusat mereka. Mereka mengelabui dengan kapal tetap berjalan,” kata Edison.
Perilaku ‘kencing’ inilah yang menjadi salah satu sumber masalah pencemaran di pesisir Kepulauan Riau saat angin utara tiba. Setiap berkegiatan minyak yang tumpah ke laut minimal 50 sampai 100 ton. Ini terjadi karena selang atau hose yang digunakan diameternya bisa 6 sampai 10 meter dengan rating pump atau kecepatan pompa mulai dari 300 sampai 500 ton perjam. “Jadi kalau mereka lepas pipa sambil jalan, kan banyak tumpahan,” katanya.
Edison memastikan, sebenarnya kejadian itu paling banyak terjadi bukan di Indonesia, tetapi di perairan Internasional. Akan tetapi, memang ada dugaan kalau para pekerja atau pelakunya itu orang Indonesia. “[Di OPL] setiap saat itu selalu ada [buang limbah sembarangan], dan pesisir kita terkena imbasnya setiap angin musim utara.”
Dia mengklaim, saat ini intesitas tumpahan dan pencemaran di pesisir tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Dulu, hampir setiap tahun limbah itu mampir ke Batam dan Bintan. Merusak lingkungan, mengganggu perekonomian nelayan, dan membuat buruk citra pariwisata.
Rinciannya, limbah yang diangkut dari pesisir Nongsa pada tahun 2021, ada 176 drum atau setara dengan 35 ton. Total ini termasuk sisa-sisa sisa tahun 2020, yang belum sempat terangkut dan dimusnahkan. Jika ditotalkan dari tahun 2018 sampai 2021, ada sekitar 600 drum limbah yang dibersihkan dari pesisir Nongsa. Biaya yang dikeluarkan mulai dari pembersihan sampai ke pemusnahan nilainya miliaran rupiah. Terkadang karena terbatasnya anggaran, pengelolaan limbah B3 itu harus ditunda pada tahun berikutnya.
“Tahun ini bekurang signifikan. Tahun 2020 lalu ada 23 kejadian yang sampai ke pesisir dari 30 kejadian sebelumnya. Kemudian di tahun 2021 ada 3 sampai 4 kejadian. Dan itu sebenarnya tidak terlalu luas. Kalau tahun ini sudah tidak ada, bersih semua [Batam],” katanya.
Ada satu masalah sebetulnya untuk DLHK Kepri makin maksimal dalam mengantisipasi kejahatan lingkungan di laut. Yaitu karena lembaga ini cuma bisa mengawasi dari darat, dan tidak punya satupun armada untuk turun langsung mengawasi ke laut. “Kalau ditanya apakah kita butuh [armada] tentu kita butuh, karena kenyataanya sekarang memang belum ada,” kata Edison.
Pemerintah Harus Serius
Menurut Azhari Hamid, aktivis lingkungan hidup di Kepri, pencemaran pesisir adalah permasalahan tak kunjung selesai. Hilang dan timbul. Dia mengapresiasi ketegasan aparat yang sekarang mulai berani menangkapi kapal-kapal nakal. Akan tetapi, ia meminta pemerintah juga harus memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan hidup di laut. Bukan cuma membentuk satgas, melakukan rapat secara maraton, koordinasi antar-instansi, tetapi tidak menghasilkan hasil. Solusi harus aplikatif, bukan hanya menemukan atau memecahkan masalah di atas meja. Harus jelas rencana jangka pendek dan jangka panjangnya.
Ketidakseriusan pemerintah menurutnya bisa terlihat ketika lembaga sekelas DLHK Kepri dan Batam sampai saat ini belum memiliki memiliki armada dan personel yang mumpuni untuk mengawasi di laut. Padahal menurut Azhari, secara keseluruhan 96 persen wilayah Kepri adalah lautan, terutama karena provinsi ini terletak pada jalur lalu lintas laut yang ramai, Selat Malaka. Pun, masalah pencemaran di pesisir juga datang dari ulah kapal-kapal di sana.
“Persoalannya dari zaman dulu kita tidak punya satuan pengawasan laut yang dilengkapi dengan fasilitas yang baik. Padahal ini penting, itu saja dulu yang diperhatikan. Jika ini jalan, kan, bisa dilihat tahun depan, apakah masih ada kejahatan lingkungan di laut itu?” kata pria yang menyelesaikan S2 program studi teknologi pegelolaan sampah dan limbah perkotaan, fakultas teknik di Universitas Gajah Mada ini.
Limbah sludge oil juga cuma satu dari sekian masalah kejahatan lingkungan di laut, yang diam-diam terus masuk ke Indonesia. Ketegasan harus ditingkatkan, tidak bisa tidak. Dia berpendapat, hukuman badan harus direalisasikan kepada penjahat-penjahat lingkungan ini. “Jadi tidak hanya sebatas memabayar denda, kemudian pergi dan masuk lagi. Sementara status material yang ada dalam kapal mereka itu sudah status limbah yang mau dibuang. Dia bilang tidak buang di Indonesia, kan bisa saja dia buang di OPL, Malaysia, arah Bangladesh. Kalau itu terjadi, Indonesia kena juga. Anggaplah tidak kena Batam, tetapi dia bisa kena di Aceh, tidak di aceh, kena di Riau. Sama saja.”
Menurut dia solusi kongkret untuk mengatasi kejahatan lingkungan di laut, yaitu dengan adanya satu sistem pengawasan bersama dari aparat-aparat yang terkoneksi dengan permasalahan penanganan limbah di laut. “Jadi harus ada forum bersama dan harus ada pembiayaan. Di sini pemerintah provinsi atau kabupaten kota harus berbagi dana pengeloaan untuk kegiatan itu,” kata dia.
Azhari mengatakan, “Kalau ada anggaran untuk itu [kegiatan mengantispasi kejahatan lingkungan] mereka [aparat] mau bekerja dengan baik. Tetapi kan, tidak ada. Mohon maaf ini asumsi saya, sekarang ini menurut saya banyak oknum-oknum yang mempelajari aturan soal limbah ini untuk kepentingan pribadi . Mereka pelajari undang-undangnya, kemudian mereka tangkap, mereka takut-takuti pelaku dengan ancaman akan dibawa ke DLHK. Ini potensi berbahaya buat lingkungan,” kata dia.
Akhirnya, Dinas Lingkungan Hidup sebagai leading sector kata dia, memang harus dibekali dengan fasilitas yang mendukung. Pertama, anggaran yang cukup, armada yang baik, dan personel yang memahami tugas dan fungsi yang dia emban saat ini. “Harus ada langkah kongkret, jangan cuma lip service, rapat, diskusi tiap hari dan bikin peraturan baru, tetapi satupun tidak ada yang jalan. Realisasi itu perlu.”
Ketegasan menjaga lingkungan laut juga mulai diperlihatkan oleh Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam. Pada Juni 2021, misalnya, petugas menahan kapal SB Cramoil Equity. Kapal milik perusahaan asal Singapura itu ditahan karena mengangkut 20 ton limbah secara ilegal. Menurut keterangan nakhoda kepada petugas, setiap bulan kapalnya mengangkut sekitar 100 ton limbah. Dia sendiri sudah bekerja mengemudikan kapal itu selama 2,7 tahun, dan kegiatan limbah limbah tersebut, sudah dilakukan Cramoil Singapura sebelum ia bekerja di sana.
Amir Makbul, Kepala Bidang KBPP KSOP Khusus Batam mengatakan, saat penyelidikan ini ditemukan 20 barang bukti. Yang sudah diakui itu masih dalam proses hukum. “Barang bukti 20 tong, menurut berita acara 1000 liter perdrum (tong)-nya” kata Amir Makbul, Jumat, 4 Februari 2022.
Dalam mengawasi perairan Batam, pihaknya mengandalkan: dua kapal kelas 3, satu kapal kelas 5, satu kapal rubber untuk patroli cepat kelas 1. Dia tidak menjawab secara pasti apakah armada itu cukup. Akan tetapi, menurutnya, untuk menentukan cukup atau tidaknya armada ini juga tergantung berapa jumlah kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan Batam. Sifatnya relatif. “Tapi saat ini kami sudah dapat melakukan penegakan hukum,” kata dia.
Amir memastikan tetap ada aturan dan ketentuan untuk semua kapal yang melakukan pembuangan limbah (di perairan internasional), termasuk juga di daerah teritorial suatu negara. Ketentuan ini mengacu pada aturan IMO atau Organisasi Maritim Internasional. Pelarangan ada, tetapi dalam kondisi tertentu katanya juga boleh melakukan membuang limbah ke laut. “Tapi yang pasti itu di luar teritorial suatu negara, ya,” katanya.
Soal bisa atau tidaknya KSOP Khusus Batam menangkap kapal nakal di perairan internasional, yang seperti kata Edison hampir setiap waktu membuang limbah, Amir menyebut, penangkapan harus sesuai dengan ketentuan hukum daerah teritorial Indonesia. “Biasanya [kalau ketahuan buang limbah] kami melakukan koordinasi antar-negara. Untuk tingkat pusat mereka sudah koordinasi dengan negara-negara tetangga,” kata Amir.
Angin utara yang selalu di kambing hitamkan, Amir menyebut, tentunya sudah ada riset lembaga khusus dari pemerintah. Kalau dari KSOP untuk risetnya adalah dari Kementerian. “Kami (KSOP) bidangnya pengawasan, pengamanan dan penindakan,” kata dia. Sementara terkait aturan saat ini sudah cukup. “Kami tinggal melakukan atau melaksanakan peraturan tersebut, sudah sangat jelas sekali ketentuan bagaimana pembuangan limbah itu harus diikuti, mulai dari pengangkut juga sudah harus mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup, jadi artinya ini bukan pembuangan limbah (ilegal) itu melibatkan beberapa lembaga pemerintah,” katanya.
Mengantisipasi pencemaran di pesisir, terutama karena laut Batam cukup luas, Amir mengatakan, sangat perlu terus melakukan sinergitas dengan instansi terkait untuk melakukan pengawasan lebih, melakukan penegakan hukum, dan tentu saja melakukan evaluasi terhadap langkah-langkah yang akan ataupun yang sudah diambil.