Bomber Singapura Terpesona dengan Kebebasan di Batam

“Aku melihat bahwa grafiti di Indonesia lebih punya macam gaya. Sementara di Singapura, grafiti seoalah tidak punya identitasnya sendiri,” kata Boon Baked kepada Utopis, 17 September 2022. Boon Baked adalah satu dari lima bomber Singapura yang datang ke Batam untuk berpartisipasi dalam festival grafiti bertajuk King Royal Pride
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 

JIKA Kota Batam seumpama raksasa beton, maka grafiti cukup berhasil memawanginya. Para bomber di sini tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk berpesta cat semprot. Tembok-tembok dilukis tanpa mengorbankan estetika untuk kecepatan. Masyarakat mulai menikmati coretan di dinding, dan aparat tidak banyak mengganggu bila yang dilukis bukan isu sensitif secara politis. Kebebasan semacam ini membuat bomber-bomber dari Singapura terpesona dengan perkembangan seni jalanan (street art) di Batam.

 

“Aku melihat bahwa grafiti di Indonesia lebih punya macam gaya. Sementara di Singapura, grafiti seoalah tidak punya identitasnya sendiri,” kata Boon Baked kepada Utopis, 17 September 2022. Boon Baked adalah satu dari lima bomber Singapura yang datang ke Batam untuk berpartisipasi dalam festival grafiti bertajuk King Royal Pride di Komplek Green Town, Bengkong, Sabtu dan Minggu, 17-18 September 2022.

 

Boon Baked memahami kalau grafiti di Batam dapat berkembang pesat selain karena kebebasannya juga karena memadukan banyak gaya dan unsur. Para bomber tekun berlatih untuk menonjolkan sisi unik. Sementara mereka di Singapura, untuk mendapat medium menggambar saja kesulitan. Pemerintah sudah menentukan lokasi yang boleh dicoret. “Hari ini aku buat grafiti, minggu depan punyaku sudah ditimpa gambar orang lain. Karya kami tak bertahan lama,” katanya.

 

Pria yang menekuni street art sejak tahun 2010 ini mengatakan, grafiti Singapura tak lebih baik dari Indonesia karena mereka banyak mencontoh karya bomber-bomber ternama asal Amerika dan Eropa. Takada panutan di tanah airnya sendiri. Terancam di penjara pula kalau asal-asal memilih lokasi untuk menggambar.  “Keterbatasan media itulah yang akhirnya membatasi ekpresi pelaku street art di Singapura. Ya pilihannya berekspresi ke luar negeri, ke Batam salah satunya,” kata Boon Baked.

 

Dia mengatakan, salah satu cara mereka mengakali masalah peraturan yang ketat di negaranya adalah dengan membuat eksebisi galeri seni. Singapura memiliki banyak galeri seni yang memuat karya street art. Realita yang dia rasa cukup mengakomodir minat dan karya para bomber di Singapura.

 

Secara pribadi, dia mengganggap grafiti amat penting bagi kehidupannya. Hal itu tak lepas dari masa-masa kelamnya saat menjadi pecandu narkotika. “Menggambar grafiti membawa kebahagiaan tersendiri buatku, dan membuatku lepas dari banyak persoalan.”  Atas dasar itu, Boon Baked kemudian tidak terlalu memedulikan pandangan negatif orang lain atas karya grafitinya. Narasi grafiti sebagai sampah visual juga tak terlalu dia pusingkan. “Beda cerita kalau yang digambar justru alat kelamin, misalnya. Tentu salah, vandalisme itu. Jadinya, ya, sampah visual,” kata Boon Baked.

 

Festival grafiti di Batam kali ini dianggap sebagai bentuk kepedulian brand terhadap scene dan ekosistem grafiti di Indonesia. Paling tidak, itu yang disampaikan Rama Wardani, koordinator festival. Dia mengatakan, acara ini disponsori oleh Diton King, merek cat semprot asal Indonesia. Gelaran serupa serentak dilaksanakan di 67 kota di 18 provinsi di Indonesia. “Tema grafiti bebas, tidak dibatasi atau ditentukan. Jadi tiap artis bebas mau buat grafiti seperti apa,” katanya kepada Utopis.

 

Rama menuturkan, kegiatan serupa sudah rutin dilaksanakan di berbagai titik di Kota Batam dalam waktu tiga tahun belakangan. Hal itu menurutnya, jadi sinyal positif akan iklim street art yang mulai diminati dan diterima masyarakat. Mengenai respon negatif terhadap grafiti, dia menanggapinya dengan datar. “Biasa saja. Karena pandangan negatif bisa saja muncul karena kurangnya pengetahuan dan referensi. Grafiti, kan, banyak jenisnya, bukan cuma coret-coret di dinding saja.”

 

King Royal Pride, kata Rama, jadi satu dari sekian banyak kegiatan yang representatif menampung ide dan kreatifitas para bomber street art di Batam. Beruntungya, kata dia, street art kini telah mendapat pandangan positif dari masyarakat selaku pemilik dan pengguna jalanan. Hal itu bisa terlihat dari minimnya pengrusakan karya-karya grafiti di banyak tempat di Batam. “Tiap ada kegiatan skala kecil atau besar juga kami selalu minta izin sama yang punya tempat atau dinding, dan selalu diizinkan. Artinya gak ada penolakan,” kata Rama.

 

Bomber lokal, Damn 35 menyebut grafiti punya arti lebih bagi dirinya. Tiap guratan cat di dinding yang dibuatnya lebih dari sekadar coretan. Baginya aktivitas grafitinya menghasilkan hormon dopamin dalam jumlah besar. Alhasil, beban di kepalanya sedikit berkurang.

 

Menurutnya, grafiti adalah sebaik-baiknya medium menuangkan emosi. Meski pada akhirnya, tiap grafiti cenderung hanya dipahami oleh sang bomber itu sendiri. “Namanya juga seni, apalagi ini yang di jalanan. Pakem keilmuan seni sebenarnya bisa saja tidak terpakai, tetapi tetap saja ada aturan mainnya. Grafiti tak mengandung unsur SARA misalnya,” kata dia.

 

Dia mengaku, menekuni dunia street art sejak masih duduk di bangku madrasah negeri di Solo, Jawa Tengah. Minatnya pada grafiti bahkan dia tuangkan saat belajar mata pelajaran kaligrafi Arab. “Jadi lafadz Allah itu kubuat meliuk-liuk pakai gaya grafiti. Untungnya tak dimarahi guru sih, ha-ha-ha.”

 

Sementara, Room V, bomber lokal lainnya melihat perkembangan street art di Batam kian berkembang. Memang diakuinya, terdapat perbedaan yang cukup besar antara street art di Batam dengan di Pulau Jawa.

 

Meski begitu, perkembangan street art di Batam menurutnya sudah berada di jalur yang tepat. Hal itu, kata dia, terlihat dari eksistensi street art yang terus ada, bahkan di luar kegiatan besar seperti King Royal Pride kali ini. “Aku baru beberapa tahun berkecimpung di street art Batam, sebelumnya kan di Bandung zaman kuliah dulu. Poin utamanya, street art mah jalan saja. Apapun bentuk dan gayanya,” katanya.

 

Baginya, street art harus bebas karena seni jalanan sendiri lahir akibat aturan yang mengekang, serta ruang berekspresi yang kian menyempit.

 

Seolah mengamini perkataan Damn 35, dia menyebut bahwa sebenarnya tidak ada aturan tertulis mengenai street art. Namun, para bomber dinilai tetap harus bertanggung jawab terhadap seni yang digambar.  “Tujuannya biar tak jadi sampah visual juga. Lagian harga cat juga tak murah kan, ha-ha-ha. Urusan ada yang suka atau tidak belakangan, pun kalau dirusak ya tak masalah.”

 

Room V mengatakan, “Namanya juga street art, umumnya pakai fasilitas umum. Kalau dikritik atau bahkan dirusak, ya, harus terima. Ada aksi pasti ada reaksi.”

 

 

Berita Lain

Liputan Eksklusif

Utopis adalah media alternatif di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik. Kami berani karena benar.

© Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.