Ilustrasi LGBT. Foto: Restu Bumi.
PERINGATAN: Artikel ini mengandung adegan yang sulit dibayangkan. Kami tidak menyarankan Anda membacanya secara terburu-buru.
SUATU malam di bulan Desember tahun 2017, seorang pemuda yang tertidur tiba-tiba dibangunkan sebuah pertanyaan.
“Heh, bangun! Ini kamu habis nonton apa?” kata seorang perempuan yang berbaring di sampingnya seraya mendekatkan layar ponsel.
Rudi (bukan nama sebenarnya) perlahan membuka mata. Dalam keadaan separuh sadar, ia melihat daftar riwayat penelusuran web dari film-film porno sesama jenis yang sebelumnya ia tonton.
Pemuda usia 25 tahun itu segera menyadari apa yang terjadi. Namun, belum sempat ia memikirkan sebuah alasan, pacarnya sudah kembali mencecarnya.
“Kamu gay, ya? Oh, pantesan diajak main [berhubungan seks] susah.”
Suasana seketika hening.
Rudi pura-pura mengantuk dan buru-buru merebut ponselnya dari genggaman sang pacar. Demi meredakan situasi ia menawarkan peluk. “Cuma iseng. Sudah, ayo tidur,” kata Rudi, yang kemudian dibalas oleh pacarnya: “Kamu sakit!”
***
PERCAKAPAN itu selalu teringat jelas dalam ingatan Rudi, terutama saat-saat ia menahan hasrat sesama jenisnya. Sekarang, sudah lima tahun berlalu. Akhir-akhir ini, Rudi mencoba untuk sembuh. Ia mulai mempersiapkan pernikahan. Calon istrinya masih perempuan yang sama, adalah orang yang pernah menyadari rahasia besarnya.
Namun, meski rahasia itu masih miliknya, belakangan ada dahanam yang terasa menggangu batin. Pertanyaan-pertanyaan berseliweran di kepala. Ada semacam rasa bersalah bercampur takut. Ia terus-terusan merasa gagal menjadi laki-laki.
“Aku sering bicara di depan kaca meremehkan diri, ‘Sampai kapan aib ini bisa kusimpan? Siapa bilang aku tak lagi kelainan?'”
Sebelum melanjutkan perkataannya, Rudi menghela napas. Ia meraih gelas di meja, kemudian menenggak habis isinya.
“Kisahku boleh ditulis,” kata Rudi menjawab keinginan saya melakukan wawancara. “Kupikir bila suatu hari pacarku, keluargaku, mengetahui rahasiaku, atau kemungkinan buruknya mereka memergokiku, aku bisa menyuruh mereka membaca tentangku. Aku harap mereka tidak salah sangka, dapat memahamiku dengan cara yang berbeda.”
Saya sudah cukup lama mengenal sosok Rudi. Kami pertama kali bertemu di sebuah tempat hiburan malam di Kota Batam, Kepulauan Riau, pada tahun 2018 lalu. Kami beberapa kali bertukar cerita, tetapi pada Minggu malam, 8 Mei 2022, itu adalah kali pertama saya mengetahui sisi lain dari Rudi. Percakapan kami soal Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil Mahardika, seorang gay, ke dalam podcast-nya membuat Rudi membuka tirai penyekat yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
“Tetapi identitasku tetap dirahasikan,” katanya. Ia masih sulit membayangkan reaksi keluarganya apabila mengetahui dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda. Ketakutannya berakar karena tidak siap menjadi bahan tertawaan yang datang justru dari orang-orang terdekat.
Rudi berkulit agak gelap dengan bobot yang takbisa disebut langsing. Rahangnya persegi, cara bicaranya cukup bersahaja. Malam itu, ia mengenakan kemeja katun bermotif kotak-kotak dipadu dengan celana jin. Dari luar, Rudi sepenuhnya terlihat seperti pria tulen. Ia bekerja sebagai teknisi di salah satu perusahaan Minyak dan Gas di Batam. Mungkin cuma dua hal yang bisa mengidentifikasi bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis: pengakuannya dan keramahannya kepada pria. Untuk alasan kedua, baru bisa disadari ketika Anda sudah mendengar pengakuan Rudi.
Kisah Rudi menyukai laki-laki dimulai sejak ia berusia 12 tahun. Ia merasa ditularkan oleh teman kecilnya, yang memang di lingkungan tempat tinggalnya dulu dianggap terlalu feminim untuk ukuran seorang bocah laki-laki. “Tidak berpacaran, namanya masih kecil, ya, belum ke arah situ. Tetapi waktu itu kami sering menirukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Seperti ciuman atau berpelukan sambil tidur,” katanya.
Kemiskinan yang mengantarkan Rudi berkenalan dengan temannya itu. Ayah Rudi adalah seorang buruh bangunan yang berselingkuh dan meninggalkan ibu Rudi. Ibunya Rudi bekerja sebagai pembantu dari rumah ke rumah, yang salah satu majikannya adalah teman Rudi. Keduanya tinggal di satu kompleks yang sama. “Tapi tidak dekat awalnya. Baru dekat pas mamakku nyuci di sana. Nah, dia ini orang kaya lah ceritanya. Ada PlayStation di kamarnya. Ada CD juga. Sering main gim atau nonton lah kami. Kemudian terjadi. Dia yang mulai duluan,” katanya.
Pengalaman itulah yang membuat Rudi menganggap perilaku homokseksualnya sebagai penyakit, yang bisa menular. Meskipun World Health Organization (WHO) telah menghapus homokseksual dari klasifikasi penyakit sejak tahun 1999. Termasuk ketika penelitian menyebut secara biologis dan psikologis menunjukkan bahwa orientasi seksual adalah bagian dari intristik dan kakteristik pribadi manusia.
“Kalau kami tidak kenal, mungkin tidak terjadi, kan?” kata Rudi.
Saking seringnya melakukan hubungan seksual meskipun tanpa penetrasi dan ejakulasi ternyata membuat Rudi ketagihan. Puncaknya ketika usia 13 tahun ia pindah dari kompleks tersebut dan tak bertemu lagi dengan temannya. Rudi yang kembali pada kehidupan normal mengalami pubertas. Ia mengalami mimpi basah atau ejakulasi saat tidur. Mimpi erotis pertamanya adalah bersama seorang pria.
Kondisi itu membuat Rudi mengalami konflik batin yang luar biasa. Mulanya ia menyangkal sebagai penyuka sesama jenis dan menganggap itu hanya kenakalan kanak-kanak. Di lingkungan yang baru, seperti remaja umumnya, ia juga sempat jatuh cinta terhadap seorang perempuan. Akan tetapi, dalam kegiatan seksualnya, ia selalu membayangkan pria.
“Rasanya itu seperti kamu mencintai wanita, tetapi juga merindukan hubungan seks bersama pria,” katanya.
Pada akhirnya ia mencari teman pria baru. Mendapatkannya tidak sulit, terutama bila temannya itu usianya lebih muda darinya. “Mungkin karena anak-anak rasa penasarannya tinggi, ya,” kata Rudi.
Setelah dengan teman lamanya itu, ia sampai tiga kali bergonta-ganti pasangan sesama jenis hingga umurnya masuk usia 18-19 tahun. Bersama tiga pria inilah Rudi baru mulai melakukan hubungan seks secara ekstrem. Mereka keranjingan. Berpenetrasi selayaknya pria dan wanita dewasa.
“Biasanya aku yang melakukan [penetrasi], tetapi beberapa kali kan, juga gantian. Rasanya itu seperti pinggang mau terbelah,” katanya.
Rudi mengatakan, terhadap teman-teman sejenisnya itu ia tidak memiliki rasa. Hanya sekadar ingin melakukan dan melampiaskan kebutuhan. “Intinya tidak sampai berpacaran lah. Berpacaran dan jatuh cinta malahan sama perempuan,” katanya.
Hingga sekarang Rudi tak memahami persis soal identitas gendernya. Namun, untuk ekspresi gender ia merasa tetap adalah seorang laki-laki. Penampilan fisiknya juga maskulin. Untuk identitas ia hanya mengindentifikasi diri sebagai seorang biseksual.
Perlu diketahui dulu bahwa jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin adalah ciri biologis saat baru lahir yang dikenal sebagai laki-laki dan perempuan. Sementara gender adalah identitas sosial seseorang terlepas dari apa pun jenis kelaminnya. Untuk memahami siapa saja yang termasuk LGBT, bisa dimulai dengan memahami apa itu orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik seks atau sexual orientation, gender identity, expression, and sex characteristics (SOGIESC).
Kebingungan akan identitasnya itu juga karena Rudi tumbuh tanpa mengenal komunitas LGBT, adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual, dan transgender”. Istilah yang digunakan untuk menggantikan frasa “komunitas gay”–Sekarang disebut LGBTQ+ , yang menambahkan queer, dan lain-lain. Tanda “plus” mewakili identitas seksual lainnya–. Oleh karenanya, ia minim mendapat pengetahuan dan edukasi mengenai orientasi seksualnya, kecuali dari internet.
Alasannya enggan bersentuhan dengan komunitas semacam itu juga karena ia tipikal orang yang tidak terbuka. Semata tak siap mendengar komentar dari para homofobik kaum hetero bila tahu ia menjadi bagian dalam komunitas. Ia beberapa kali pernah ingin berkonsultasi ke dokter, tetapi itu batal dia lakukan. Alasannya, karena malu.
Sememangnya di dunia, termasuk Indonesia, kaum LGBT sering mendapat perlakuan diskriminatif. Disadari atau tidak keberadaan kaum LGBT yang dianggap tidak sesuai dengan norma gender, membuat mereka berisiko tinggi mengalami kekerasan baik secara verbal ataupun fisik. Saya punya pengalaman pribadi menyaksikan perundungan semacam itu. Melihat sendiri bagaimana seorang transpuan dipukul dan ditelanjangi oleh sekelompok geng motor. Pelakunya adalah puluhan remaja. Kejadiannya di Pekanbaru, Riau, sekitar tahun 2013.
Akan tetapi, kiwari ini di Kota Batam, keberadaan kaum LGBT tidak semengenaskan dulu. Mereka mulai menyatu dengan kehidupan gemerlapnya dunia remaja. Bahkan di beberapa tempat hiburan malam, panggung untuk model-model transpuan disediakan. Namun, satu hal yang takbisa hilang, yaitu ketika kaum hetero menjadikan mereka sebagai lelucon. Dengan cara berbisik-bisik atau menatap aneh.
“Bila Anda lesbian, orang-orang tidak terlalu masalah dengan itu. Tetapi coba terhadap gay, biseksual, atau waria. Masih berani mendekat tidak? Merendahkan itu, kan, bukan cuma lewat kata-kata, melalui pandangan juga terasa,” kata Rudi. “Itu kenapa aku jarang membicarakannya. Padahal kurasa ada juga, kan, orang sepertiku yang ingin Kembali normal. Tetapi lingkungan sudah menolak dan tidak memberi kesempatan. Kita lebih dulu takut dan malu.”
***
RUDI pada usia 20 tahun barulah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Ia menyebutnya “mulai merasakan jatuh cinta”. Perempuan-perempuan yang menjadi pacarnya inilah yang ikut membantu proses penyembuhan Rudi–bila orientasi seksualnya bisa dianggap penyakit—meskipun tidak secara langsung. Rudi mulai menahan hasrat seksual sesama jenisnya, tetapi sulit.
Kesulitan itu sedikit terbantu oleh keberadaan pacarnya karena mereka memutuskan tinggal satu rumah meskipun belum menikah. Ruang geraknya otomatis menjadi terbatas karena sering bersama. Rudi juga tak ingin pacarnya tahu kalau ia juga adalah seorang penyuka sesama jenis.
Namun, karena sering bersama dan kesulitan mencari teman pria, Rudi menyalurkan kebutuhannya dengan cara yang buruk. Ia mulai sering menonton film porno sesama jenis. Bila sudah tidak dapat menahan, ia akan mencari jasa transpuan. Perilaku buruk ini mengantarkan Rudi ke masalah lain.
Mulanya ia hanya dengan mendatangi lokalisasi atau tempat hiburan malam, belakangan kebutuhannya dapat tersalur lebih mudah karena ia cukup mencari jasa transpuan di aplikasi MiChat. “Harganya cuma Rp100 sampai Rp300 ribu.” katanya.
Berjalannya waktu, Rudi memang mengaku sudah tak berselera lagi berhubungan dengan kaum homoseksual yang ekspresi gendernya seperti pria. Itu ia rasakan ketika usianya masuk kepala dua dan memiliki kekasih berjenis kelamin perempuan. Namun, ia mengaku mendapat ketertarikan baru terhadap transpuan.
Keinginannya itu pernah ia tahan dan coba dilampiaskan kepada pacar. Namun, menurutnya ia seakan tiada puas. Dalam situasi itu, ia menggambarkan, ketika menahan kemudian terus membayangkan berhubungan bersama transpuan sekujur tubuhnya terasa ngilu, seperti mendengar orang sedang mengikir.
Ia sadar bahwa yang ia lakukan dengan mencari jasa pemuas adalah sebuah kesalahan. Alasan pertama, karena ia tahu itu akan menyakiti orang-orang terdekatnya bila ia tepergok. Kedua, ia berpotensi terkena penyakit seksual menular karena sering bergonta-ganti pasangan. Ketiga, agamanya mengutuk perbuatan semacam itu.
Namun, berhenti dari kebiasaan juga tidak mudah. Perselisihan hebat antar- dua hasratnya sering muncul tanpa sanggup ia bendung. Di hatinya, rasa lelah dan amarah bercampur. Ia ingin hidup normal, tetapi juga merasa bingung. Ia sudah capek malam-malam menyelinap keluar dari rumah.
Rudi mungkin terus berupaya sebisa mungkin untuk kembali ke jalan yang ia anggap benar. Tetapi penyangkalan tanpa penanganan profesional juga dapat berujung pada penyakit mental. Penelitian Oxford Academic menyebutkan kelompok LGBT lebih umum mengalami gangguan depresi, kecemasan, hingga trauma. Angka percobaan bunuh diri yang dilakukan kelompok ini juga lebih tinggi.
Makin berbahaya ketika Rudi menahan diri tidak bercokol dengan psikolog atau berbicara dengan komunitas dan orang yang mempunyai masalah yang sama. Ia menyimpan rahasianya sendiri, tanpa teman yang bisa saling menguatkan, yang saling membantu keluar dari kebingungan orientasi seksualnya.
***
PSIKOLOG Neni Andriani mengatakan, jika dilihat dari konten ketertarikan Rudi, secara teoritis, individu yang punya ketertarikan dengan sesama jenis, kerap disebut dengan homoseksual. Bagi mereka yang berasal dari perempuan disebut dengan lesbian. Dan kalau laki-laki biasa disebut dengan gay.
Sebelum masuk ke penjelasan lebih lanjut dari Dosen di Fakultas Pskiologi Universitas Putra Indonesia “YPTK” Padang ini, pembaca perlu memahami dulu kalau orientasi seksual orang LGBT terbagi pada lesbian (perempuan yang tertarik secara seksual/ romantis/ emosional pada perempuan), gay (laki-laki yang tertarik secara seksual/ romantis/ emosional pada laki-laki), biseksual (tertarik pada laki-laki dan perempuan), panseksual (tertarik pada individu, tanpa memandang jenis kelamin), dan aseksual (tidak tertarik secara seksual pada siapapun).
Sepengalamannya Neni melayani kasus homoseksual, perlu waktu lama hingga mereka sendiri bisa mengambil keputusan dan berkomitmen dalam pernikahan dengan lawan jenisnya. Jadi, kalaupun sekarang Rudi merencanakan menikah dan masih memiliki ketertarikan dengan sesama jenis, itu umum dihadapi oleh kelompok LGBT.
“Perlu melihat lebih jauh. Apakah pernikahan diinginkan oleh individu yang bersangkutan atau karena memang ada desakan dari keluarga. Karena biasanya kaum homoseksual tidak dengan mudah begitu saja mau berkomitmen dalam sebuah pernikahan dengan lawan jenisnya,” kata Neni saat dihubungi Utopis, 11 April 2022. Pada kasus Rudi, ia memutuskan menikah setelah berpacaran sekitar 10 tahun. Itupun masih rencana.
Menangani orang-orang yang ingin berubah seperti Rudi, seorang psikolog biasanya melihat dulu apa yang membentuk ketertarikan sesksual sesama jenisnya. Apakah ada konflik internal berkaitan dengan trauma masa lalu atau luka batin yang belum sembuh. Atau pola pengasuhan keliru orangtua atau pola perlakuan yang keliru dari lingkungan.
Bila Rudi mengatakan mengalami pengalaman homoseksual pertama kali pada usia 12 tahun, menurut Neni, ini adalah waktu yang pas ketika seseorang mulai memasuki usia pubertas. Pada masa ini hormon secara primer maupun sekunder dari segi seksualitas mulai terbentuk.
“Nah, umumnya kami para psikolog tidak serta merta memberikan diagnosa kepada klien tanpa ada pemeriksaan psikologis lebih lanjut. Jadi, ada penilaian lebih dulu. Dari penilaian itu dia bisa terlihat apakah benar memiliki gangguan psikologis tertentu seperti homoseksual,” kata Neni.
Pendampingan psikolog perlu agar kelompok LGBT bisa mendapat jawaban untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Seperti masalah baru yang dialami Rudi, yang beralih tertarik kepada transpuan, yang konteksnya masih tetap sejenis meskipun secara fisik perempuan.
Perihal peralihan ketertarikan Rudi terhadap transpuan, Neni mengatakan, “Mungkin ada kecenderungan atau dorongan terhadap penyimpangan seksualitas. Saya tidak tahu apakah ketertarikan ini hanya secara fisik, atau pengaruh sex appeal atau ketertarikan secara seksual ketika menjalin hubungan dengan transpuan tadi.”
Secara pribadi, Neni melihat homoseksualitas adalah sebuah masalah, sebuah problem atau konflik yang dialami individu. Boleh dibilang ini semacam “ilusi” kenyamanan yang datang ketika seseorang menghayati pengalaman hidup mereka sebagai seorang lesbian atau gay.
Kesimpulan itu diambil Neni karena mendengar cerita-cerita dari kliennya. Tentu dilihat juga alas an kenapa banyak kelompok LGBT yang mendatangi psikolog. “Berarti mereka merasa ini sudah ada yang keliru dalam kehidupan mereka. Ada yang salah sehingga membutuhkan bantuan psiokolog. Kehadiran kami, membantu mereka mencari solusi, membantu mereka bisa lepas dari konflik yang tercipta tadi,” katanya.
Tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa LGBT tidak bisa disembuhkan. Neni mengatakan beberapa pasiennya ada yang bisa keluar dari permasalahan orientasi seksualnya dengan menikah dan memiliki kehidupan normal. Meskipun jumlahnya tidak banyak.
Mereka yang tidak sembuh meskipun sudah konsultasi ke psikolog umumnya karena sejak awal merasa tidak ada masalah pada dirinya. Mereka tidak seperti Rudi, yang sedari lama menganggap orientasi seksualnya adalah sebuah kesalahan.
“Bukan tidak ada yang datang ke psikolog. Banyak. Maupun datang ke psikiater. Mereka menyadari ada yang keliru, apalagi konsep normal itu masih dominan, ya, dalam kehidupan mereka. Nilai agama yang dianut masih dominan, dukungan atau support system-nya juga cukup kuat, dan circle friend-nya juga cukup kuat untuk mereka bangkit. Why not? Ini bisa diubah,” katanya.
Neni menjelaskan, WHO, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), American Psychiatric Association (APA) telah menghapus homoseksual dari penyakit mental dan gangguan jiwa. Untuk transeksual dimasukkan dalam kelompok gender disforia disorder, atau lebih kepada gangguan identias gender.
Gangguan identitas gender ini masuk dalam kelompok gangguan mental. Terjadi karena ada sebuah kelainan secara biologis dan psikologis yang dialami. Kelainan secara biologis itu bisa dibuktikan ketika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kromosom. Embrio dengan kromosom XY akan menjadi seorang bayi lelaki dan kromosom XX akan membentuk bayi perempuan. Untuk transeksual memiliki kromosom double XY.
Kemudian secara psikologis, para transeksual ini merasa terjebak dalam tubuh yang salah. Mereka memiliki naluri perempuan, tetapi memiliki tubuh laki-laki. Untuk menyatakan mereka memiliki disforia gender disorder tadi perlu pemeriksaan lebih jauh lagi. “Jadi, tidak serta merta mengatakan ini gangguan jiwa,” kata Neni.
Menurut National Health Service, tidak diketahui persis seberapa banyak orang yang mengalami disforia gender. Pasalnya, banyak orang yang mengalami kondisi ini tidak pernah dan/atau bisa mencari bantuan. Sementara Menurut buku panduan psikiatri Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), bagi seseorang untuk dapat didiagnosis dengan gender disforia, harus ada perbedaan yang nyata antara gender yang ia sendiri yakini dan gender yang dipersepsikan orang lain.
***
“AKU MALU ….” kata Rudi. Saya memusatkan penuh perhatian kepadanya. Luapan memori lima tahun lalu ketika pacarnya, Tia (bukan nama sebenarnya) yang hampir mengetahui orientasi seksualnya masih ia ingat. “Takbisa kubayangkan akan seperti apa bila dia tahu, orang-orang tahu, atau aku terkena razia ketika melakukan itu,” katanya.
Sambil memantik sebatang rokok ia menjelaskan kepada saya tentang hubungannya dengan pacarnya.
Perempuan itu usianya sepantaran dengan Rudi. Sekarang memasuki usia 30 tahun. Keduanya sudah saling mengenal sejak masih di sekolah menengah atas. Tapi baru mulai menjalin hubungan ketika sudah lulus sekolah. Berawal dari reuni, kemudia memadu kasih.
Dalam perjalanan hidupnya, perempuan ini adalah yang paling berharga. Hal-hal sederhana membuat rasa sayangnya takcukup untuk digambarkan. “Lebih ke sayang, bukan seks lagi,” katanya. Perempuan ini jugalah yang menurutnya membuat berpikir untuk keluar dari hubungan sesama jenis.
Perasaan kuat tumbuh di hati Rudi justru karena kekecewaan kecil, kesalahpahaman, dan keangkuhan satu sama lain. Hubungan mereka bertahan lama. Sekarang hampir 10 tahun. Ada kerinduan ketika berjauhan. Ada sedih ketika saling menyakiti.
Namun, yang paling ia sesalkan dan ditakuti pula adalah soal sesekali hasrat seksual sesama jenisnya muncul. Apalagi ketika ia merasa tidak puas dan bosan. Menurut Rudi, ketika dalam pengaruh alkohol atau sedang mengonsumsi narkoba, ia bisa terus-terusan kepikiran untuk mencari kepuasan seks yang lebih.
Setelah segela penyesalan dan rasa malu mengendap, sudah satu tahun ini ia menjauhi kebiasaan buruk semacam itu. Ia merasa teramat lelah menyimpan rahasia yang ia sendiri takut akan apa yang terjadi oleh karenanya.
Sebelum menyudahi obrolan, Rudi menyebutkan keinginan paling personalnya. Yang dia anggap bisa membawa ia ke jalan yang lebih baik. Keinginan ini pula yang selalu ia lafalkan setiap kali ia mengingat Tuhan.
“Aku ingin hidup normal, menikah, dan memiliki keturunan.”