Daftar isi
“Terima kasih atas infonya” mungkin adalah respons kesopanan yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi “tidak tahu” adalah jawaban terbaik untuk mengaku bersalah.
Itulah jawaban yang kami terima ketika bertanya kepada otoritas pengawas Batam mengenai transfer limbah B3 ilegal di perairan Batuampar. Selama lebih dari dua minggu, ribuan ton limbah beracun dan berbahaya (B3) dibuang dari kapal asing. Apakah benar tidak ada yang tahu?
Yang lebih mengkhawatirkan, meski diberi tahu, pihak berwenang tampaknya memilih tidak peduli. Seolah-olah hukum lingkungan dan kedaulatan tiada arti. Pertanyaan pun muncul: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengawasi perairan kita?
Transfer Limbah B3 Ilegal di Batam
Residu bahan bakar yang dibuang tersebut serupa dengan limbah yang mencemari pesisir ketika angin musim utara tiba. Limbah ini diturunkan dari kapal berbendera Panama bernama Cawthorne di perairan Batuampar, dan ditampung oleh tongkang Prosper Log dan tugboat An Yang. Kedua armada Yuantai Holdings ini status bendera Indonesia-nya sedang diselidiki.
PT. Fajar Putra Baskara adalah kontraktor yang bertanggung jawab atas pencucian tangki kapal Cawthorne. Tahun lalu, perusahaan ini terlibat dalam dua kasus lingkungan besar, yakni impor limbah B3 melalui kapal MT Blue Sky I, dan pencemaran oleh kapal Iran MT Arman 114.
Di atas kertas, limbah seharusnya berlabuh di BSSTEC (anak perusahaan Yuantai). Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Jejak Prosper Log dan An Yang raib bak ditelan bumi, menyisakan tanda tanya besar: kemanakah limbah itu sebenarnya mengalir?
Pemindahan limbah Cawthorne (IMO 9290347) berlangsung antara 18 Agustus hingga September 2024. Selama itu, tongkang dan kapal tunda berlabuh di sisi selatan kapal. Dimensi tanker yang besar (330 x 60 meter) menyembunyikan aktivitas ilegal ini dari lalu lintas kapal-kapal kecil. Transfer tanpa izin ini terjadi di kolam bandar yang konon, katanya, diawasi ketat.
Ketidaktahuan atau keterlibatan? Ini menjadi tanda tanya besar, terutama ketika semua aktivitas berlangsung di bawah hidung otoritas pengawas pelabuhan. Yang mencurigakan, hanya Prosper Log 1 yang terpantau mematikan AIS (semacam pelacak kapal), sementara kapal penariknya tidak.
Anehnya, petugas Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam, yang sejak 15 September ditugasi mengawasi kegiatan pencucian tangki –berdasarkan surat tugas–, tidak curiga dengan keberadaan An Yang, bahkan saat ia bekerja dari rumah.
Kasus ini, menunjukkan kelemahan serius dalam sistem pengawasan maritim Indonesia.
Angeline 02: Tumbal dalam Kasus Pembuangan Limbah?
Seorang petugas memberikan informasi penting mengenai catatan dalam sistem KSOP. Fakta yang ia ungkap menambah lapisan baru dalam laporan mendalam kami.
Petugas syahbandar yang identitasnya kami rahasiakan ini memberitahu bahwa hanya kapal Angeline 02 yang tercatat dalam sistem sebagai pengangkut limbah dari kapal Cawthrone. Nama Prosper Log dan An Yang tidak muncul dalam catatan resmi. Menurut sistem, Angeline 02 mengangkut 400 ton limbah, jauh lebih sedikit dari informasi yang kami peroleh dari pekerja. Mereka menyatakan bahwa proses transfer Angeline 02 selama empat hari menyedot lebih dari 800 ton limbah.
Angeline 02 adalah kapal tanker, dirancang untuk cairan. Tank cleaning menghasilkan slop (limbah cair) dan sludge (limbah padat). Bagaimana bisa kapal yang didesain untuk cairan mengangkut limbah padat tanpa menimbulkan kecurigaan? Ketidaksesuaian ini menunjukkan adanya upaya pelanggaran yang disengaja.
Dokumen resmi (SPOG) mencatat bahwa Angeline 02 bergerak dari TERSUS Jagad Energy II (anak perusahaan Yuantai Holdings) ke perairan Batuampar pada 11 September 2024.
Pengoperasiannya dilakukan oleh PT DIV Samudra Abadi. Angeline 02 diduga digunakan sebagai ‘tumbal’ karena kapal-kapal lain, seperti Prosper Log dan An Yang, tidak memiliki sertifikat yang diwajibkan untuk mengangkut limbah.
Irvan dari DIV Samudra Abadi, perusahaan lokal yang mengoperasikan Prosper Log 1 dan An Yang, ketika dihubungi pada 12 September, membantah melakukan aktivitas ilegal. Menurut dia, seluruh kekurangan dokumen “sudah diamankan”.
Namun, satu pernyataannya –yang nampaknya adalah keceplosan— menambah dimensi baru yang perlu diperhatikan. Dia mengonfirmasi bahwa kedua kapal tersebut belum mendapat persetujuan impor dan membayar bea masuk. “Kapal yang sedang berganti bendera itu boleh bekerja, siapa yang bilang tidak boleh?” kata Irvan.
Ketika ditanya apakah persetujuan impor terkendala batas usia, dia langsung menyudahi wawancara.
Sememangnya temuan pengangkutan limbah B3 secara ilegal hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar, yaitu pelanggaran kedaulatan melalui asas cabotage, sebuah prinsip yang memberikan hak eksklusif kepada kapal nasional untuk melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri. Prinsip ini diatur dalam UU No. 17/2008 dan PP No. 20/2010 (beserta perubahannya).
Kapal-kapal Yuantai Holdings di Batam memang telah menjadi duri dalam daging bagi penegakan hukum maritim. Dalam dokumen yang dirilis 31 Mei 2022, KSOP mencatat 13 kapal tua mereka tidak layak beroperasi di perairan Indonesia, termasuk An Yang dan Prosper Log. Kapal-kapal ini, melampaui batas usia impor, tidak memenuhi standar keselamatan. Beberapa kapal, seperti An Yang, bahkan tidak memiliki groose akta atau bukti kepemilikan yang sah.
Pernyataan Irvan adalah kunci untuk membuka kotak pandora pelanggaran hukum maritim yang lebih serius. Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang diuntungkan dari semua ini? Follow the money, kata mereka. Dan semua ‘jejak uang’ mengarah pada satu nama: Yuantai Holdings.
‘Jejak Uang’ Yuantai Holdings: Dari Singapura ke Batam
Yuantai Holdings Pte Ltd adalah perusahaan Singapura, yang terlibat aktivitas ilegal di Indonesia sejak 2020. Mereka mengeksploitasi regulasi untuk mengimpor kapal bekas melebihi batas usia, mengabaikan kedaulatan, dan melakukan transfer ilegal.
Korporasi ini datang ke Batam dengan mengumbar janji menggelontorkan dana sebesar USD 2 miliar, setara Rp29 triliun. Operasi mereka di Batam diwakilkan oleh empat entitas, antara lain:
- PT. Jagad Energy: Holding dengan izin distribusi, penyimpanan, dan perdagangan minyak dan gas bumi.
- PT. Pelayaran Melati Samudera: BUP dengan KSO dengan BP Batam untuk mengoperasikan Area Lego Jangkar di Perairan Batu Ampar Batam.
- PT. Jaticatur Niaga Trans: Pelayaran yang mengelola seluruh aset dan operasional kapal-kapal pendukung kegiatan alih muat kapal di area lego perairan Batu Ampar.
- PT. Batam Slop and Sludge Treatment Centre (BSSTEC): Fasilitas yang memiliki izin pengolahan limbah terintegrasi.
Dua tahun lalu, Kepala KSOP Batam, Revolindo, memimpin operasi penertiban besar-besaran terhadap kapal-kapal perusahaan ini. Meskipun Yuantai berusaha berlindung di balik tameng investasi, dokumen resmi KSOP mengungkap dugaan pelanggaran serius oleh anak perusahaannya, PT Jaticatur Niaga Trans.
Pelanggaran tersebut mencakup operasi ilegal, kapal-kapal yang bergerak tanpa jejak laporan, penggunaan kapal berbendera asing secara ilegal, dan pengoperasian kapal-kapal tua yang mengabaikan standar keselamatan. Selain itu, mereka juga melakukan penundaan kapal dan transfer kapal-ke-kapal (STS) secara ilegal.
Dalam dokumen resminya, KSOP menduga praktik ilegal mereka periode 2020 – 2022, berpotensi merugikan negara hingga Rp100 miliar berdasarkan data kapal yang tidak dilaporkan.
Ketika Pengawas ‘Buta’ dan Hukum ‘Tumpul’
Rp100 miliar – harga yang harus dibayar atas kedaulatan yang terabaikan. Pengawasan yang lemah dan dugaan manipulasi data telah menciptakan lahan subur bagi praktik ilegal. Kapal-kapal tua milik korporasi bermasalah itu kini bebas berkeliaran, membuang limbah B3 tanpa rasa bersalah.
Pihak berwenang tampaknya ingin peristiwa besar ini tetap menjadi misteri. Sejak 29 Agustus 2024, kami telah mengajukan permintaan wawancara kepada seluruh instansi pengawas terkait kasus ini. Taraa! Hanya beberapa yang merespons.
Namun demikian, seorang pejabat tinggi, meskipun menolak wawancara, memberikan petunjuk penting mengenai modus operandi pelaku dan perusahaan yang diduga terlibat.
Kami mencoba menghubungi Kepala KSOP Batam, Heru Susanto, pada 1 September. Heru Susanto semula merespons secara positif. Ia mengucapkan, “Terima kasih atas infonya,” dan menambahkan bahwa ia akan mengirimkan jawaban lebih lanjut setelah berkoordinasi dengan manajemen. Namun, hingga kini, janji tersebut belum terealisasi, seakan ada tembok tebal yang menghalangi akses informasi.
Sebelum bertanya kepada Heru Susanto, tim liputan kami sudah lebih dulu mendapat penjelasan dari Yusirwan Nasution, Kepala Bidang Penegakan Hukum yang paling tidak memberikan informasi lebih banyak ketimbang pejabat lain. Namun, sejumlah inkonsistensi dalam penjelasannya memicu lebih banyak pertanyaan, seperti ketika mengaku “tidak tahu” soal transfer ilegal ini. Pertanyaannya kemudian: mengapa tidak mengambil tindakan setelah diberitahu?
“Tidak Tahu” atau “Tidak Mau Tahu”? Inkonsistensi Penjelasan Otoritas
Pernyataan bahwa pengawasan bergantung pada data Inaportnet bertentangan dengan reputasi KSOP Batam di bawah Revolindo, yang dikenal tegas terhadap Yuantai Holdings. Klaim Yusirwan tentang penggantian bendera kapal juga dipertanyakan, karena dokumen resmi KSOP Batam mencantumkan syarat penggantian bendera berdasarkan batas usia impor dari Kementerian Perdagangan.
Koordinasi antarinstansi juga menjadi masalah. Yusirwan menyatakan bahwa semua laporan limbah B3 dilaporkan ke sistem online KLHK. Namun, pernyataannya bahwa KLHK tidak perlu lagi terlibat jika perusahaan sudah terdaftar menimbulkan kekhawatiran, mengingat lemahnya pengawasan di lapangan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memberikan keterangan resmi. Namun, Sunardi, perwakilannya di Batam, ketika dihubungi pada 14 September mengatakan bahwa manifest limbah B3 dari kegiatan kapal-kapal itu takada yang dilaporkan ke pihaknya. “Saya baru tahu [kasus itu], sekarang lagi di Pekanbaru,” katanya.
Pelanggaran Terbuka
Keterangan pejabat di atas membuka tabir dugaan pelanggaran serius. Kapal Prosper Log 1 dan An Yang diduga mengangkut limbah B3 tanpa izin lengkap, bahkan mematikan AIS selama operasi, melanggar aturan internasional. An Yang juga beroperasi dengan legalitas dipertanyakan, berbendera Indonesia tanpa bukti sah dan belum membayar bea masuk.
Kami berupaya bertanya kepada Direktur Kesatuan Penjagaan Laut Dan Pantai, Jon Kenedi, untuk mendapatkan perspektif lebih mendalam tentang kasus ini. Untuk langkah awal, dia meminta data kapal-kapal tersebut dan berjanji akan menelusurinya.
Perlu diingat bahwa kapal-kapal Yuantai Holdings sebelumnya, yang telah ditertibkan oleh KSOP, terpaksa beroperasi di bawah bayang-bayang ilegalitas. Selain karena masalah kelaiklautan, status bendera juga menjadi batu sandungan. Indonesia, seperti banyak negara lain, menganut asas cabotage. Prinsip hukum ini mewajibkan penggunaan kapal-kapal berbendera nasional untuk angkutan laut di perairan domestik.
Untuk beroperasi secara legal, kapal-kapal Yuantai Holdings di Batam harus mengibarkan bendera Indonesia. Namun, proses pergantian bendera yang mereka ajukan tertahan bertahun-tahun karena melanggar aturan impor, khususnya terkait batas usia kapal. Kapal-kapal seperti Prosper Log dan An Yang, berusia 15 dan 30 tahun saat diimpor, jelas melebihi batas usia 15 tahun yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan.
Kami menghubungi Direktur BP Laut, Dendi Gustinandar, untuk mendapatkan catatan pergerakan Prosper Log dan An Yang. Dendi hanya mengucapkan “terima kasih” tanpa menjawab pertanyaan utama.
Sebelum menghubungi Dendi, kami telah lebih dulu menghubungi Rully Syahrizal, Kasubdit Perdagangan, Direktorat Pelayanan Lalu Lintas Barang dan Penanaman Modal. Kami mengajukan pertanyaan terkait pergerakan kapal, status bendera, potensi kerugian negara, prosedur impor, serta penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran tersebut. Namun, dia mengarahkan kami untuk menghubungi Humas BP Batam.
Sementara Ariastuty Sirait, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, berjanji akan menanggapi pertanyaan kami terkait status bendera pada 6 September, tapi hingga saat ini masih sebatas janji belaka.
Informasi dari aparat penegak hukum mengenai status bendera Prosper Log 1 dan An Yang yang masih tercatat sebagai kapal asing di sistem Bea Cukai mendorong kami untuk menghubungi Kepala Bidang P2 dan Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Batam. Namun, mereka diam. Mereka bungkam. Mereka tak merespons.
“Terima Kasih” Tidak Cukup: Reformasi Sistemik
Respons dari instansi-instansi terkait seakan membuktikan kegagalan sistemik dalam tata kelola maritim Indonesia. Aktivis lingkungan Azhari Hamid mengkritisi lemahnya pengawasan dan ketidaktahuan terhadap pelanggaran. Dia menduga adanya “tangan tak terlihat” yang berperan, termasuk kemungkinan keterlibatan aparat pemerintah dan lembaga pengawas.
Situasi ini mengindikasikan adanya korupsi atau kolusi dalam pengawasan maritim, itu kata Azhari. Dia menerangkan bahwa Indonesia memiliki regulasi yang lengkap hingga detail terkecil, tetapi pelaksanaan di lapangan sering kali justru dimanfaatkan oleh oknum yang melihat kelemahan dalam sistem pengawasan.
Azhari, yang pernah bekerja di Badan Pengendali Lingkungan Hidup Kota Batam, prihatin terhadap mentalitas aparat di Indonesia. Alih-alih meniru negara-negara maju seperti Norwegia, yang berhasil melibatkan masyarakat dalam menjaga lingkungan laut melalui program edukasi dan sosialisasi yang baik, Indonesia masih menghadapi tantangan besar. “Pertanyaannya, apakah model semacam itu bisa diterapkan di Indonesia?”
Dia juga mengkritisi bagaimana perusahaan dengan rekam jejak buruk bisa terus beroperasi tanpa hambatan dan pengawasan. Yuantai Holding, yang berpotensi merugikan negara ratusan miliar, tampaknya memiliki pengaruh besar di balik layar kolam bandar.
Pada akhirnya, ambisi perusahaan seperti Yuantai Holdings untuk mengoperasikan kapal-kapal tua di perairan Indonesia tanpa syarat yang memadai, tampaknya menjadi akar dari kegagalan pengawasan maritim. Ketika otoritas terkait hanya memberikan jawaban “tidak tahu”, muncul pertanyaan besar: apakah ini menandai berakhirnya kedaulatan maritim kita, atau justru awal dari cerita yang lebih besar tentang pengkhianatan terhadap kedaulatan dan hukum lingkungan?
Kisah ini belum selesai. Selanjutnya, kami akan mendalami lebih jauh tentang bagaimana dua perusahaan itu bisa terus beroperasi tanpa pengawasan yang ketat. Apakah ini murni kelalaian, atau ada kepentingan lain yang membuat kasus ini berlarut-larut?