Tiga minggu aku bertarung dengan alinea pembuka ini. Tiga minggu! Sulit dipercaya betapa sebuah awal bisa terasa lebih berat daripada seluruh naskahnya. Tapi begitulah menulis, kau bisa menyusun gunung kata-kata, tapi kalau fondasinya goyah, maka sia-sia sudah. Alinea pertama adalah segalanya. Ia bukan cuma pembuka, melainkan undangan, dan jebakan sekaligus.
Ketika akhirnya kutemukan, aku membacanya berulang-ulang, dengan rasa bangga yang aneh. Mataku merah, tubuhku lengket, dan senyumku begitu sinis setelah menjinakkan liarnya kata-kata. Di saat lelah itulah, nasihat Jarar Siahaan melintas di kepala: “Setelah tahu, kau harus berani.” Kalimat yang sederhana, tetapi begitu kuat.
Aku tahu tentang jurnalisme, itu benar. Tapi apakah aku berani menulis ini? Itu soal lain. Menulis tentang rahasia kecil wartawan: tentang dosa-dosa yang dipoles jadi rutinitas, adalah perkara besar. Aku menatap langit-langit kantor yang kotor, bertanya-tanya: bila ini terbit, akankah aku dianggap sok pintar, sok suci? Mungkin. Tapi itu lebih baik daripada menjadi pengecut yang munafik.
Baiklah, begini ceritanya…
Lima tahun lalu, aku membawa sebotol anggur murah ke kantor Muhammad Ansyarullah Khafi Ansyari, bersama mimpi yang nyaris absurd: menjadi wartawan perang. “Aku rela tak dibayar, asal bisa belajar,” kataku. Dia tertawa kecil, menyebut namanya, atau lebih tepatnya nama pena: Timoranes Contrada. “Orang timur yang memberontak,” katanya, membuatku terpesona.
“Pemberontak!” Kusarankan ada tanda seru di sana. Kata itu, menurut kamus, berarti menentang kekuasaan. Inilah nyawa jurnalisme yang sebenarnya. Setiap orang, kupikir, menyimpan sepotong kecil pemberontakan dalam diri masing-masing. Aku? Dulu ingin mati muda di usia 27. Tapi aku genap tiga dekade beberapa hari lalu, dan pemberontakan kecilku dimulai dengan melawan “wartawan senior”—frasa yang, terus terang, lebih pantas ditulis dengan tanda petik.
Penghormatanku pada “wartawan senior” lenyap sejak hari pertama mereka mencoba memerasku. Saudaraku dijebak temannya untuk menjual ganja yang biasa dia pakai, lalu namanya muncul di berita—lengkap dengan huruf kapital dan disandingkan dengan nama almarhum ayahku yang sudah lama meninggal. Wartawan bodoh itu bahkan tidak tahu cara menulis tanpa menyakiti keluarga. Saat Pemredku sibuk bernegosiasi untuk memperbaiki keadaan, seorang wartawan lain meneleponku dengan santai, meminta uang Rp3 juta. Begitu saja, tanpa rasa malu. Sialan!
Waktu itu aku baru tiga bulan jadi wartawan, dan rasanya seperti dibuang ke kubangan kotor. Saat itulah aku mulai membenci hampir setiap “wartawan senior” di kota ini. Aku yang muda dan patah, baru saja menemukan cinta baru: jurnalisme. Dan sialnya, cinta itu mematahkan aku lebih kejam dari siapa pun. Di sekelilingku, aku melihat laku lancung para wartawan. Setiap hari mereka memburu seremonia dan kasus, bukan untuk keadilan, tapi untuk suap dan gratifikasi. Aku cuma salah satu korban dari gerombolan busuk itu.
Aku pernah berpikir untuk keluar dari profesi ini, tapi rasanya seperti meludah lalu menjilat dan menelannya kembali. Sebelum menjadi wartawan, aku adalah manajer klub malam di Aurora Evitel—sekarang Asia Link. Rekeningku terisi Rp32 juta setiap bulan. Namun, aku mengundurkan diri, percaya bahwa hidup dengan menulis akan lebih berarti. Ternyata, profesi ini lebih sering melukai daripada memberiku kehidupan.
Tapi entah kenapa, aku tetap di sini. Sampai hari ini. Mungkinkah ini tentang berbagi kisah pemberontakan? Atau sekadar kegilaan? Aku tak tahu.
Sebetulnya, melawan mereka yang lebih lama di profesi ini hanyalah pemanasan. Pemberontakan kecil sebelum ledakan besar. Kisah sebenarnya dimulai saat kelahiran Utopis dua tahun lalu, di bulan November.
Begini ceritanya…
Tujuh ratusan hari lalu, Benhauser Manik, pemilik media tempatku bekerja, menuduh Fathurrohim— sahabatku yang idealis—menerima suap dari tentara. Tuduhan itu bukan hanya tak berdasar, tapi juga penghinaan terang-terangan. Benhauser memanfaatkan fitnah itu untuk mengabaikan hak Fathur atas komisi tahunan.
Waktu itu, aku adalah Editor merangkap Pimpinan Umum setelah setahun bekerja di sana. Posisi yang seharusnya membanggakan berubah menjadi beban. Ketika Fathur menunjukkan isi pesan Benhauser, darahku mendidih. Geram, aku dan Fathur keluar. Tanpa kompromi.
Satu kantor tahu, Fathur adalah idealis yang lebih baik berhutang daripada menerima suap. Tapi Benhauser? Ah, sudahlah.
Aku pergi tanpa rencana, tanpa pekerjaan pengganti. Pesangon? Nol. Padahal, aku baru saja menandatangani beberapa kontrak iklan senilai Rp300 juta. Kalau aku mau menjilat, bonus 40 persen mungkin sudah masuk rekening. Tapi prinsip tak bisa dinegosiasikan. Aku memilih pergi, meninggalkan segalanya, demi idealisme Fathur yang, terus terang, sering membuatku kesal.
Sekalipun begitu, aku tak pernah menyesali keputusan itu. Di tengah kebuntuan, aku menghubungi seorang pengusaha bernama Hanafi Sihite, yang pernah memuji tulisan kami dan mengajakku mendirikan media. Begitulah, Utopis lahir.
Utopis lahir dari idealisme wartawan kemarin sore, yang percaya bahwa membela sesuatu yang benar tidak pernah salah, meski lawannya adalah pihak yang membayar tagihan listrik kantormu. Utopis punya satu keyakinan: menulis adalah pemberontakan.
Namun, belakangan ini aku sedih. Banyak orang di industri ini memahami idealisme dengan cara yang salah. Mereka berpikir, selama kau menolak amplop, kau sudah cukup idealis. Tidak semudah itu, Ferguso. Jurnalisme bukan cuma soal anti-amplop. Itu penting, tentu saja, tapi jika idealismemu berhenti di situ, kau tak lebih baik dari Rupert Murdoch. Atau bahkan lebih buruk: Rupert Murdoch tanpa kejayaannya.
Menulis tentang jurnalisme adalah menulis tentang kejujuran, tapi kejujuran itu sering kali lebih mudah ditemukan dalam pertanyaan daripada pernyataan. Aku teringat diskusi di AJI Kota Batam, yang mengampanyekan “Jurnalis Bukan Juru Kampanye.” Sebuah deklarasi yang, meski terdengar gagah, meninggalkan lebih banyak kebingungan. Mari bertanya dengan akal sehat: apakah sikap kita selama ini bukan bagian dari masalah? Apakah kita benar-benar bebas dari kepentingan? Apa manfaat dari pernyataan sikap itu? Apakah ada yang berubah? Atau, perlukah aku membuat lebih banyak pertanyaan?
Frasa “juru kampanye” tidak boleh dikuasai politikus hanya karena ia tercantum dalam peraturan KPU. Bahasa memiliki kekuatan yang lebih besar daripada sekadar mendiktekan batas-batas ideologis atau politis. Memahami bahasa berarti memahami bahwa makna bisa berkembang, bahwa kata-kata tak dapat dimonopoli.
Pernyataan sikap itu mungkin punya maksud baik, tapi kita lupa profesi ini sudah lama hidup dalam kepalsuan. Jika tujuannya adalah membela etika, bagaimana kalau kubilang bahwa 99 persen wartawan yang kukenal di kota ini menerima gratifikasi sebagai rutinitas? Mungkin mereka yang hendak disindir oleh deklarasi itu sengaja menunjukkan keberpihakan karena meyakini toleransi. Sebab, mari kita tanya pada diri sendiri: apa bedanya wartawan yang menjadi juru kampanye politik dengan yang rutin menerima amplop dari aparat, pemerintah, narasumber, setiap kali diundang konferensi pers?
Yang membedakan hanya kemunafikan.
Diskusi malam itu membuat pikiranku gaduh. Bukan karena gagasan besar tentang etika atau moralitas jurnalistik yang mereka lontarkan. Aku gelisah karena sesuatu yang lebih sederhana, lebih pribadi. Kata-kata pembuka seorang pembicara dan moderator meluncur begitu saja, entah bercanda, entah serius: soal aku dan Pemredku yang katanya jarang terlihat di lapangan.
Aku tertawa kecil dalam hati, lebih karena getir ketimbang lucu. Ada banyak hal dalam profesi ini yang lebih penting daripada sekadar terlihat. Aku tak paham mengapa ada anggapan bahwa wartawan harus selalu ada di keramaian. Seolah kredibilitas kami diukur dari kehadiran fisik, bukan dari kerja keras intelektual.
Lihat saja John Hersey. Sebelum menulis liputan legendaris tentang Hiroshima, ia menghabiskan lima bulan di rumahnya di Amerika untuk riset mendalam. Banyak yang mungkin tak tahu bahwa The New Yorker dan Life rela merogoh kocek 10 ribu dolar—setara Rp2,4 miliar hari ini—untuk mendanai liputan itu pada tahun 1945. Bagi mereka, keakuratan dan kedalaman cerita lebih penting daripada pamer kehadiran. Padahal, hampir seluruh data riset itu akhirnya tak digunakan, karena Hersey memilih pendekatan yang lebih manusiawi: menceritakan tragedi dari sudut pandang enam penyintas.
Jadi, apa benar wartawan harus selalu terlihat di lapangan? Atau kita hanya sedang terjebak dalam romantisme yang menipu?
Orang berkata jurnalisme adalah panggilan jiwa. Omong kosong romantis! Jurnalisme adalah profesi—kotor, brutal, dan membutuhkan keberanian. Ia tidak peduli pada idealisme yang kosong atau mimpi muluk tentang perubahan dunia. Jurnalisme menuntut strategi licin dan ketekunan baja untuk maju. Ya, maju. Karena yang bertahan akan tenggelam, terkubur di antara kompromi dan tekanan target.
Tekanan target? Itu sebabnya kalian harus pamer fisik di lapangan setiap hari, seolah-olah melapor langsung dari lokasi adalah satu-satunya jalan untuk membuktikan diri. Padahal, pekerjaan ini jauh lebih kompleks dari sekadar memamerkan kehadiran.
Dan sejujurnya, tulisan ini bukan untuk mereka yang lebih lama di profesi ini. Mungkin tak ada gunanya berbicara dengan mereka. Begini, diskusi malam itu takkan pernah ada jika pers atau organisasi pers tidak menoleransi amplop. Dan aku tidak akan munafik—aku juga menjadi bagian dari masalah ini. Aku menerima amplop, menoleransinya, bahkan memilah-milah mana yang kuterima, seolah itu memberiku justifikasi moral. Tapi itu tetap salah, dan aku sadar sepenuhnya.
“Ada saatnya dalam hidup seorang wartawan, ia harus memilih antara nyaman dan benar,” kata Seymour Hersh, wartawan investigasi legendaris yang membongkar tragedi My Lai. Kalimat itu terus bergema di kepalaku sejak pertama kali mendengarnya, dan keputusanku meninggalkan praktik amplop setahun lalu adalah usahaku memilih yang benar. Namun, aku tahu, kesalahan di profesi ini bukan hanya soal amplop. Masalah terbesar kita justru lebih mendasar: moralitas dan model bisnis.
John Flowers benar: kita sering bertanya dengan sudut pandang yang keliru. Bukan “Bagaimana jurnalis memperbaiki bisnis?” tetapi “Bagaimana bisnis memperbaiki jurnalisme?” Ini adalah teguran bagi yang berkeyakinan bahwa jurnalisme bisa hidup dengan fondasi yang bobrok. Intinya adalah pendapatan. Kau takbisa berharap keuntungan dari sesuatu yang dijual gratis. Selama media terus bergantung pada klik murahan atau iklan yang penuh konflik kepentingan, jurnalisme tidak akan pernah benar-benar merdeka.
Dan amplop? Ia hanyalah salah satu gejala dari masalah yang lebih besar. Untuk keluar dari lingkaran setan ini, kita butuh cara baru: crowdfunding, membership, atau kolaborasi dengan pembaca yang percaya pada nilai-nilai independensi. Itu memang sulit, tapi bukan mustahil. Amplop bukan hanya soal teknis; ia adalah gambaran langsung dari model bisnis media yang gagal. Selama media terus menggantungkan hidup pada skema yang merusak seperti ini, sulit membayangkan jurnalisme kembali mempunyai martabat.
Itulah sebabnya aku percaya, tidak cukup hanya membenahi moral. Kita juga harus berani mendobrak model bisnis yang sudah lapuk. Untuk itulah aku mengubah nama Utopis menjadi Malaka. Aku menyebutnya Revolusi Total—bukan sekadar pergantian nama, tetapi sebuah komitmen untuk mengubah cara kerja, cara berpikir, dan cara maju di industri ini.
Aku ingin membangun sesuatu yang berakar pada nilai, bukan angka. Sebuah media yang menolak tunduk pada godaan instan, yang tetap tegak meski dikepung oleh tekanan pasar yang brutal. Bukan karena aku yakin akan berhasil, tetapi karena aku percaya bahwa berjalan di jalan yang benar, betapapun beratnya, selalu lebih hebat daripada menyerah pada kompromi murahan.
Aku berharap mereka yang baru memulai perjalanan di industri ini menyadari bahwa jalan ini tidak mudah, tapi setiap langkah yang berat memiliki maknanya sendiri. Pilihannya, seperti Hersh katakan, selalu antara nyaman dan benar. Dan aku berharap, mereka punya keberanian untuk memilih yang terakhir.
Karena aku tahu, ada saat-saat dalam profesi ini ketika idealisme terasa seperti beban yang terlalu berat. Aku sendiri sering bertanya-tanya: apakah aku akan berakhir seperti seorang Gonzo, Hunter S. Thompson, yang akhirnya mengonsumsi terlalu banyak narkotika, lalu menembak dirinya sendiri setelah bertahun-tahun kecewa terhadap dunia yang ia coba bongkar melalui tulisannya? Pemikiran itu kadang mengganggu, tetapi juga menyadarkanku akan satu hal: profesi ini memang bukan untuk mereka yang cengeng.
Jurnalisme adalah medan perang, dan para penulisnya adalah prajurit yang harus siap hancur. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk terus maju, tapi aku ingin mereka yang baru memulai tahu bahwa jalan ini, seberat apa pun, tetap layak diperjuangkan, persis yang dikatakan Thompson sendiri, “Freedom is something that dies unless it’s used.”
Aku hanya berharap para pemula memilih untuk terus menggunakan kebebasan itu—untuk bertanya, untuk menulis, dan untuk memberontak. Karena kebenaran tidak bisa dibeli, dan idealisme tidak boleh mati muda.