Cinta yang Menormalkan Rudi

Rudi percaya ia ‘tertular’. Bagi dirinya, homoseksualitas adalah penyakit. Namun, cinta seorang perempuan membuatnya berpikir ulang tentang hidup yang normal.
Share on facebook
Share on twitter
Share on email
Share on whatsapp
Share on telegram

 


Rahasia itu pecah di sebuah kamar, pada dinihari Desember 2017.

 

“Heh, bangun! Ini kamu habis nonton apa?”

 

Perempuan itu berdiri dengan ponsel menyala terang, menatap Rudi seperti pengacara yang baru saja menemukan bukti untuk membungkam lawan. ‘Kamu gay, ya?’ tanyanya, datar dan tajam. Rudi, yang baru saja terbangun, hanya mampu menarik napas panjang.

 

Sebab, tidak ada ruang untuk menyangkal. Kekasihnya menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi: film porno sesama jenis.

 

Waktu di kamar itu seakan berhenti. Kalimat berikutnya bukan lagi pertanyaan, melainkan vonis yang menusuk. “Oh, pantesan diajak main susah.”

 

Rudi hanya terdiam, mencoba meredam guncangan di dadanya. Ia tahu, tidak ada kata yang cukup untuk menjelaskan atau mengubah apa yang baru saja terjadi. Dia malu, bukan hanya pada kekasihnya, tetapi juga pada dirinya sendiri.

 

“Cuma iseng. Sudah, ayo tidur,” katanya, berusaha terdengar tenang.

 

Namun, perempuan itu tidak bergeming. Tatapannya tetap dingin, setenang malam yang memeluk kamar itu. Keheningan yang tadinya hanya sunyi berubah menjadi beban yang menekan. Lalu, tanpa ampun, keluar sebuah vonis, datar tanpa emosi: “Kamu sakit.”

 

Begitulah. Tidak ada pertengkaran atau teriakan. Tidak ada pintu yang dibanting atau suara barang pecah. Tapi suasana-nya lebih mencekam dari semua itu. Bagi Rudi, malam itu adalah mimpi buruk. Bukan jenis yang berakhir ketika ia terbangun, melainkan yang terus membayangi setiap sudut kesadarannya.

 

Masalah LGBT: Hidup Normal dan Stigma Sosial

 

Rahasia itu masih membekas dalam ingatan Rudi (bukan nama asli), seorang teknisi di Batam, Kepulauan Riau. Lima tahun setelah percakapan yang mengubah hidupnya, ia tengah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Sebagai bagian dari komunitas LGBT di Indonesia, Rudi menghadapi pergulatan batin yang berat di tengah stigma sosial yang terus menghantui.

 

Rudi sedang mempersiapkan pernikahannya dengan perempuan yang mengetahui rahasia besarnya, tetapi tetap memutuskan bertahan di sisinya. Namun, di balik persiapan pernikahan itu, ia tidak benar-benar merasa tenang.

 

“Belakangan ini, rasanya seperti ada duri yang tak kunjung hilang,” katanya. Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik terus berseliweran di pikirannya. “Aku sering merasa gagal menjadi laki-laki.”

 

Kalimat demi kalimatnya meluncur dengan kepala tertunduk. Dia seperti berbicara pada bayangan dirinya sendiri. “Aku sering bicara di depan kaca, meremehkan diri. Sampai kapan aib ini bisa kusimpan? Siapa bilang aku tak lagi kelainan?” katanya dengan nada pelan, tapi penuh emosi.

 

Sebelum melanjutkan, Rudi menghela napas panjang. Tangannya meraih gelas di meja, dan ia menenggaknya hingga habis. “Kisahku boleh ditulis,” katanya, yang akhirnya merespons permintaan wawancara saya.

 

Saya mengenal Rudi sejak lama. Kami pertama kali bertemu di sebuah tempat hiburan malam di Batam, Kepulauan Riau, pada 2018. Hubungan kami sebatas berbagi cerita sesekali. Namun, pada Minggu malam, 8 Mei 2022, sebuah percakapan membuka sisi lain dari Rudi yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

 

Malam itu, obrolan kami berawal dari diskusi tentang Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil Mahardika, seorang gay, ke dalam podcast-nya. Topik ini memicu Rudi untuk mengungkapkan dirinya. “Tapi identitasku tetap dirahasiakan,” ujarnya. Ia masih dihantui ketakutan akan reaksi keluarganya jika mengetahui orientasi seksualnya. “Aku nggak siap jadi bahan tertawaan, apalagi dari orang terdekat,” katanya.

 

Rudi memiliki kulit gelap, tubuh yang tidak langsing, dan rahang yang tegas. Cara bicaranya santun. Malam itu, ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jin, tampak seperti pria kebanyakan. Ia bekerja sebagai teknisi di sebuah perusahaan minyak dan gas di Batam. Tanpa pengakuannya, sulit menebak ia penyuka sesama jenis. Hanya keramahannya terhadap pria, yang baru terasa berbeda setelah pengakuannya.

 

Hidup Normal dengan Orientasi Seksual

 

Ketertarikan Rudi pada sesama jenis bermula saat ia berusia 12 tahun. Ia merasa pengaruh itu datang dari seorang teman kecilnya yang dianggap terlalu feminin oleh lingkungan mereka. “Kami nggak pacaran, namanya juga masih kecil. Tapi waktu itu sering bermain bersama,” kenangnya.

 

Kemiskinan mempertemukan Rudi dengan temannya itu. Ayahnya, seorang buruh bangunan, meninggalkan keluarga setelah berselingkuh. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, termasuk di rumah keluarga temannya. “Awalnya nggak dekat. Tapi mamak sering nyuci di rumahnya. Dia orang kaya; di kamarnya ada PlayStation, ada CD juga. Kami sering main game atau nonton. Dari situ, ya, terjadi kedekatan. Dia yang mulai duluan,” kata Rudi.

 

Rudi menganggap dirinya “tertular.” Baginya, homoseksualitas adalah penyakit. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus homoseksualitas dari klasifikasi penyakit sejak 1990. Penelitian juga menunjukkan bahwa orientasi seksual adalah bagian dari karakteristik intrinsik manusia, baik secara biologis maupun psikologis.

 

“Kalau kami tidak kenal, mungkin tidak terjadi, kan?” katanya.

 

Saat memasuki masa pubertas di usia 13 tahun, keluarganya pindah kompleks. Namun, perasaan itu sudah terlanjur tertanam. Pengalaman ini memicu konflik batin yang berat. Awalnya, Rudi menyangkal dirinya sebagai penyuka sesama jenis, menganggapnya sekadar kenakalan masa kecil. Di lingkungan barunya, ia sempat jatuh cinta pada seorang perempuan. Namun, dalam setiap romantismenya, bayangan pria selalu mendominasi.

 

“Rasanya seperti mencintai perempuan, tetapi tetap merindukan hubungan dengan pria,” kata Rudi.

 

Pelampiasan Hasrat dan Kehampaan

 

Dalam situasi tertentu, dia takbisa mengendalikan keinginannya mencari teman pria baru. Mendapatkan mereka tidak sulit, terutama jika usianya lebih muda. “Mungkin karena anak-anak rasa penasarannya tinggi, ya,” katanya.

 

Setelah pertemanan dengan teman lamanya, Rudi bergonta-ganti pasangan sesama jenis hingga tiga kali saat usianya 18–19 tahun. Bersama ketiga pria itu, ia mulai menjalin hubungan yang intens. “Biasanya aku yang memimpin, tapi kadang gantian. Rasanya seperti pinggang mau terbelah,” katanya.

 

Rudi mengaku tidak memiliki perasaan terhadap teman-teman sejenisnya. Hubungan itu hanya untuk melampiaskan kebutuhan. “Intinya tidak sampai berpacaran. Pacaran dan jatuh cinta malah sama perempuan,” katanya.

 

Pergulatan dengan Gender dan Seksualitas

 

Hingga kini, Rudi tidak sepenuhnya memahami identitas gendernya. Ia merasa ekspresi gendernya tetap sebagai laki-laki dengan penampilan maskulin, tetapi untuk orientasi seksual, ia mengidentifikasi diri sebagai biseksual.

 

Penting untuk memahami bahwa jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin merujuk pada ciri biologis saat lahir, seperti laki-laki atau perempuan, sedangkan gender adalah identitas sosial seseorang yang tidak selalu sesuai dengan jenis kelaminnya. Dalam konsep LGBT+, orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks dikenal sebagai SOGIESC (sexual orientation, gender identity, expression, and sex characteristics).

 

Kebingungan Rudi sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan lingkungan yang tidak mendukung. Ia tumbuh tanpa mengenal komunitas LGBT. Istilah LGBTQ+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan lainnya) hanya ia ketahui dari internet.

 

“Aku nggak mau bergabung dengan komunitas semacam itu,” katanya. Ia merasa terlalu tertutup dan takut menghadapi komentar homofobik dari orang-orang heteroseksual. Bahkan niatnya untuk berkonsultasi dengan dokter pun batal karena rasa malu.

 

Diskriminasi LGBT di Indonesia

 

Di Indonesia, diskriminasi terhadap komunitas LGBT masih tinggi. Norma sosial yang menganggap mereka “tidak sesuai” membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan, baik verbal maupun fisik. Saya pernah menyaksikan perundungan terhadap seorang transpuan di Pekanbaru, Riau, pada 2013. Puluhan remaja geng motor memukul dan menelanjanginya di jalan.

 

Namun, di Batam, situasi perlahan mulai berubah. Kaum LGBT mulai menyatu dalam kehidupan kota. Beberapa tempat hiburan malam bahkan menyediakan panggung untuk model transpuan. Meski begitu, diskriminasi belum sepenuhnya hilang. Mereka sering menjadi bahan lelucon dengan bisikan atau tatapan aneh dari kaum heteroseksual.

 

“Kalau Anda lesbian, orang-orang nggak terlalu masalah. Tapi coba gay, biseksual, atau waria, masih berani mendekat nggak?” kata Rudi. “Merendahkan itu, kan, bukan cuma lewat kata-kata, tapi juga lewat pandangan.”

 

Diskriminasi inilah yang membuat Rudi enggan terbuka. “Ada orang sepertiku yang ingin kembali normal. Tapi lingkungan lebih dulu menolak. Kita jadi takut dan malu,” katanya.

 

Perjuangan Melawan Diri Sendiri Tanpa Dukungan

 

Pada usia 20 tahun, Rudi mulai menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan. Ia menyebutnya sebagai “awal merasakan jatuh cinta.” Hubungan ini sedikit membantunya menahan hasrat terhadap sesama jenis, terutama karena ia dan pacarnya tinggal serumah. Namun, keterbatasan ruang gerak tidak sepenuhnya menghentikan keinginannya.

 

Karena sulit menemukan teman pria, Rudi mulai melampiaskan kebutuhannya dengan cara yang salah. Ia sering menonton film porno sesama jenis. Ketika tak mampu menahan, ia mencari jasa transpuan. Awalnya, ia mendatangi lokalisasi atau tempat hiburan malam. Namun, aplikasi MiChat kemudian mempermudah kebutuhannya. “Harganya cuma Rp100 sampai Rp300 ribu,” katanya.

 

Memasuki usia 20-an, Rudi mengaku kehilangan ketertarikan pada pria maskulin, tetapi justru mulai tertarik pada transpuan. Meski mencoba melampiaskan keinginannya kepada pacar, ia merasa tidak puas. “Rasanya seperti ngilu di tubuh, seperti mendengar suara orang mengikir,” katanya.

 

Rudi sadar bahwa perilakunya adalah kesalahan. Ia khawatir menyakiti orang terdekatnya jika ketahuan, takut terkena penyakit seksual menular, dan tahu agamanya melarang perbuatannya. Namun, menghentikannya tidak mudah. Konflik batin terus muncul, membuatnya lelah dan bingung. “Aku capek harus menyelinap keluar rumah setiap malam,” katanya.

 

Penyangkalan tanpa dukungan profesional berisiko memperburuk kondisi mentalnya. Penelitian Oxford Academic menunjukkan bahwa kelompok LGBT lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, hingga trauma, dengan angka percobaan bunuh diri yang lebih tinggi. Rudi memilih menyimpan rahasianya sendiri, enggan berkonsultasi dengan psikolog atau bergabung dalam komunitas yang bisa membantunya keluar dari kebingungan orientasi seksualnya.


Memahami Orientasi Seksual: Perspektif Psikolog

 

Psikolog Neni Andriani menjelaskan bahwa individu yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis, seperti Rudi, secara teoritis disebut homoseksual. Pada perempuan istilahnya lesbian, sedangkan pada laki-laki dikenal sebagai gay.

 

Sebelum membahas lebih jauh, Neni menegaskan bahwa orientasi seksual dalam komunitas LGBT mencakup beberapa kategori: lesbian, gay, biseksual (tertarik pada laki-laki dan perempuan), panseksual (tertarik pada individu tanpa memandang jenis kelamin), dan aseksual (tidak memiliki ketertarikan seksual sama sekali).

 

Dalam pengalamannya menangani kasus serupa, Neni menjelaskan bahwa perubahan orientasi seksual membutuhkan waktu dan kesadaran mendalam dari individu itu sendiri. Misalnya, keputusan Rudi untuk menikah setelah 10 tahun berpacaran bukan hal yang luar biasa di kalangan LGBT.

 

“Penting untuk memahami, apakah pernikahan itu benar-benar keinginan individu atau sekadar desakan keluarga,” kata Neni. Sebagai psikolog, ia biasanya menelusuri faktor yang memengaruhi ketertarikan sesama jenis, seperti trauma masa kecil, pola pengasuhan, atau perlakuan dari lingkungan.

 

Pergulatan Identitas dan Harapan Baru

 

Pengalaman homoseksual pertama Rudi terjadi saat ia berusia 12 tahun, saat memasuki masa pubertas. Pada usia ini, hormon seksual mulai aktif, baik secara primer maupun sekunder.

 

“Namun, psikolog tidak langsung memberikan diagnosis tanpa pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Neni. Pendampingan psikolog diperlukan agar individu memahami apa yang terjadi pada dirinya. Dalam kasus Rudi, misalnya, peralihan ketertarikannya kepada transpuan tetap berada dalam konteks sesama jenis, meskipun secara fisik menyerupai perempuan.

 

Neni memandang homoseksualitas sebagai konflik internal yang dialami individu. “Bisa dibilang ini semacam ilusi kenyamanan,” katanya. Banyak klien datang kepadanya dengan perasaan bahwa ada yang salah dalam hidup mereka. Peran psikolog adalah membantu mereka mencari solusi untuk keluar dari konflik tersebut.

 

“Bukan tidak mungkin mengubah orientasi seksual,” kata Neni. Meskipun jumlahnya kecil, beberapa kliennya berhasil menjalani kehidupan yang dianggap normal setelah menikah. Namun, perubahan ini hanya mungkin terjadi jika individu menyadari adanya masalah, seperti yang dialami Rudi.

 

Cinta dan Langkah Menuju Penebusan

 

Dalam percakapan dengan saya, Rudi mengaku memendam rasa malu dan takut atas masa lalunya. Lima tahun lalu, ia hampir ketahuan oleh pacarnya, Tia (bukan nama sebenarnya), tentang orientasi seksualnya. “Tak bisa kubayangkan jika dia tahu, atau aku terkena razia saat melakukannya,” katanya.

 

Tia, yang seusia dengan Rudi, telah menjadi kekasihnya selama hampir 10 tahun. Hubungan mereka dimulai dari reuni SMA yang berlanjut menjadi kasih sayang mendalam. “Lebih ke sayang, bukan seks lagi,” ujar Rudi. Perempuan inilah yang membuatnya berpikir untuk meninggalkan hubungan sesama jenis.

 

Namun, sesekali hasrat seksual terhadap sesama jenis masih muncul, terutama saat ia merasa bosan atau terpengaruh alkohol. Setahun terakhir, Rudi berusaha menjauhi kebiasaan buruk itu. “Aku capek menyimpan rahasia ini,” katanya

 

Sebelum obrolan berakhir, Rudi menyampaikan harapannya. “Aku ingin hidup normal, menikah, dan memiliki keturunan,” katanya. Bagi Rudi, doa ini adalah langkah menuju kehidupan yang lebih baik.

 

 


Memahami Lebih Dalam

Cerita Rudi adalah salah satu dari banyak kisah yang mencerminkan pergulatan identitas di tengah stigma sosial. Jika Anda atau orang terdekat Anda sedang menghadapi konflik serupa, memahami orientasi seksual dan mencari dukungan psikologis bisa menjadi langkah awal untuk berdamai dengan diri sendiri. Jangan ragu untuk mencari informasi lebih lanjut atau berkonsultasi dengan tenaga profesional.

 

 

 

Liputan Eksklusif

  • Rudi percaya ia ‘tertular’. Bagi dirinya, homoseksualitas adalah penyakit. Namun, cinta seorang perempuan membuatnya berpikir ulang tentang hidup yang normal.

  • Aku pernah mengidolakan wartawan senior—hingga menyadari mereka menukar idealisme dengan uang. Di tengah persimpangan moralitas dan model bisnis, pemula hanya punya satu pilihan: memberontak. Karena …

  • Siapa yang diuntungkan dari semua ini? Follow the money, kata mereka. Dan semua ‘jejak uang’ mengarah pada satu nama: Yuantai Holdings, perusahaan Singapura yang berpotensi …

Utopis adalah media alternatif di Kota Batam, Kepulauan Riau. Etos kerja kami berasas independensi dan kecakapan berbahasa jurnalistik. Kami berani karena benar.

© Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman Utopis.